SELIRIA EPILOGUS
DALAM teks budaya Jawa, erat kaitan antara paseduluran dan pasrawungan. Paseduluran dalam pasrawungan, (rasa) persaudaraan dalam pergaulan. Sedulur dalam format geneologi, perihal hubungan darah. Paseduluran tak ada hubungan darah melainkan tumbuhnya relasi batin, hubungan emosional tanpa kalkulasi transaksional. Adanya dalam paseduluran adalah gentèn genti (silih ganti), lung tinulung (tolong menolong), mong tinemong (saling merawat), dan sithik édhing (kerelaan berbagi).
Pasrawungan dalam pengertian kemasyarakatan, punya makna pergaulan hidup sehari-hari. Namun, teks budaya Jawa memperlihatkan luberan makna, bahwa pasrawungan tidak sebatas pergaulan dalam arti interaksi sosial sesama warga dalam masyarakat, bukan sekadar saling mengenal dan bertegur sapa. Pasrawungan memasuki wilayah pemeliharaan dan pengembangan interaksi sosial hingga mencapai tataran harmoni sosial berkelanjutan. Berdimensi niatan untuk terus saling menjaga hati, saling menghormati, saling membutuhkan, saling memberi dan menerima, saling menolong, saling meringankan sebagai pengamalan etika tepa slira (tenggang rasa) dalam kadar ekspresi andhap asor (tidak sombong) dan lembah manah (lembut adem tak melukai hati).
Katakanlah, gentèn genti, tulung tinulung, mong tinemong, beserta tepa slira, andhap asor, lembah manah dianggap sebagai modal dasar budaya warga. Maka ketika kehilangan perasaan paseduluran dalam pasrawungan, bahkan ketika suasana pasrawungan telah tercabik-cabik dan compang-camping karena tiap warga telah meniti jembatan nggegamyang karsaning priyangga, menurutkan kehendak pribadi, maka timbul pertanyaan. Pertanyaannya, apakah tidak ada kapitalisasi atau komodifikasi modal dasar budaya dalam masyarakat kontemporer serba transaksional saat ini?
Jawabannya, untuk tetap terjaganya persatuan nasional, dalam arus besar perubahan sosial yang sedemikian dinamis dalam sekala besar dan multidimensional, tiang sangga fundamental yang layak dioptimalkan adalah implementasi modal dasar budaya warga. Dalam masyarakat yang kehilangan paseduluran dalam pasrawungannya, bahkan ketika pasrawungan itu sendiri terancam lenyap, maka kembali kepada pemanfaatkan akar budaya menjadi terasa penting dan perlu.
Sayang sekali, modal-modal dasar budaya telah tercerabut dan nyaris dilupakan walau masih dikenang sebagai pengalaman dan pengetahuan terhenti, pengetahuan yang kembali ke domain teoritik dan kehilangan daya praktik, tenaga terap dalam praktik kehidupan. Persatuan nasional, kerukunan nasional kadang terasa menjadi semacam bayangan romantik, kerinduan bersama untuk tidak tercabik-cabik, takut compang camping, khawatir carut marut. Pemenang adalah mereka yang bisa mengubah parasaan takut, perasaan kehilangan, perasaan khawatir menjadi realitas kekuatan jiwa, keperkasaan batin, dan kesepmataan raga untuk bangkit gumrégah melawan keadaan. Melawan secara diam dan damai, adhem ayem tentrem, melalui lorong-lorong kebudayaan. Kembali ke haribaan ibu budaya : nilai luhur yang logis, etis, dan estetik. Seni hidup dalam masyarakat majemuk. Indonesia Raya. ***
PURWADMADI ADMADIPURWA