Menurut saya, alasan kerahasiaan klien itu berorientasi atau mengutamakan hak klien semata. Bisa jadi, prinsip tersebut memang menjadi acuan umum dari para lembaga survei sekarang. Namun demikian, hal ini akan menjadi tanda tanya besar saat “hak” para klien tersebut menyenggol hak publik yang lebih besar lagi, khususnya berkenaan dengan isu-isu politik yang bisa sangat menentukan masa depan bangsa.
Saya memandang, hubungan antara lembaga survei mana pun dengan pihak yang mendanai adalah relasi transaksional. Karena transaksional, maka selalu ada kecenderungan atau unsur konflik kepentingan sesuai kepentingan klien atau pihak yang mendanai. Ketika kepentingan klien ini dilempar ke publik dan bisa memengaruhi kehidupan bernegara, maka sepatutnya publik mengetahui siapa yang mendanai lembaga survei tersebut. Ini layaknya saat kita menerima produk tertentu di pasaran, misalnya makanan kaleng. Di sini saya pandang ada hak publik untuk mengetahui apa isi kandungan makanan tersebut, apakah membahayakan atau menguntungkan kesehatan, produk itu merupakan produksi pabrik mana dan seterusnya. Alasannya jelas karena informasi tersebut (berpotensi) berpengaruh pada kehidupan publik secara luas.
Berbeda halnya dengan hubungan klien antara bank dengan nasabah, misalnya. Ini lebih pada hubungan antar mereka semata. Jika diekspos ke publik, maka itu membuka kerahasiaan nasabah. Demikian pula halnya hubungan lembaga survei dan klien pada tingkat tertentu. Jika hasil surveinya itu hanya untuk kepentingan evaluasi internal, apa pun itu hasilnya, dan hanya diberikan ke klien saja maka tepat dimasukkan dalam urusan antara lembaga survei dan klien semata. Tapi jika itu menyangkut hasil survei, apa pun itu hasilnya, yang dilempar ke publik, dan sedikit banyak berpotensi memengaruhi (karena di situ ada unsur konflik kepentingan atau potensi menggiring), maka sewajarnya dan sepantasnya publik berhak mengetahui siapa yang mendanai lembaga survei tersebut. (Dalam hal ini, saya mengkritik sikap yang menempatkan publik hanya seperti “pasar pasif” yang menerima apa adanya dan berasumsi seolah-olah lembaga survei itu netral senetral-netralnya.) Hak atas informasi publik seperti ini menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Selanjutnya, jika publik tahu apa informasinya berikut potensi ketidaknetralan di dalamnya, maka mereka akan punya ‘reserve’ di kepala, bahwa di setiap hasil survei tetap ada potensi kepentingan klien atau “conflict of interest”. Publik selanjutnya bisa melihat informasi tersebut secara kritis karena mengetahui bahwa informasi itu tidak murni netral.
Keterbukaan inilah yang selayaknya ada di setiap lembaga survei mana pun (persis seperti etika penelitian di perguruan tinggi yang wajib menyebutkan siapa yang mendanai penelitian tersebut). Maka, sudah saatnya lembaga-lembaga survei dengan “gagah berani” menyatakan siapa yang mendanai saat mereka melemparkan hasil survei ke publik. Mari wujudkan transparansi dan keterbukaan publik yang bertanggung jawab. *
* (SWARY UTAMI DEWI)
* Swary Utami Dewi, Wakil Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena