Ki Atmadipurwa
HARI benar-benar telah dini. Saat yang tepat Lek Man undur diri dari perlagaan wong cilik menembus malam mengais rejeki Tuhan. Saat yang tepat untuk lengser pada waktunya, lereh keprabon Jokteng Square, Angkringan Lek Man, internasional grass root traditional cuisine, mahkota seni rakyat dalam melakukan komodifikasi karya budaya lokal, kuliner pidak pedarakan. Lek Man mulai kukut-kukut, bersih-bersih, dan segera meninggalkan kuasanya untuk kemudian pulang dan petang hari nanti kembali tatrap jumeneng jadi penguasa round table exotico menues di Jokteng Square, taman angkringan Pojok Beteng, bawah rimbun bin rindang pohon beringin.
Lek Man sadar, meski dagangannya belum habis betul, masih tersisa sejumlah gorengan dan jerangan wedang jahe, tetapi karena masa jabatan sektor informalnya habis, Lek Man mundur dan siap digantikan yang lain. Akan segera datang, penjual nasi gudeg pagi. Bersamaan dengan itu Lek Man juga sudah memasukkan gorengan tak terjual dalam beberapa bungkus tas kresek, yang akan mengalir sebagai kewajiban sedekah untuk sesama pengais rejeki jalanan, sedulur tukang becak atau warga tetangga di kanan kiri gang masuk rumahnya, yang umumnya juga pekerja sektor informal tepi jalanan. Menjadi kebiasaan Lek Man, dagangan harus habis dan pulang membawa keseran dalam keadaan kosong.
“Misih ada turahan, Lek?” yang seorang pembecak dari atas sedel becaknya. Ia berhenti persis di dekat Lek Man yang siap mendorong keseran angkringannya meninggalkan Jokteng Square.
“Weh, kamu Ja? Misih … misih….,” sahut Lek Man gurawalan menyangking satu tas kresek isi gorengan mantan makanan dagangannya. “Ini masih satu …,” kata Lek Man sambil menyerahkan kepada Paija, tukang becak kenalannya.
“Tinggal satu jatah ta, Lek?”
“Iya. Kenapa?”
“Saya butuh dua.”
“Waaaa… sudah tersalur semua. Gimana ta?”
“Anak-anak saya pada lapar. Kemarin sore belum makan.”
“Weee…,” kata Lek Man tegopoh-gopok tangannya merogoh saku celana panjangnya. Ia mendudut gepokan uang, lalu mencabut lembaran dua puluh ribuan. “Sudah sana, buat beli beras.”
“Wah. Matur nuwun ya Lek. Digamblokkan ke utang saya.”
“Rasah utang. Itu saya berikan saja. Cepet sana dibelikan beras.”
“Ya. Lek. Nuwun ya.”
Paija mengayuh becak menuju arah timur, Lek Man buru-buru mendorong keserannya meninggalkan Jokteng Square agak terseok tergopoh. Dalam senyap dan dingin pagi, orang-orang pada bangun pagi mengakhir jeda istirahatnya sepanjang malam, Lek Man justru baru selesai kerja, Bu Sayuk penjual gudeg pagi sudah sengkut meneruskan kerja jualan setelah sepanjang malam masak gudeng, ayam, telur, nasi, bubur, dan sambel goreng. Keluarga Paija sepanjang malam tak nyenyak tidur karena lapar. Kata mBah Mul kepada Lek Man setiap kali nyandra kehidupan: ngalam donya itu warna warni isinya. Pepak.
Semalam, Lek Man menerima kehadiran Denmas Kasut. Sejatinya, priyayi ini pelanggan utama dan setia, seperti halnya mBah Mul. Lama tidak muncul karena sekarang sibuk jadi Timses. “Denmas Kasut, jadi Timses itu duwitnya mubra-mubru tinggal nyidhuk ya?”
“Ah. Ya gak, Lek.”
“Lho, para kadidat kan sugih duwit? Duwitnya gak pake seri, duwitnya motongi dewe, gitu ta?”
“Yang ngomong siapa?”
Lek Man diam tapi tangannya terampil menyeduh minuman pesanan tetamu angkringannya. Denmas Kasut sudah mengambil posisi duduk seperti yang telah menjadi kebiasannya. Di pojok, pada sudut lebar sehingga memberinya kelonggaran buat jegang atau sila tumpang. “Tanya Tolis itu!”
“Iya pa Lis?” sambung Lek Man kepada Tolis yang mulut monyongnya sibuk mengunyah penganan kesukaannya: timus.
“Gleak takhuuuu,” sahut Tolis tidak jelas karena tampak timus yang dikunyahnya memenuhi mulut yang bergerak-gerak lincah bertarung dengan empuknya timus.
“Gak tahu gimana. Kamu ini kan kelarisan nglayani kampanye pake pertunjukan ta?” sanggah Denmas Kasut atas kepura-puraan Tolis.
Tolis menelan kunyahan timusnya. Tampak agak seret maka teh jahe hangat diteguk buat mendorong perjalanan timus di kerongkongannya melaju lebih kecang, menghindar dari efek keseretan dalam wujut kecekikan. “Semua itu kan wang sinawang. Ketoknya pada sugih duwit, tapi satenannya ya sugih…”
“Sugih ya sugih gimana?” sahut Lek Man cepat.
“Sugih utang ….hahaha….”
“Semuanya duwit panas, Lek….” sambung Denmas Kasut sambil tertawa juga.
“Dipanggang pa, kok panas?” tanya Lek Man sambil mengipasi bara arang di anglonya.
“Dikompori investor ….”
Mereka tertawa lalu diam. Para tetamu angkringan lainnya ikut merespon ala kadarnya. Sebagaimana telah menjadi kode etik angkringan, kenal tak kenal kalau sudah semeja angkring, harus layaknya sudah kenal. Pembicaraan apapun harus dalam format dapat disahut oleh semuanya. Siapapun boleh urun rembug ataupun saling sahut dan komentar. Bahkan jikapun sampai terjadi perbedaan pendapat dan debat, perdebatan itupun dalam tenggang rasa tinggi, kesetaraan tinggi. Mereka berdebat bukan untuk saling memenangi, melainkan hanya untuk saling melengkapi. Falsafah debat angkringan, kata mBah Mul berulang-ulang kepada konstituen Angkringan Lek Man yang telah menjelma menjadi “ajaran angkringan”: yang ada dalam debat bukan kebenaran tetapi perjalanan menuju kebenaran. Wong angkringan itu, kata mBah Mul, orang soleh dalam berdebat, santun dalam bercakap, toleran dalam rerasan. “Kalau mau cari orang baik-baik, ngobrol saja di angkringan,” kata mBah Mul berulang-ulang.
“Saya itu sudah kerep nalangi, nomboki dulu. Karena, duwitnya belum ada,” kata Tolis mengaku.
“Ngutangi dulu Lis?”
“Iya, Lek. Tidak percaya ta?”
“Nasibku ki sama, Lek. Setiap kali harus ikut ngulir budi bikin cara duwit datang.”
“Kok bisa?”
“Timses itu tugasnya termasuk menggiring duwit,” sambung Denmas Kasut dalam nada redah setengah berbisik.
“Kok Denmas mau?”
“Kalau soal mau, bersedia jadi Timses, itu karena alasan ideologi,” kata Tolis sok gagah.
“Betul, Lis. Kok tahu? Pinter kamu.”
Tolis senyum klecam klecem, senyum tipis dan lubang hidungnya umas-umis. “Aku ok.”
Kata Denmas Kasut, alasan ideologis itu karena dorongan agar kekuatan politik tidak bergeser. Daripada dimenangkan mereka yang tidak menggenah, lebih baik masuk pertarungan agar menang dan terjamin kelangsungan kenggenahannya. Itu menurut Den Mas. Berbeda dengan Tolis, bolehnya dia suka menalangi karena ada potensi selisih yang bisa diubah menjadi keuntungan. Di situlah peluang dol tinuku yang transaksional terjadi. Kata Tolis, kalau sampai gagal bayar, ya nasib dan apes saja. Begja dan cilaka saja.
Sambil mendorong keseran angkringannya menuju kediamannya, Lek Mas terus terkenang percakapan semalam. Tentang begja dan cilaka. Hari makin pagi, gang mulai banyak yang lewat dan bertegur sapa dengan Lek Man. Orang kampung keluar rumah, berjalan berbegas di gang-gang menuju arah luar ke tepi jalanan besar. Ada yang sudah hendak berangkat kerja, tapi banyak pula yang membawa mangkok buat beli bubur sarapan ke Gudeg Bu Sayuk. Warung gudeg yang buka hanya sampai pukul 08.00. Jokteng Square lokasi warga mengais penghidupan. Malam menjadi arena Angkringan Lek Man. Pagi, Gudeg Bu Sayuk. Siang, bengkel sepeda Marto Sadhel didampingi oleh beberapa lapak klithikan dan warung wedang teh nasgitel Bu Klumpuk, tempat para blantik, calo, perantara, dan makelar tanah bersidang pagi, bertukar informasi. Mana tanah dijual, siapa pemiliknya, berapa harga penawarannya, berapa pesen komisinya, sertifikatnya, sejarah tanahnya dan seterusnya. Menjelang sore, ada seorang penjual wedang ronde dan gerobak kecil jagung-kacang rebus. Ketika Lek Man datang bersama keseran angkringannya, mereka semua tutup, pergi, dan Joteng Square menjadi haknya Lek Man. Semua gilir guna area itu tanpa perjanjian secuilpun tetapi sudah demikianlah yang berlangsung bertahun-tahun tanpa terjadi sengketa. Uniknya, masing-masing bertanggung jawab atas kebersihan dan sanitasinya.
Sambil mendorong keseran angkringannya menuju kediamannya, Lek Mas terus terkenang percakapan semalam. Bahkan malam-malam sebelumnya dimana mBah Mul berpesan, wong cilik itu punya ideologi tunggal, yaitu asas hidup damai lir gumanti, genten genti, sithik edhing, taat berbagi dan serba mau mengerti. Jumeneng dan lengser. Praktik ideologi wong cilik, tenteram bolehnya golek pangan. Golek pangan dalam paradigma wong cilik bukan sebatas cari makan melainkan lebih dari itu, yaitu menata kehidupan bersama. Bagi wong cilik, pangan itu bukan hanya makanan mulut dan perut tetapi juga pengisi ruang hati dan pengada di ruang batin. Kepuasan batin lebih bermakna daripada kepuasan mulut dan perut. Kata mBah Mul sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk landasan kayu tepi sisa tempat makanan dipergelarkan, “…sudah itu saja. So simpel. Golek pangan.”
Seperti Paija, sanggup berterus terang ketika anak-anaknya kelaparan. Sesama wong cilik, mereka begitu rela berterus terang, sesama wong ngaluhur, terus terang adalah kemewahan. Lagi-lagi, ingatan Lek Man, semuanya kata-kata mBah Mul, sesepuh penasihat asosiasi pelanggan Angkringan Jokteng Square. Angkringan yang tagline menunya: fresh from the wajan. Segala sesuatu: lewat area penggorengan.***
Yk, 01-III-2019