Kirab Palakiyah sendiri merupakan tradisi yang memiliki akar sejarah amat panjang. Dari penelusuran yang ada, tradisi ini telah ada sejak zaman kerajaan. Selain sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur nenek moyang yang telah berlangsung secara turun-temurun, juga ada kearifan yang hendak disampaikan agar kehidupan berlangsung penuh harmoni, selaras dan penuh kebersamaan. Dalam catatan Raffles, tradisi ini telah hidup pada tahun 1500an. Ini terkait dengan digelarnya ritual dan seni “cepetan” yang sampai kini masih hidup dan berkembang di masyarakat Watulawang. Ritualnya antara lain sowan (ziarah) para kasepuhan ke makam Kuwu Kabayeman di Bukit Watulawang dilanjutkan dengan pemotongan kambing kendhit (kambing bulu hitam berselempang belang putih) dan penanaman kepala kambing itu di batas desa.
Sementara itu, Kepala Desa Watulawang, Pajagoan, Kebumen, Wasita, mengemukakan alasan digelarnya Kirab Agung Palakiyah. “Selain untuk meneruskan adat tradisi leluhur, kirab ini juga dimaksudkan untuk membuka peluang pengembangan bagi upaya peningkatan dan pendapatan bagi warga. Untuk itu, kami menggandeng pihak ketiga yang berkompeten seperti STIEPAR Yogyakarta, LKJ Sekar Pangawikan, dan Yayasan Wahyu Pancasila agar pengembangan potensi alam, seni budaya, sejarah, kuliner dll bisa tepat sasaran. Kami tidak ingin pengembangan pariwisata justru merusak kearifan dan keaslian budaya Watulawang”. Lebih jauh, Kades muda yang baru menjabat tiga bulan ini menginginkan agar kelak warga Watulawang menjadi tuan rumah di wilayah sendiri bukan penonton yang tak berperan dalam pembangunan. “Pemdes Watulawang sangat berhati-hati dalam melibatkan pihak luar. Ini wujud komitmen kami kepada leluhur agar apa yang telah diwariskan bisa diberdayakan dan dikelola secara benar, berkah, dan bermanfaat bagi warga”
Terkait pengembangan Watulawang sebagai desa wisata heritage, Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd, selaku fasilitator dalam paparannya menjelaskan potensi desa di puncak Gunung Pranji itu. Selain memiliki kepundan gunung api purba, juga dikenal dengan penghasil genitri dan tembakau tali merah yang khas. Kekayaan seni budaya juga lengkap, seperti cepetan yang melegenda dan kotekan lesung, macapatan kuna serta wayang kulit, kudalumping, menoreng (angguk), jam janeng, dan calung (angklung) “Apa yang kita saksikan hari ini sesungguhnya menunjukkan kedaulatan budaya. Adat tradisi ini telah berlangsung turun-temurun, autentitas masih terjaga, dan kesakralan masih dipertahankan. Semua dikerjakan secara mandiri dan swadaya. Ini sungguh sebuah pelajaran yang amat berharga bagi bangsa Indonesia. Budaya merupakan ruh sebuah bangsa. Ini harus dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sesuai jatidiri dan karakternya,” tandas dosen STIEPAR API Yogyakarta ini.
Kirab dipimpin oleh R. Bambang Nursinggih, S.Sn dari LKJ Sekar Pangawikan Yogyakarta. Salah satu keistimewaan kirab ini adalah diaraknya bendera pusaka Merah Putih yang telah dikibarkan sejak zaman kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bendera itu diserahkan secara turun-temurun sebagai amanah bagi Kades yang menjabat yang harus dijaga keamanan dan kelestariannya.