Senin , 9 Desember 2024
Ilustrasi wayang kulit (ft. wikipedia)

Memilih Cakil

ANGKRING MATARAMAN

Ki Atmadipurwa

 
Malam telah larut. Siaran wayang kulit di radio sudah perang kembang. Perangnya Abimanyu melawan Cakil. Paling enak itu dadi Cakil, perannya selalu muncul, sekali tampil, mati berkali-bali selalu hidup lagi di lain lakon. Apapun lakonnya, Cakil musuh bambangannya.

Langit Yogya, malam itu bukan larut lagi, tetapi nyaris hampir pagi. Meski tak ada yang tekun mendengarkan, siaran wayang kulit radio sudah jadi ritual penting Lek Man, juragan angkringan The Traditional Mataram Cusine. Pengisi malam Jokteng Kulon. Angkringan bawah pohon ringin yang pelanggannya berlapis-lapis kesoksialannya. “Umpama dalam hidup ini boleh mimilih, aku ini milih jadi Cakil saja,” celetuk mBah Mul yang setia begadang menemani Lek Man. “Cakil itu, mati hidup berulang-ulang.”

Lek Man yang sudah mengantuk tapi pantang surut menutup warungnya. Meski sudah theklak thekluk, liyer-liyer, memacak seakan mendengarkan taksim pembicaraan mBah Mul. Lek Man tetap setia menemani laju malam, membiarkan gelar gorengan dan curahan jerang aneka wedangnya dibeli pelanggan. Ia tunggu sampai waktunya ditakdirkan ada yang beli. “Kadingaren, sepi….” kata mBah Mul lagi dalam pancar mata segar dan wajah sumringah.

“Sepi. Angkringan nyaris kalah sama kave kave ….”

“Ah ya ndak, Man. Pangsa nya beda.”

Makjenggerat, Lek Man tergagap. Bukan karena operator radio sedang membalik kaset rekaman, dan radionya menyisakan suara kemresek, tapi oleh kata-kata mBah Mul, “Pangsa …pangsa…”

“Mangsa … mangsanya beda gimana ta mBah Mul?” tanya Lek Man kepada pelanggan setianya itu.

“Mangsa gundulmu, Man. Pangsa, pangsa ki segmen.”

“Mosok jualan angkringan pakai semen, mBah?”

“Segmen itu pasar.”

“Lho jualannya tidak di pasar mBah. Di …anu kayak toko rumah makan restoran, tapi jualannya cuma kopi. Kopi dari mana-mana.”

“Iya Cafe. Full coffee …”

Lek Man mulai faham. Memahami jalan pikiran mBah Mul. Seburuk apapun pikiran Lek Man, bagaimanapun ia penyair wurung. Produk gagal Malioboro. Pensiun menjadi penulis puisi sebelum terlaksana jadi penyair. “mBah Mul, tapi angkringku ini, pelanggannya lintas batas lho ….”

Simak juga:  Kerja Udara

“Ya…ya… ya… aku tahu. Kalau tidak lintas batas, priyagung macam aku ini mana mau makan minum di sini?” Lalu, tangan kanan meraih bakwan dingin, menggawelnya dengan gigitan matap, dikunyah bersamaan dengan klethusan lalap lombok rawit ijo. Ceplus, bakwan dingin sekejap jadi hangat oleh pedas cabe. Themal themel bolehnya makan bakwan. Memang mulut Mul Ceklik harus penuh semangat perjuangan lantaran cokotannya sudah tidak pakem. Maklum, gigi palsu.

Melihat gaya mBah Mul makan bakwan, Lek Man komentar, “Gayamu mbah….”

“Iya he Man. Nek mangan bakwan alot kayak gini ini butuh perjuangan. Gigiku kudu bergulat sama bakwan.”

Lek Man tertawa. mBah Mul gembira.

