Rabu , 1 Mei 2024
https://ffaw.orghttps://monkproject.orgslot luar negeri
Beranda » Hukum » Diskusi Kebangsaan XXIII: Sepi dari Korupsi dan Intoleransi Mimpi Membangun Negeri
Ons Untoro (ft. Ist)

Diskusi Kebangsaan XXIII: Sepi dari Korupsi dan Intoleransi Mimpi Membangun Negeri

KPK telah menghukum banyak koruptor, meskipun begitu tidak sedikit yang terkena OTT, operasi tangkap tangan. Kita sedih membaca berita banyak Kepala Daerah yang ditahan KPK. Sedih tak berkurang, ketika anggota legislatif di daerah ditangkap KPK. Korupsi terus berlanjut, seolah tidak ada rasa jera dari pelakunya, meskipun KPK telah menghukum berat setiap pelaku korupsi.

Selain korupsi, kita seringkali disuguhi konflik, seolah sebagai warga negara setiap orang tidak boleh berbeda, sehingga konflik etnik mudah terjadi. Perbedaan agama seolah menjadi lawan. Bahkan nisan di satu makam, yang menunjukkan identitas agama berbeda, perlu dihilangkan identitiasnya. Padahal, sesungguhnya, hanya seolah identitas, hanya pikiran yang menafsirkan satu jenis identitas agama.

Sebagai bangsa yang plural, seolah tidak boleh ada yang berbeda. Padahal, watak dari pluralitas adalah keberagaman. Negeri kita dipenuhi oleh dua persoalan yang tidak pernah berhenti, ialah korupsi dan intoleransi.

Paguyuban Wartawan Sepuh Yogyakarta, yang sering disingkat menjadi PWSY dalam Diskusi Seri Kebangsaan ke 23 menyajikan tema ‘Indonesia Tahun 2019 Bebas dari Korupsi dan In-Toleransi’ dengan menghadirkan narasumber Drs. HM. Idham Samawi, Anggota DPR RI, Dr. Hasto Wardoyo, Sp.Og, Bupati Kulonprogo dan Dr. Abdur Rozaki, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Diskusi diselenggarakan, Sabtu 26 Januari 2019 lalu di Resto Cangkir 6, Jl. Bintaran Tengah 16, Yogyakarta.

Tiga pembicara mengambil sudut masalah yang berbeda. Pada dua narasumber, dalam hal ini, Idham Samawi dan Hasto Wardoyo, lebih ditekankan berbicara perihal korupsi, meskipun tak dihalangi menyinggung perihal intoleransi. Idham melihat dari sudut pandang politik dan Hasto berbagai pengalaman sebagai birokrat, dan Abdur Rozaki, sebagai akademisi, lebih menekankan berbicara perihal intolerasi sambil menyinggung korupsi. Ketiganya saling berbagai dan mewarnai.

 

Korupsi Tak Bisa Dibasmi

Rosihan Anwar dalam tulisannya yang berjudul ‘Dasar Rakyat Begini, Daendels Sia-Sia Basmi Korupsi’ yang terkumpul dalam buku ‘Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia’ jilid 3. Dalam tulisan ini Gubernur Jendral Daendels (1808-1811), dalam tugasnya sebagai Gubernur Jendral di Jawa, ia diberi dua tugas, yakni membela Jawa terhadap serangan Inggris dan mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih di Hindia Timur.

Rosihan menulis: “Kejahatan pertama yang harus dihadapi oleh Daendels adalah ketidakefisienan serta korupsi dalam pemerintahan Kompeni Belanda. Daendeles melahirkan beberapa kebijakan untuk memberantas korupsi. Pejabat pemerintah dilarang melakukan (atau terlibat) bisnis perdagangan. Uang suap atau kado (hadiah) tidak boleh diberikan kepada pejabat. Timbangan bobot barang diatur. Bobot minimal barang diatur”.

Berbagai kebijakan yang diambil Daendels, yang memerintah sangat singkat hanya 3 tahun, berhasil mengurangi korupsi. Dituliskan oleh Rosihan, “Daendels menimbulkan rasa takut di kalbu para pejabat dan pegawai karena sifat tabiatnya, yaitu pada zamannya ia betul-betul bersedia mengeksekusi (menghukum mati pejabat yang korup)’.

