Ki Atmadipurwa
MALAM kali ini, malam istimewa. First Madame Chef, Yu Man, muncul dan hadir di antara penggemar Jokteng Square feat Angkringan Lek Man, penyedia grass roat traditional cusine ternama. Kehadiran Yu Man yang setulegi, setengah tuwa lemu ginuk-ginuk, mengubah suasana round table angkringan terasa hangat dan gembira. Tangannya cekatan meladenkan minuman tetamu, setara dengan kecekatan mulutnya menyahut spontan obrolan pelanggannya. Tangan dan mulutnya, sama-sama tangkas. Setangkas cuitan politisi di tahun politik.
“Tahun politik apaan. Dari dulu, obrolan di sini soal politik melulu. Semua tahun, politik terus,” kata Yu Man menyahut ucapan Tolis yang mengaku lagi menggarap pesanan pertunjukan seni dari tokoh politik. Tolis, seperti biasa datang bersama Kuncung, teman sekaligus seterunya.
“Tahun politik itu tahun coblosan, Yu,” buru-buru Tolis menyela.
“Saya tiap hari juga nyoblos,” sahut Kuncung.
“Misih bisa pa?” goda Yu Man
“Woooo, jangan ngembe … sini situ cepaki tak coblosnya.”
“mBel.”
Tolis tertawa. Pengunjung yang lain menyesuaikan suasana. Mereka yang duduk di dingklik panjang mengitar gerobak keseran yang terlanjur dinamai angkring, lebih sibuk pada aktivitas mereka menyeruput wedang pesanannya. Menggawel gorengan atau menyendok cat rice dari bungkusnya yang nglenga, berminyak karena efek oseng tempe atau dadar iris atau sambel teri. Suasana umum dalam komunitas penikmat angkringan, bercakap sembari bersantap.
“Besok bakalnya nyoblos apa dan siapa, Mas Kuncung?” sela Lek Man yang sedang menambah arang di tungku ceret telu, menjaga kepanasan air jerang, kemebul molak-molak.
“Bebas rahasia, Lek Man. Rahasia.”
“Sekarang itu, gak ada yang rahasia. Semua terbuka. Situ dukung sapa, sana dukung yang mana. Cetha wehla wehla ….,” sambung Lek Man sambil menggaruk tumpukan bara api di anglo sehingga menimbulkan percikan api berhamburan. Pyar bagai kembang api.
“Model relawan-relawanan, kelihatan sangat ngegla,” sergah Yu Man.
“Wis embuh lah. Wong cilik yang penting wareg. Sini, tolong ambilkan mihun….” kata Mas Kuncung meperlihatkan keputusasaannya berdiskusi. Bungkusan kecil mihun pindah tangan. Kuncung sibuk membuka dan siap menyantapnya. Porsinya, sejatinya hanya untuk sekali puluk dan sekali kunyah. Tetapi, demi menjaga tata krama angkringan, mihun saumprit itu disendok berulang-ulang. Ritual makan wong cilik, saemplokan tapi diemploknya berulang-ulang. Cara rakyat merasai kenikmatan untuk suatu kesyukuran: misih bisa makan.
Angkringan Lek Man sudah dikenal tempat seniman dan budayawan sering mampir, makan dan mengobrol. Lek Man dan Yu Man juga sudah hafal bin kulina, dipayoni segelas teh jahe, sebungkus nasi kucing, dan sepotong tempe bacem, tapi ngobrolnya nyaris sepanjang malam. Waktu, dalam falsafah angkringan, sangat tidak dikalkulasi. Beda dengan restoran cepat saji, kursi dan mejanya dibuat sempit, ditata rapat, saling berdekatan, sehingga pelanggan tidak jenak duduk berlama-lama. Siasat kapitalis, kata Lek Man. Di angkringan, malah disediakan tikar lebar, lesehan dan bebas leyeh-leyeh, ngobrol sepuasnya, makan secukupnya. Keramahan lokal, kata Lek Man. Bahkan angkringan sangat demokratis, boleh pilih di dingklik panjang dekat dengan round table menues angkringan dan hawa hangat tungku ceret telu, atau pilih tikar lesehan di atas trotoar yang merdeka. Mau duduk sila tumpang kendhangan dhengkul, silahkan. Mau jegang, lengekan, turon, dan dlosor, sangat dibolehkan. Bebas.
“Andaikan demokrasi itu a la angkringan, gak ada padudon rebut bener,” kata Tolis menyela di antara percakapan macam-macam dan asap rokok berhamburan. Tentu, sambil mulutnya mengunyah gorengan kesayangannya, timus.
mBah Mul datang menyusul, langsung duduk di sela antara Mas Kuncung dan Tolis. Pengunjung yang lain maklum, bahwa penasihat tertinggi Jokteng Square sudah rawuh. “Wehla, dingaren Kuncung ndak peye?”
“Ah. Ya pakai ngaso ta mBah. Pakai istirohat.”
“Waaaa…. tahun politik tahun panennya Kuncung, mBah…”.
“Eeeee, Yu Man, ta iki. Dingaren juga bisa turba ke angkringan. Ndak sibuk pa Yu?”
“MBah Mul ini, sesibuk-sibuknya saya, lha ya ndak sesibuk Mas Kuncung.”
“Tul,” sambung Tolis
“Mengunjuknya apa mBah?” tanya Lek Man
“Biasa.”
Banyak pelanggan yang minum “biasa”, artinya Lek Man sudah tahu. Biasanya mBah Mul, kopi tubruk plus garam kepyur. Biasanya Tolis, Kuncung, juga beda. “Cung, peye terus kok ra pernah membagehi aku lho,” keluh mBah Mul.
“Waaaa… nguyahi segara, menggarami lautan.”
“Kok menggarami lautan?” tanya Yu Man
“Lha wong mBah Mul ini sudah sugih brewu, mosok minta ujuran dari saya yang pelawak teri. Sana mBah minta sama nDara Tet yang pelawak kelas kakap,” kata Kuncung sambil plola plolo seperti ciri khas tampilannya di panggung. “Atau minta Tolis itu, jobnya gedhe gedhe!”
“Prex,” tangkis Tolis cepat.
Mas Kuncung, artis dagelan laris. Diorder para caleg dari beragam partai. Tolis, yang sedang ambyuk menjadi organizer, sudah punya pilihan hanya untuk satu partai, bahkan hanya melayani satu orang caleg. “Tahun politik pada laris ditanggap caleg dan timses ya?”
“Laris yang laris. Yang tidak laris ya banyak, mBah,” sahut Lek Man sambil mengulungkan kopi pesanan mBah Mul.
“Kalau ndak laris, itu saking bodonya seniman.”
“Ehmmm asemkik, mBah Mul ini bolehnya ngece membodo-bodakan ….”
“Cung, kamu tahu kenapa kamu laris?”
“Kenapa?”
“Apa karena dagelanmu lucu?”
“Ya tentu lucu.”
“Apa karena lawakanmu cerdas?”
“Ya tentu cerdas.”
“Salah.”
“Lha?”
“Karena kamu ini miskin dan memelas.”
“Asemkik. Layak dibelaskasihani gitu, mBah?”
“Bukan.”
“Lha?”
“Kamu jadi objek percontohan bahwa caleg yang menanggapmu telah mengamalkan kepedulian pada orang miskin, rakyat kecil melalui pemberdayaan bakatnya.”
“Modar ra kamu Mas Kuncung. Tepat sekali analisis mBah Mul,” sahut cepat Tolis.
“Wis mbuhlah. Terserah. Apapun analisisnya, sing penting dibayar. Beres.”
“Wis gek dilunasi utang sega kucingmu sama Lek Man ….”
“Pegimana ta mBah Mul ini. Sejak matahari hari pertama di tahun politik, seluruh utangku sudah lunas nas nas….”
“Top.”
“Artis papan atas.”
“Prex Lis. Tak usah ikut mengece.”
“Ha tapi lunas tidaknya itu ndak jelas, he mBah,” sambung Yu Man
“Kenapa?”
“Lha utangnya ndak pernah saya hitung.”
Itulah hebatnya ideologi angkringan. Utang pelanggan tak perlu dihitung dan dicatat. Menurut mBah Mul tahun politik itu tahun berkah bagi seniman panggung. Orderan banyu mili mengalir deras. Akan tapi, mereka akhirnya harus memilih. Menentukan pilihan. Memilih partai dan memilih caleg. Dalam kerangka itu, kecerdasan naluriah seniman panggung harus bicara. Kata mBah Mul pula, seniman panggung mampu jadi penimba suara.
“Tak hanya kelarisan mBah. Ada yang lebih penting lagi,” Lek Man angkat bicara.
“Apa itu Man?”
“Seniman panggung pada entol-entolan rega. Nego-nego harga. Pada milih yang bayar lebih gede.”
“Lho, wajar ta? Perdagangan bebas, Man.”
“Dalem bisnis tak ada ideologi. Paling benter, ideologi untung.”
“Ya tidak sebegitunya, Yu Man. Saya kok tetep pegang idealisme dan komitmen,” tegas Tolis mencoba gagah.
Pelanggan lainnya, mBah Mul, Kuncung, Kang Man menoleh tajam ke arah Tolis. Yu Man menjab-menjeb sembari menata ulang susunan gelar gorengan yang tampak sudah mulai bercampuran tidak jelas posisi bakwan, timus, cemplon, lenthok, tahu susur, tempe mendoan, dan bungkusan mihun, sega kucing, dan bakmi. Yu Man menata ulang sehingga kembali pada posisi standar khas menu angkringan. Bercampur tapi terpilah.
Tolis meneruskan ucapannya, “…. manusia itu yang digugu apanya? Kata-katanya, ucapannya? Bukan. Tindakannya? Bukan. Kedermawanannya? Bukan. Seseorang bisa dipercaya karena pilihan politiknya. Pilihan politiknya, tapi bukan pilihan partainya. Berpolitik tanpa partai.”
“Weh pinter kaya presenter tivi kamu ini Lis. Weh, nyolong pethek, mencuri tebakan. Tak mengira…”
“Iya mBah. Tahun politik, mengasah daya kira.”
“Tak usah padha iyik. Jatuhkan pilihan kita pada tempe bacem,” kata mBah Mul sambil memungut tempe bacem dan sebiji lombok ijo. Tempe digawel, lombok diceplus. Langsung tersentak, “… wuah, pendes.”
Yu Man menimpali cepat. “….lombok ya pedes, mBah. Dari dulu lombok pedes, sangat mudah dikira-kira.”
Tolis dan Kuncung menjeb sinis. “Whouwww”. Tahun politik, segalanya tak mudah dikira.***
Yogya, 01-2019