“Naaa… gitu Man. Aki ini menggugah situ, je Man. Teges maneh, terus melek lagi. Itu Cakilnya sudah mati ketusuk keris sendiri,..”

“Kok tahu ketusuk keris?”

“Lha biasanya gitu, ta?”

“Ini Hadisugito lho mbah.”

“Lha kalo Gito gimana?”

“Bisa beda lho…”

“Beda gimana?”

“Cakil bis mati kleleken bakwan.”

“Gundulmu!! Asemok kamu ini.”

Kedua tertawa dan malam tidak sepi lagi. Siaran wayang pun sudah diteruskan setelah beberapa saat senyap. Operatornya mungkin ketiduran. Bagong sudah memainkan Cakil di saat sakaratul mautnya. Bagong ingin membantu menghunus keris yang menancap di dada Cakil supaya berkurang rasa sakitnya. Tapi oleh Bagong bukannya dicabut, tapi malah dicabut tusuk berulang-ulang. Cakil mengerang kesakitan Bagong tertawa terbahak-bahak. Cakil dibuat bahan berlucu-lucu.

“Kurangajar kok Bagong itu ….,” komentar mBah Mul

“Kok kurangajar?”

“Wong sudah mau mati kok dibikin main-main.”

“Lha ya kan cuma Cakil?”

“Man, Cakil itu jangan dicumakan!!!” gertak mBah Mul.

Simak juga:  MAWAYANG 2021: Merayakan Hari Wayang Bersama Kancil dan Dalang Perempuan

Lek Man diam. Tidak mencoba senyum. Wajahnya datar di bawah temaram cahaya teplok minyak yang berdenyar-denyar. Sementara itu, aneka gorengan masih tergelar komplit. Uap air mendidih juga terlihat mengepul. Jalan raya hanya sesekali ada sepeda motor lewat. Tapi andhong pembawa dagangan bakul pasar Beringharjo sudah melintas dari arah Batul. Untuk sementara Lek Man membiarkan suasana senyap. Maklum, kalau mBah Mul tidak menemaninya malam ini, menjadi suatu malam sepi yang sendirian. Rekor tiada malam tanpa pelanggan akan gugur. Angkringan Lek Man sudah amat dikenal sebagai angkringan tanpa pernak kesepian. Lek Man tidak pernah punya pengalaman, melewati malam tanpa pelanggan duduk membersamai. Hanya, malam ini mendapat anugerah khusus, ditunggui sesepuh asosiasi pelanggan Angkringan Lek Man, mBah Mul.

Lek Man memberanikan diri menimbul suara. “Lha kok bolehnya mBah Mul suka Cakil itu larah-larahnya gimana?”

“Cakil itu punya pengalaman mati berulang-ulang, sekaligus pengalaman hidup lagi berkali-kali. Tugasnya cuma satu, tarung musuh kesatriya. Tugas lain tak ada. Penak ta itu?”

Lek Man untuk melegakan mBah Mul, manthuk-manthuk saja seakan mengiyakan. “Man, kamu tahu ndak?”

Lek Man menggeleng. Juga untuk melegakan hati mBah Mul. “Ketahuilah Man. Cakil itu raksasa buta kerempeng. Buta itu kalau kerempeng, tangannya dua. Kalau gemuk, buta itu tangannya satu. Na Cakil ini buta yang baik, kalau menjarah, tangan yang depan ambil jarahan, tangan yang belakang meneruskan hasil jarahannya ke belakang, untuk teman-temannya. Kalau buta gendut, tangan depan ambil jarahan tapi disimpan untuk sendiri, makanya gemuk-gemuk. Gitu Man.”

“Sebaik-baiknya Cakil, dia tetep buta ta mBah? Rakus.”

“Hahaha … setiap yang lapar, cenderung rakus Man. Percaya aku!!”

“Supaya ndak rakus, hayo mBah makan lagi. Mangga… mangga, ini bakwannya masih banyak.”

Mbah Mul, “?????”

 

Januari,2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *