Senin , 9 Desember 2024
Aneka kembang yang diperlukan dalam acara tradisi desa. (Foto: Ist)

Tradisi Desa Jatimulyo Petanahan Dalam Hadapi Wabah Penyakit

MASYARAKAT desa di Jawa sesungguhnya sejak dulu sudah memiliki cara atau tradisi desa dalam menghadapi wabah penyakit. Virus Corona yang sedang melanda negeri ini sekarang termasuk sebagai wabah penyakit tersebut. Dan, tradisi desa dalam menghadapi wabah penyakit itu merupakan bentuk mitigasi bencana.

Pernyataan menarik di tengah-tengah merebaknya ancaman virus Corona atau Covid-19 sekarang ini tersebut dikemukakan Sabit Banani, Kades Jatimulyo, Petanahan, Kebumen, baru-baru ini.

Menurut Sabit Banani, virus merupakan makhluk purba. Termasuk Corona. Dia ada sezaman dengan terbentuknya alam semesta. Jadi umurnya ribuan atau jutaan tahun. Cuman mungkin bermutasi dan berubah bentuk.

Dijelaskannya, menurut penelitian, ukuran virus paling tidak seperti sebutir garam dipecah jadi 10.000 butiran. Covid hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron transmisi. Bisa bergerak dan berpindah.

“Jika kita sepaham bahwa virus adalah makhluk tua. Dalam siklus sebuah masa kehidupan pasti ada wabah hebat. Tentu rakyat dan kebudayaan Jawa memiliki cara menghadapinya. Daya tangkal itu disebut Tolak Balak. Adapun wabah dalam bahasa zaman dulu disebut pageblug. Orang yang terkena penyakit disebut kesambet. Efek racikan ketabiban namanya Sawab,” ujar Sabit.

Sabit mengajak, masyarakat khususnya masyarakat di pedesaan untuk menggaris bawahi,  bahwa model leluhur kita mewariskan cara, jangan hanya dipandang sebagai klenik, mistis dan perdukunan. “Tetapi selalu ada pengalaman mereka lalui sampai kemudian meracik tradisi. Jangan pernah merendahkan reproduksi pengetahuan mereka pada zamannya itu,” tambahnya.  

Ketika menyinggung tentang apa saja ritual tradisi yang berkait dengan sakit, wabah dan kebencanaan yang relevan, Kades muda ini mengatakan, secara pribadi dirinya menggunakan pengalaman turun temurun keluarga sendiri, serta mewawancarai atau menggali pengetahuan dari tokoh-tokoh desa. Khususnya tentu tokoh-tokoh di Desa Jatimulyo, yang sekarang dipimpinnya.

Kembang Macanan

Simak juga:  Kethoprak, Upaya Memahami Jawa

Bicara tentang apa saja bentuk tradisi desa itu, Sabit Banani mengambil contoh tradisi yang ada di Desa Jatimulyo, Kecamatan Petanahan, dan apa saja yang sering dilakukannya sejak masih sebelum menjadi Kades hingga menjadi Kades.

Di antaranya tradisi mandi dengan Kembang Macanan. Kembang Macanan, ungkap Sabit, berisi daun sirih, daun sere, daun jeruk nipis, dingo bengle, kunyit, jahe, jeruk nipis, serta aneka rempah lainnya.

“Saya atau di keluarga kami biasanya merebus hingga mendidih dan airnya dicampurkan ke dalam air hangat yang akan digunakan untuk mandi. Kemudian airnya disaring. Karena bunga therapi biasanya langsung punya efek. Tubuh yang lesu dan loyo langsung mendapatkan energi. Baunya cukup sedap. Ingat, Covid menyerang orang yang immunitas tubuhnya lemah dan rentan sakit. Kembang Macanan biasa saya beli di Utara Pasar Dorowati, Klirong, Kebumen. Harganya 5000 perak. Sering jika anak sakit saya kesitu, atau pesan Ibu jika merasa tidak enak badan,” urainya.

Tradisi lainnya menempatkan daun Tawa di bawah tempat tidur. Daun Tawa tersebut, kata Sabit, dipetiknya di pekarangan. Biasanya dinasukkan ke dalam mangkok, lalu dituang air dingin. Lalu diletakkan di bawah tempat tidur.

“Secara umum, kamar tidur yang diletakkan air ini berubah hawanya. Menjadi dingin, tentram dan nyaman untuk tidur. Seolah menyerap hawa atau aura yang tidak enak. Selain itu bisa digunakan untuk mengkompres anak yang demam. Penempatan daun Tawa dan air ini zaman sekarang sama dengan menyemprot disinfektan,” tambahnya lagi.


Padasan di Depan Rumah

Simak juga:  Dua Buku Geguritan di Sastra Bulan Purnama

Dulu masyarakat Jawa terutama di desa-desa punya tradisi atau kebiasaan menempatkan padasan atau gentong air di depan rumah.  Tapi, tradisi padasan di depan rumah itu, diakui Sabit, sudah lama hilang di desanya.

Sabit Banani menceritakan pengalaman masa kecil semasa almarhum ayahnya masih hidup, jika ia sekeluarga habis takziah kematian atau menengok orang sakit pasti diperintah untuk wudhu, cuci tangan, dan kaki serta ganti baju sebelum masuk rumah.

“Syukurlah sekarang saya melihat banyak warga menyediakan piranti ini. Walaupun bentuknya sudah botol galon berkran. Pencermatan nenek moyang kita hebat namun sederhana, ya. Dalam kontek kesehatan mungkin ini kategori PHBS Perilaku Hidup Bersih Sehat,” katanya.

Kemudian ada tradisi puasa, tirakat dan berbagi makanan. Disamping itu juga tradisi Merti Desa atau bersih desa, menabuh kenthong, jimpitan, sedekahan, dan lainnya.

Tentang tradisi puasa, tirakat dan berbagi makanan, menurut Sabit, sejauh yang ia pahami itu sebagai bentuk rasa tawakkal kepada Allah, bahwa menghadapi sebuah cobaan harus tenang, tidak panik dan memiliki jiwa besar.

Sedang mengenai Merti Desa atau bersih desa, menabuh kenthong, jimpitan, sedekahan, memiliki makna pentingnya memiliki kesiapan cadangan logistik makanan dan solidaritas yang kuat.

Itu tradisi masyarakat desa yang masih ada di Desa Jatimulyo, Kecamatan Petanahan, Kebumen, yang dicoba tetap dipertahankan oleh Kades Sabit Banani. Lha, bagaimana di desa-desa lainnya? *** (SEA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *