Kamis , 14 November 2024
Brug Luk Ulo di atas Kali Luk Ulo pada suatu waktu, terlihat dari kejauhan. (Ist)

Brug Luk Ulo Kebumen, Serpihan yang Tercecer

PADA tahun 1861 terjadi banjir besar di daerah Kedu Selatan. Saat itu banjir datang akibat hujan yang mengguyur seluruh daerah itu selalu tiga hari. Hal itu menyebabkan air sungai naik 12 hingga 18 meter, yang merusak banyak tanaman pertanian dan bangunan. Kejadian banjir ini dilihat oleh seorang Belanda bernama G.A Piet, insinyur sipil muda berusia 26 tahun yang baru lulus dari Sekolah Tinggi Delft (sekarang Universitas Teknologi Delft) di Negeri Belanda.

G.A Pet menemukan cara mengatasi masalah yang dihadapi Kedu Selatan agar bisa terhindar dari banjir. Ia menggagas membangun dua kanal, satu arah ke tenggara dan satu lagi ke barat daya. Awalnya gagasan G.A Pet ini tidak disetujui oleh tiga Residen di daerah itu. Tapi kemudian sempat disetujui, walaupun gagal dilaksanakan. Namun akhirnya gagasan G.A Pet juga yang dipakai untuk mengatasi banjir, yaitu dengan membangun dua kanal.

Pada tahun 1873, Kanal Ketawang yang menuju ke muara Kali Bogowonto di tenggara dibangun, dan enam tahun kemudian baru selesai. G.A Pet sendiri tidak sempat menyaksikan seluruh gagasan dan karyanya itu sampai selesai. Karena pada bulan Juli 1876 ia keburu meninggal dunia di usia 42 tahun kurang, disebabkan sakit malaria.

Simak juga:  Kirab Palakiyah Watulawang: Angkat Drajat Melalui Adat

 

Tinggalkan Banyak Karya
Perjalanan hidup G.A Pet yang singkat itu meninggalkan banyak karya dari hasil gagasannya sebagai insinyur. Selain kanal untuk mengatasi banjir, juga meninggalkan bangunan-bangunan lainnya. Antara lain berupa sejumlah jembatan yang terbentang di atas sungai di daerah Kedu Selatan.

Salah satu di antaranya jembatan yang terpanjang di atas Kali Luk Ulo (Loek Oelo), Kebumen. Jembatan ini dikenal juga dengan nama BRUG (Jembatan) Tembana, yang asal muasalnya dari kata sesuai dialek ngapak Kebumen Tembe Ana (batu ada). Tetapi tak sedikit pula menyebutnya Brug Luk Ulo (Lukula), sebutan yang sepertinya populer di masa kekuasaan Belanda dulu.

Jembatan Tembana yang berdiri di atas Kali Luk Ulo dibangun dengan konstruksi struktur berbentuk melengkung. Tujuannya agar mampu menahan beban secara seimbang saat dilalui kendaraan berat. Di bawah lengkungan jembatan terlihat tulisan empat digit angka, namun ada satu digit angkanya yang hilang. Kini tinggal tertulis “1-15”. Kemungkinan angka yang hilang itu angka sembilan. Bisa jadi itu sebagai tanda tahun pembuatan Jembatan Tembana, 1915.
Hingga sampai sekitar tahun 1920-an nama ‘Insinyur Gapet’ sangat dikenal. Begitulah nama G.A Pet diucapkan dengan mudah oleh masyarakat di daerah Kedu.

Simak juga:  Van Der Wijck Fort Gombong, Kebumen

 

Warisan Masa Lampau
Sebagian jembatan rancangan Insinyur Gapet (G.A Pet) itu mungkin sudah dibongkar, diganti jembatan baru. Tetapi ada juga yang dibiarkan utuh, hanya digunakan untuk lalu lintas satu arah. Sementara untuk arah yang lain dibangun jembatan baru.
Jembatan lama selain dari keaslian, rancangan, bahan yang digunakan, jelas merupakan bangunan yang bernilai sejarah, karena semua itu merupakan warisan masa lampau.

Masa lampau atau masa lalu itu penting dan berharga. Meskipun penting dan berharga, tetapi tidak cukup berharga dan penting untuk menghalangi masa depan. Kenanglah masa lampau sebagai sejarah yang harus dijaga dan penting bagi hari ini.
Seperti kata Johan Huizinga, “In het verleden ligt het heden, in het heden de toekomst” (“Masa lalu masih membekas, masa depan sudah hadir”). * (Ken Abimanyu)

Ken Abimanyu, seorang pecinta serta pemerhati sejarah dan budaya, yang lahir di Krakal, Kebumen, Jawa Tengah. Ia sering menyebut dirinya sebagai Inlander Krakal. Kini ia berkhidmat dan ‘bersibuk-sibuk’ di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *