Puisi-puisi Kebangsaan diawali dengan dua puisi karya penyair kenamaan yang pernah dimiliki negeri ini, Sitor Situmorang. Kedua puisi Sitor ini terhimpun di dalam buku kumpulan puisinya berjudul “Angin Danau” yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1982. Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923, dan meninggal dunia pada 21 Desember 2014 di Apeldoorn, Belanda, dalam usia 91 tahun.
Bila Anda ingin berpartisipasi, silakan kirim karya puisi-puisi “Kebangsaan” tersebut ke sutirmaneka@gmail.com. Kami tunggu. Tabik. (Sutirman Eka Ardhana)
NYANYIAN TANAH AIR Salamku pada negeri tercinta Salam kawan, jabat tanganku, Salam pada putra dan putri Salam kawan. Salamku kenang, Salam negeriku. Salam jiwaku. UNTUK IVANA DAN TAN YOE HOK Hampir 50 tahun lalu di masa kecil Kami hidup dalam Lembaga Adat Hormat pada Leluhur Ia pun jadi anggota marga: Napitupulu untuk selama hayat di kandung badan. Kita kini punya marga yang tunggal: Sekali dihibahkan tak boleh disangkal. Bukti dan jaminan satu-satunya puluhan juta penghuni Nusantara bebas dari prasangka.
Salamku pada gunung-gunungnya
Salam pada lembah dan ngarai
Salam pada Danau Toba permai.
Ini aku kembali menjenguk engkau,
Salam pada desa tercinta-
kutinggal lama, lupa tak bisa.
Padamu yang berkecimpung di kali,
Salam pada kalian di tengah sawah-
Jauh merantau, lupa tak pernah.
Samosir tersayang menunggu di seberang,
Salam padamu, pulau kelahiran,
Bila umur panjang, jadi peristirahatan.
Biar tak lupa, kuambil sejemput
Aku datang lalu pulang ke perantauan,
Meninggalkan, negeri diberkahi Tuhan.
ada temanku nama Oei Seng Hoat
bersekolah dasar di pedalaman
di Tanah Batak Sumatra Utara
di tanah margamarga
di alam konstitusinya
yang tiada kienal beda
derajat maupun darah
pastortunggal budi-bahasa
Loyalitas terhadap tradisi lingkungan
yang dihibahkan dalam upacara
seperti aku marga Situmorang
tanpa perlu ganti nama
jadi Oei Seng Hoat Napitupulu
Menyangkalnya dosa adat terbesar
tak boleh menggolonggolongkan diri
tak boleh digolonggolongkan
Marga Indonesia kesatuan
dihibahkan oleh sejarah pengabdian
tak kenal warna, tak kenal darah.
Hukumnya: Yang menyangkal pantas dikucilkan,
sekalipun orangnya pemilik pembuktian
7 x 7 tambo turunan
ialah kepatriotan, jasa, keyakinan bertanahair.
Syukur jadi juara atas nama bangsa
atas nama warganegara tak bernama
yang tak pernah mempersoalkan warna kulit
apalagi darah keturunan
di alam Pancasila kerakyatan