Ki Atmadipurwa
Cat Rice Full Mis-mis
GORENGAN, main menus, menu utama Angkringan Lek Man, telah segelar sepapan berjajar, berbaris, bertumpuk, himpit-himpitan, jejel riyel tanpa sela. Tepung cukit adu taritis. Dekat, sangat dekat, sedekatnya dekat.
Segundukan penganan berminyak, gurih yang mengancam, tetapi konsisten ngangeni. Penganan yang sulit ditolak, setidaknya untuk dikenang. Salah siapa diciptakan minyak panas sebagai metode mematangkan makanan. Goreng menggoreng yang mengalahkan teknik pematangan melalui bakar, panggang, kukus, dan rebus. Hebatnya, siapa suruh ada bonus gurih pada gorengan yang melewati proses goreng jlantah?
Jlantah, rahasia gurih pada makanan. Kegurihan sambel pada sega kucing, rahasianya ada padha penyiraman seciprat jlantah pada ulegan sambal putaran terakhir. Demikianpun sambal sega kucing produksi Lek Man Kitchen Team di bawah komando Nyai Ngatman, fist lady Jokteng Square. Gurih dan pedas. Baik sega kucing sambel teri maupuan sambel telor.
Seperti malam-malam biasanya, Angkringan Lek Man selalu ramai. Ramai orang-orang jajan makan sekaligus mengumbar obrolan panjang. Obrolan lebih panjang daripada proses makan. Apalagi kalau dihitung harga yang harus mereka bayar, lebih sebagai membayar sewa tempat mengobrol daripada belanja makanan. Gorengan hanya sarana buat memberikan pengikat pengobrolan, makanan di angkringan tidak lebih penting dari suasana lepas. Angkringan Lek Mana, ekspresi kelas serba gorengan di antara “cat rice menu”, nasi bungkus setara porsi sediaan makan kucing rumahan. Kucing rumahan harus bisa makan nasi plus sedikit mis-mis, lauk beraroma amis.
“Sambel terinya, masih Lek?” tanya seorang pengunjung.
“Karet abang,” jawab Lek Man memberi tahu kode isi ramuan terpadu sega kucing. Di dalamnya ada sekepal nasi dan sakndulit sambal teri. Yang dinyatakan secara eksplisit sebagai sambal teri itu, senyatanya hanyalah seekor teri kecil, seukuran biting. Itulah konsep mis-mis dalam terminologi wong cilik melupakan rasa kangen kepada rasa masakan segumpal daging empal atau ikan gurameh utuh di piring. Untuk mengenang rasa nyuss itu, wong cilik menggantinya dengan sekadar bisa mengganda hawa amisnya daging, sekilas aroma, sekadar uap aroma amis-amis sedap.
Malam ini Lek Man menjalankan tugas mandiri dan tunggal. Wong cilik seperti Lek Man terbiasa digembleng untuk bisa hangabehi, mengerjakan semua, all round, dari isah-isah, menyedhuh kopi, merebus mie instan, hitung cepat, sampai meladeni obrolan tetamu. Malam ini Lek Man belum ketamuan pelanggan-pelanggan setianya. Denmas Tet, Kang Kuncung, Solis, mBah Mul Ceklik tidak muncul. Malah kedatangan wartawan seni senior, Kancil Bargawa. Ia pelanggan juga, cuma terbilang jarang mampir.
“Sendiri, Mas Kancil?” sapa Lek Man
“Siap Boss. Teh tubruk. Oke? Karet merah. Panggangkan tempe satu, ceker bacem empat, tahu dua. Oke?” order Kancil Bargawa sebari berdiri di samping Lek Man. Pesanan itu tanda ia meminta semua yang dipesannya diletakkan di atas piring seng, dan dia akan duduk di gelaran tikar trotoar bawah pohon beringin rindang. Teh tubruknya pun nanti harus di antar ke titik tempat Kancil Bargawa lenggah.
“Nunggu temen.”
“Ya sumangga. Tubruk tehnya gula batu?”
“Lha iya lah. Alahdene le tubruk-tubrukan. Rugi rasa kalau ndak gula batu. Bagitu Boss.”
“Hoke”
Kancil Bargawa telah membawa piring seng berisi penganan yang dipilihnya. Tapi bolehnya membawa nasi kuncing tiga bungkus, karet merah semua. Rupanya, Kancil Bargawa juga suka nasi kucing teri, suatu ekspresi menikmati makan lauk mis-mis. Jangan lupa, mis-mis itu juga disumbang dari efek jlantah.
Teman-teman Kancil Birawa yang datang menyusul, ternyata bukan orang-orang sembarangan. Satu orang partai anggota legislatif. Satu cendekiawan dari universitas, seorang sosiolog yang sering dimintai pendapat oleh media. Seorang lagi, pengusaha bangunan, kontraktor gedung. Lek Man mengenali mereka dari koran dan tivi. Baru kali ini mereka mengunjungi Jokteng Square. Rasa hati Lek Man seperti ketiban ndaru. Saat mengantar teh tubruk pesanan Kancil Bargawa, ketiga orang itu sudah duduk berhadap-hadapan lesehan di depan Kancil Bargawa. “Terimakasih lho Mas Kancil. Sudah mendatangkan para priyagung ke angkringan saya. Mau pada ngunjuk apa?”
Ditanyai begitu oleh Lek Man, ketiga tamu Kancil Bargawa itu celingukan tidak habis mengerti mau pesan minum apa. Tampak, mereka buta peta angkringan. Kancil Bargawa cepat tanggap. “Mangga. Silahken. Mau tubruk kayak sa ini, teh bisa, kopi bisa. Ato jeruk, anget ato dingin. Susu kental manis, apa wedang uwuh… mangga dipilih makanan rakyat murah meriyah….”
Mereka tersipu ketika mulai memesan minum. Buru-buru Kancil Bargawa menyambar suasana agar lebih cair. Kancil Bargawa tanggap atas kecanggungan para tamunya. “Lek Man, tolong diwadahkan saja penganan tradisional wong cilik itu. Kompliti ya Lek!”
“Hoke”
Sambil menunggu pesanan, ketiga orang ternama itu mulai berbicara serius dengan Kancil Bargawa. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang penting. Meski tampak penting, tetap saja Kancil Birawa duduk jegang sambil mulai memakan nasi kucing sambel terinya. “Enak, sega kucing sambel terinya. Enak,” komentar Kancil Bargawa sembari makan dan membiarkan tamunya saling bicara.
Tamu yang sosiolog itu bicara serius. “Nasi kucing, sindiran paling menghujam dari wong cilik. Cukup nasi sekepal dan sambal sakndulit, rakyat harus mengenyangkan diri. Seperti kucing rumahan, dijatah makan seperti yang dimakan tuannya, nasi dan mis-mis. Sebuah transformasi karnifora, pemakan daging menjadi herbifora, pemakan rumput dan biji-bijian. Suatu proses penjinakan kucing, berkompromi dengan kebiasaan tuannya. Mengapa demikian? Rahasia terbesarnya adalah, agar kucing tetap garang memburu tikus, merangsang nalurinya sebagai pemangsa daging mentah. Tapi apa jadinya sekarang? Setelah bertahun-tahun kucing diberi makan nasi, kucing generasi sekarang kehilangan passion memangsa tikus. Kesannya, zaman sekarang kucing takut tikus. Lha wong tikusnya lebih besar dari kucing. Apalagi, banyak kucing yang telah main mata dengan tikus dalam menggarong kemurahan hati para tuan pemelihara kucing.”
“Serius amat,” sergah tamu yang kontraktor.
“Apik kuwi. Ditulis, Dab. Tulis lah,” komen Kancil Bargawa.
“Aku sudah biasa makan di angkringan,” sambung tamu yang anggota dewan.
“Wah. Saya sendiri yang belum pernah,” timpal tamu yang kontraktor.
“Makanya, dipernahkan Boss. Biar merasakan amanat penderitaan rakyat, hahaha…,” sahut Kancil Bargawa.
Lek Man sudah datang mendekat memenuhi pesanan. “Mangga lho, dipesilahkan. Yang santai saja. Dhahar di sini ndak perlu kemrungsung seperti tikus dikejar kucing….”
Tamu yang kontraktor matanya terbeliak mendengar ucapan Lek Man. Kaget. Mungkin, amsal tikus dikejar kucing itu menyindir suasana hatinya. Dua tamu lainnya juga tampak tegang urat wajahnya. Kancil Bargawa tertawa renyah, “….hahaha…tenang saja. Lek Man bergurau…guyon.”
“Iya. Saya guyon. Intinya, saya cuman mau matur, slow aja… enjoy aja … ndak perlu sensi sensi amat ….”
Sejenak setelah Lek Man beranjak kembali ke area ring satu angkringannya, tamu yang kontraktor itu bertanya kepada Kancil Bargawa. “Siapa ta dia itu sebenarnya, jangan-jangan intel?”
Yk. 07.10.17