“…. Usaha Gubernur Jendral Daendels pada awal abad 19 membasmi korupsi di Pulau Jawa. Bila anda membaca cerita tentang Daendels berusaha membasmi korupsi itu, mungkin anda akan menarik kesimpulan bahwa sesungghunya tidak banyak yang berubah di negeri kita ini. Dulu korupsi merajalela, kinipun begitu” Sia-sialah usaha Daendels membasmi korupsi” ujar Rosihan Anwar.

Simak juga:  Diskusi Kebangsaan XVI: Ekonomi Bang Jo

Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan juga menunjukkan betapa korupsi sejak lama sudah dilakukan oleh para pejabat, setidaknya melalui tulisan yang berjudul ‘Apa Itu Korupsi?” yang bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul “Sejak Indische sampai Indonesia” melalui apa yang dikenal dengan peristiwa Lebak, Bupati Lebak yang korupsi malah dipertahankan, sementara Douwer Dekker, yang ditugaskan di Lebak, dan mengusulkan supaya bupati Lebak dipecat malah dipindahtugaskan.

Dari dua kisah di atas kita bisa tahu, bahwa korupsi sudah lama berlangsung, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Maka, tidak heran jika Idham Samawi merasa tidak yakin, bahwa Indonesia akan bersih dari korupsi.

“Saya kira, suatu hal yang imposibel.kalau kita mengharapkan Indonesia bersih dari korupsi” kata Idham Samawi.

Sedang Hasto Wardoyo, dalam bahasa yang berbeda dari apa yang dikatakan oleh Idham Samawi mengatakan, bahwa “korupsi sudah menjadi bagian dari hidup kita, sehingga memang sulit untuk dibasmi”.

“Dari segi karakter sudah koruptif, dan kerjanya hanya ingin nguntet (mbathi). Saya tahu, bahwa pegawai saya, PNS yang jumlahnya banyak, pasti ada beberapa yang eror. Ibaratnya, kalau saya memiliki 100 PNS 8 di antaranya eror. Artinya, tidak memiliki tanggung jawab dan tidak bisa bekerja, dan maunya hanya ingin ngunthet. Ingin korupsi. Jadi, ngunthet telah menjadi watak” kata Hasto.

Abdur Rozaki memberi penegasan yang lain, kata dia: “…banyak bangsa yang gagal, jatuh karena praktik korupsi, dan banyak juga bangsa yang jatuh karena praktek intoleransi. Tapi banyak bangsa yang gagal karena keduanya”

Kita tahu di Indonesia korupsi telah lama berlangsung, bahkan sejak jaman kolonial, korupsi sudah ada. Ketika Indonesia merdeka, korupsi tidak hilang, bahkan Mohammad Hatta, yang lebih akrab dipanggil Bung Hatta mengatakan’ “korupsi telah menjadi budaya dari bangsa kita”.

Orang bisa mengatakan penegakan hukum kita lemah, bahkan hakim dan jaksa bisa terlibat korupsi. Ketika ada hakim yang selalu memberi hukuman berat terhadap koruptor, masih ditambahi denda yang besar dari uang yang dijarah, masih saja tidak memiliki efek jera, dan ada saja caranya para pejabat melakukan korupsi.

Kita tahu, korupsi tidak dilakukan sendirian, selalu ada jaringan dalam melakukan tindak korupsi. Maka, ketika ada koruptor yang tertangkap tangan oleh KPK. Jaringannya akan dibongkar, dan selalu pelakunya tidak sendirian.

Meskipun kita tahu, di Indonesia korupsi sulit dibasmi, tapi setidaknya bisa dikurangi. Harapan ini perlu ditumbuhkan agar bangsa kita tidak memberi toleransi terhadap perilaku korupsi.

Dari era kolonial sampai era digital, penghapusan korupsi tidak bisa final. Kita selalu menemukan pelaku korupsi ditangkap, seolah meski sudah pelaku yang lain dihukum berat, pelaku yang lain tidak melihatnya sebagai ancaman. Berbagai cara dilakukan untuk terus melakukan korupsi..

 

Intoleransi di Negeri Pancasila

Sebagai negara kesatuan Indonesia memilih keberagaman, bukan saja dari segi geografis, tetapi juga dari segi budaya, etnis, bahasa, sistem kepercayaan dan lainnya. Artinya, kita hidup di satu ruang yang sama, yang bernama Indonesia ditakdirkan untuk berinteraksi dari perbedaan yang dimiliki. Pancasila, yang kita miliki sebenarnya bisa menjadi rujukan, bahwa dalam perbedaan kita bisa hidup bersama saling menghargai dan bertoleransi.

Simak juga:  Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa : Persatuan, Kebangsaan dan Integrasi Nasional

Ignas Kleden melalui tulisannya yang berjudul ‘Toleransi: Keindahan Budaya dan Resiko Politiknya’ yang bisa dibaca dalam bukunya berjudul “Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia” pada bagian awal dari tulisannya sudah memberikan tekanan bagaimana hidup bersama dalam perbedaan. Kita kutip tulisan itu:

“Toleransi adalah sebuah sifat budaya yang dianggap khas untuk berbagai kelompok budaya di tanah air. Sifat itu tampaknya tumbuh sebagai kebutuhan bagi orang-orang yang hidup dalam satu masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia”.

Karena menyadari adanya banyak perbedaan dari warga bangsa kita, toleransi adalah pilihan yang tepat untuk hidup bersama secara damai. Namun, yang sering terjadi di Indonesia, toleransi dijauhkan, dan masing-masing suka melakukan konflik, bukan mempersoalkan perbedaan, tetapi lebih yang satu menganggap superior sehingga yang lain harus tunduk dan mengikuti kehendaknya.

Konflik antar agama sering terjadi, yang diawali bertiupnya berbagai isue yang menyudutkan salah satu agama, sehingga pilihannya hanya menyerang, tidak perlu melakukan klarifikasi atas isue tersebut, sehingga kebenaran bisa ditemukan. Dari berbagai konflik yang ada di Indonesia, dan terjadi di daerah-daerah, bangsa kita seperti memiliki stigma intoleransi. Padahal kita tahu, sebagian besar dari warga bangsa yang lain, ingin hidup damai. Pilihan atas toleransi kiranya sudah tepat, setidaknya seperti yang dikatakan Ignas Kleden. Menurut Kleden, sikap toleran adalah suatu pilihan yang cerdas, karena dengan sikap itu sekurang-kurangnya dimungkinkan suatu peaceful coexis-tence (hidup berdampingan secara damai), atau kalau kita beruntung, dapat tercipta suatu fertilasi-silang dari berbagai pandangan, kebiasaan, dan nilai-nilai budaya dalam komunikasi budaya antara berbagai kelompok yang ada.

“Sebaliknya, intoleransi akan merupakan pilihan yang merugikan dan tidak intelegen, karena tanpa toleransi akan mudah sekali timbul berbagai konflik antarbudaya, kesalahpahaman antar bahasa, perselisihan antar agama, dan barangkali juga kebencian antar etnis” ujar Ignas Kleden.

Seperti halnya Kleden, Abdur Rozaki juga melihat pluralitas masyarakat kita. Di dalam masyarakat plural tidak mungkin ada kelompok yang dominan. Keinginan untuk menjadi dominan bisa merusak tatanan dalam keberagaman, karena dalam dominasi pasti akan memaksakan satu nilai milik kelompok dominan untuk diterima oleh kelompok yang lain.

“Untuk menangkal hal itu, kita harus menjadi pluralis yang aktif, dengan cara seperti ini kita akan peka terhadap intoleransi” kata Zaki.

Selain itu, Zaki juga mengajak semua orang untuk menyegarkan kembali pemahamannya mengenai kesadaran berbangsa, sehingga bisa berlanjut pada generasi sesudahnya.

Korupsi dan intolerasi seperti tak mau pergi dari negeri ini, seolah kita seperti sedang mimpi membangun negeri agar sepi dari korupsi dan intoleransi. Karena kita tahu, keduanya, yakni intoleransi dan korupsi mengancam nasionalisme. (Ons Untoro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *