Sabtu , 4 Mei 2024
Beranda » Pendidikan » Pak Nas Bicara tentang Komunisme: “Saya tak akan Pernah Lupakan Kekejaman PKI”
Jenderal Besar Abdul Haris Nasution (kiri) dan Jenderal Besar Soeharto (kanan). (ft. Ist)

Pak Nas Bicara tentang Komunisme: “Saya tak akan Pernah Lupakan Kekejaman PKI”

PADA delapan belas tahun lalu, tepatnya 6 September 2000, bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Pak Nas, demikian panggilan akrabnya, meninggal dalam usia 81 tahun. Di era Presiden Sukarno, Pak Nas merupakan petinggi militer yang menonjol. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dan kemudian Menteri Pertahanan dan Keamanan (1959 – 1966). Di awal pemerintahan Orde Baru, Pak Nas sempat dipercaya menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Sejak masa Orde Lama, Pak Nas merupakan petinggi militer yang tidak suka dengan ‘sepak terjang’ Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika terjadi peristiwa G.30.S yang disebut-sebut PKI terlibat di dalamnya, Pak Nas termasuk yang dijadikan target. Tapi dia berhasil menyelamatkan diri, namun korbannya justru putri tersayangnya Ade Irma Suryani, yang tewas tertembus peluru. Tak hanya itu, ajudannya Kapten Pierre Tendean, juga menjadi korban.

Pak Nas yang tercatat sebagai salah seorang Pahlawan Nasional itu, merupakan salah seorang dari tiga Jenderal Besar yang dimiliki negeri ini. Tiga Jenderal Besar yang dimiliki Indonesia, yakni Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Besar Soeharto dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.

Beberapa tahun belakangan ini, persoalan yang berkaitan dengan komunisme, PKI dan peristiwa 1965, kembali muncul dalam perbincangan politik di tanah air. Terlebih-lebih di bulan September, sebagai bulan yang selalu dikaitkan dengan peristiwa berdarah di tahun 1965 itu.

Ada baiknya, kita mengetahui bagaimana sesungguhnya pikiran dan pandangan Pak Nas mengenai peristiwa G.30.S, PKI dan ajaran komunisme tersebut. Nah, berikut ini mari kita simak apa yang dikemukakan Pak Nas, seperti yang tertera di dalam buku “Dua Jenderal Besar Bicara Tentang Gestapu/PKI“, karya Anton Tabah, terbitan CV Sahabat, Oktober 1999.

***

DI SAAT Dr Subandrio dan Oemar Dhani dibebaskan dari tahanan, saya juga ditanya wartawan tentang hal itu. Saya menjelaskan bahwa wajar mereka dikeluarkan. Mereka telah menjalani hukuman selama 30 tahun lebih atas apa yang telah mereka perbuat sebelumnya, dan di awal era reformasi ini tokoh-tokoh Gestapu PKI lainnya seperti Abdul Latief dan Boengkoes juga dibebaskan, meskipun di luar negeri tokoh-tokoh makar akan dipenjara ratusan tahun. Kita memang cenderung lebih pemaaf. Tetapi ada yang perlu diwaspadai. Mereka terkesan seakan-akan tidak merasa bersalah atas tindakan mereka di masa lalu.

Itulah yang sangat memprihatinkan saya. Saya sangat prihatin hasil wawancara dengan Latief dan Boengkoes dilansir begitu saja tanpa berusaha untuk mempelajari lebih dahulu apa yang pernah dilakukan mereka. Dengan pemberitaan tidak mendasar itu, bagi orang awam atau generasi yang tidak mengalami peristiwa-peristiwa di masa lalu dapat membawa dampak bagi pola pikir mereka, bahkan bila kurang waspada dapat terbawa dalam alur pola pikir yang seharusnya perlu dijauhi.

Saya tak akan pernah melupakan kekejaman PKI. Bagaimana mungkin saya melupakan itu? (Pak Nas menunjuk lubang-lubang bekas peluru di langit-langit kamarnya, di pintu kamarnya, yang hingga kini belum diganti. Pintu kamar terbuat dari kayu itu juga retak karena hantaman popor senapan pasukan PKI yang mencoba membunuhnya).

Ironisnya para bekas tahanan Gestapu PKI tersebut tak pernah menyesal dan saya melihat, mereka seakan-akan tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan di masa lalu. Mereka seakan tak merasa salah bahwa mereka telah melakukan pembunuhan terhadap para Jenderal Angkatan Darat yang dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Bahkan, saya membaca dalam salah satu surat kabar ibukota, mereka telah membentuk yayasan korban 1965-1966 untuk melakukan penelitian atas korban peristiwa 1965, bahkan katanya akan menuntut Jenderal Soeharto atas tindakannya memberantas G.30.S/PKI dulu.

Adalah sangat keliru kalau mereka mau menuntut Jenderal Soeharto. Jenderal Soeharto memang lengser dari kekuasaan karena reformasi. Itu harus dia terima sebagai konsekuensi logis atas kepemimpinannya selama ini yang sejak awal Orde Baru dia terlalu mempercayai orang-orang yang suka “menggunting dalam lipatan”, dan menjauhi mereka yang sesungguhnya berniat baik untuk bangsa dan negara ini. Itulah kekeliruannya. Dulu pun Bung Karno dikelilingi oleh durno-durno yang memanfaatkan posisi presiden  dan akhirnya bermuara kepada peristiwa G.30.S/PKI.

Simak juga:  Serat Sabda Tama Petunjuk Utama Kehidupan

Dan PKI tak pernah diam dengan cara mengadu domba. Saya termasuk orang yang diadu-domba dengan Jenderal Soeharto. Betapa pun perbedaan saya dengan kepemimpinan Jenderal Soeharto, tetapi saya tak pernah memvonis apa yang pernah dilakukan oleh Jenderal Soeharto itu seluruhnya salah. Bahkan saya membenarkan tindakan Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Gara-gara tindakan itu dia disalahkan Bung Karno. Tapi saya membenarkan tindakan Jenderal Soeharto.

Saat itu Bung Karno marah-marah, karena menurut Bung Karno, Surat Perintah 11 Maret itu adalah teknis keamanan, bukan untuk tindakan politik membubarkan PKI. Kemudian timbul ketegangan antara Angkatan Darat dengan pimpinan Angkatan lain. Presiden memanggil Waperdam Leimena ke Istana, pimpinan Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Kepala BPI Subandrio memberi informasi kepada mereka, bahwa Angkatan Darat akan menyerang Istana dan Pangkalan Udara Halim. Rencana Operasi Pangau jatuh ke tangan Kostrad, sehingga menyebabkan kecurigaan sesama angkatan dan hampir menyulut konflik.

Sebab itu tanggal 14 Maret malam, pasukan masing-masing Angkatan sudah bergerak pada posisi-posisi strategis. Setelah mengetahui duduk persoalannya, saya segera bertindak. Malam itu juga pukul 02.00 dinihari, atas permintaan Kostrad, saya mengundang para Panglima Angkatan ke rumah saya untuk menjernihkan persoalan. Saya jelaskan, kalau ingin aman maka PKI harus dibubarkan, dan apa yang dilakukan Jenderal Soeharo itu saya benarkan.

Setelah tercapai saling pengertian antara sesama Angkatan, pada pukul 04.00 WIB sebelum mereka pulang, saya pesankan agar semua pasukan harus ditarik dari tempat-tempat strategis, paling lambat pagi harinya. Dan mereka melakukan apa yang saya minta.

Dalam penyelesaian krisis malam itu, memang AURI sementara tidak kami libatkan. Tetapi, secara pribadi, saya berhubungan dengan beberapa pimpinan teras AURI. Ipar saya, Suhirman, memanggil Marsekal Rusmin Nuryadin, Deputi Panglima AURI, untuk berbicara dengan saya secara pribadi. Meskipun saya telah dipecat dari semua jabatan pemerintahan dan ABRI, tapi saya sebagai senior, memberanikan diri memanggil mereka. Demi menghindari tabrakan antar Angkatan.

Saya sengaja memanggil Rusmin Nuryadin, karena dia adalah Deputi Operasi Menpangau Oemar Dhani waktu peristiwa G.30.S/PKI. Memang AURI secara organisasi tidak terlibat, tetapi oknum-oknum pimpinan AURI waktu itu sangat berperan. Saya mendorong upaya sejumlah tokoh AURI yang melakukan pelurusan atas peristiwa-peristiwa sejarah masa itu. Tetapi itu tidaklah berarti menyalahkan sesuatu yang sesungguhnya terjadi mengenai strategi PKI.

Strategi mereka biasanya dilakukan secara bertahap. Pertama, menguasai daerah-daerah yang dianggap basis strategis. Caranya, membentuk kader-kader dan pimpinan partai. Setelah memperoleh posisi penting dalam partai, mereka mulai melakukan panetrasi terhadap badan-badan pemerintahan, ABRI, pers, Pendidikan, Orsospol dan Ormas, serta lembaga-lembaga yang strategis. Setelah itu mereka memobilisasi gerakan-gerakan, baik gerakan mahasiswa, pemuda, petani, buruh dan sebagainya.

Tahap kedua, setelah mereka menguasai daerah basis strategis, mereka mulai mengadakan perlawanan kecil-kecilan secara sporadis. Dulu, penyerangan-penyerangan kecil dan sporadis itu, kita alami, seperti peristiwa Jengkol, Indramayu, Kanigoro, Bandar Betsy, dan sebagainya. Sekarang, itu mulai terulang kembali. Massa menyerang Koramil, Polsek, Kodim, Polres dan instansi-instansi pemerintah. Tujuannya tiada lain untuk menjatuhkan wibawa TNI, Polri dan pemerintah secara luas.

Setelah tahap kedua ini berhasil dimatangkan, mereka meningkat ke tahap ketiga, yakni yang dianggap menentukan. Gerakan yang mereka lakukan di tahap ini adalah memberikan pukulan yang menentukan, yaitu melakukan pemberontakan.

Menguasai ABRI adalah landasan untuk merebut kekuasaan politik. Itulah yang terjadi ketika pemberontakan G.30S/PKI. Dan poros gerakan yang sama juga terjadi ketika mereka memberontak di Madiun, 18 September 1948.

Pada umumnya mereka mempunyai dua versi. Pertama, peristiwa itu adalah dalam konteks persaingan intern Angkatan Darat. Bahkan mereka menuduh balik, perwira-perwira yang berperan dalam pemberontakan itulah yang membawa-bawa nama PKI. Pengadilan terhadap mereka dijuluki “Sebagai sandiwara terpimpin”. Kedua, mereka berusaha dengan gigih menunjukkan bahwa Amerika-lah yang mendorong pemberontakan itu dengan pancingan-pancingan. Dengan demikian mereka hendak mengatakan, kita tidak punya pejuang patriot. Kita hanya dinilai sebagai orang suruhan atau antek asing. Para pemimpin Indonesia tidak lebih dari pemain bayaran. Dalam pandangan mereka, bangsa Indonesia tetaplah sebagai bangsa kuli, seperti pendapat para penjajah dulu. Dan ini dapat mempengaruhi opini dunia.

Simak juga:  Diskusi Kebangsaan XXIV: Demokrasi dalam Politik Transaksional

Ketika saya berobat ke Washington tahun 1975, saya membaca salah satu bahasan di surat kabar bahwa kehadiran tentara Amerika di Vietnam punya peran dalam keberhasilan TNI menumpas PKI tahun 1965. Bagi saya, itu saya anggap lelucon belaka. Sebab saya ikut menangani beberapa persoalan yang terjadi di Tanah Air. Tapi bagi orang yang tidak mengalami langsung, pemberitaan itu cukup memberi pengaruh. Dan saya sangat menyayangkan di masa Orde Baru kalangan intelektual Indonesia membaca tulisan yang ditulis oleh orang asing dengan mengutip sumber-sumber Indonesia yang kurang akurat. Tulisan-tulisan sepertin itu banyak.

Itulah sebabnya saya perlu menguraikan tragedi nasional 1965 itu dengan menyampaikan hal-hal di atas. Karena penulisan mengenai peristiwa itu telah bersimpang-siur, apa lagi di luar negeri. Tapi, tentu saja, apa yang saya kemukakan ini akan mereka cap sebagai “versi TNI”. Dari dulu mereka selalu menuduh bahwa TNI-AD berusaha mengkup Presiden Sukarno atas perintah imperialis Amerika, seperti yang diumumkan Letkol Untung. Keterangan yang lebih rinci mengenai kejadian ini telah saya kemukakan dalam memoar saya “Memenuhi Panggilan Tugas” Jilid 6 halaman 207-286.

***

SEBAGIAN dari pikiran dan pandangan Pak Nas mengenai peristiwa G.30.S yang terjadi di tahun 1965, juga tentang PKI yang disebut-sebut terlibat di dalam peristiwa itu, yang dikutip atau dicuplik dari buku  “Dua Jenderal Besar Bicara Tentang Gestapu/PKI” (karya Anton Tabah, terbitan CV Sahabat, Oktober 1999) seperti yang tertera di atas tersebut setidaknya bisa memberikan gambaran dan pemahaman mengenai apa serta bagaimana sesungguhnya peristiwa berdarah di tahun 1965 itu.

Pasca Orde Baru, perbincangan tentang peristiwa Gestapu di tahun 1965 masih tetap bermunculan. Perbincangannya tentu beragam. Dari keterlibatan PKI, dan anggapan PKI hanya menjadi korban, sampai bahaya ancaman tumbuhnya lagi PKI dengan paham komunismenya. Tapi satu hal yang layak kita ingat, bahwa setiap tanggal 1 Oktober, kita masih tetap merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu didasarkan pada ‘kesaktian’ Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa yang mampu menumpas serta menghancurkan anasir-anasir yang ingin menyingkirkannya. Dan, tak bisa dipungkiri, keberhasilan ditumpasnya aksi G.30.S di tahun 1965, merupakan bukti nyata dari Kesaktian Pancasila tersebut.

Di dalam buku “Dua Jenderal Besar Bicara Tentang Gestapu/PKI” tersebut, sepertinya layak juga disimak pernyataan Pak Nas yang menyatakan bahwa ada yang beranggapan komunisme sudah mati dan bukan lagi ancaman yang perlu ditakutkan negara ini. Padahal, menurut Pak Nas, komunisme itu kan suatu gerakan. Perjuangan mereka sudah tahap lanjut, dan meliputi dunia internasional.

Di dalam buku itu Pak Nas mengingatkan, upaya balas dendam dari PKI tetap harus diwaspadai. Begitu juga upaya pemutarbalikan sejarah yang dituliskan oleh pengadilan G.30.S/PKI.

Satu hal yang layak untuk disimak semua pihak adalah harapan Pak Nas kepada para bekas PKI agar sadar akan kesalahannya, dan kepada mereka yang dipersalahkan dalam peristiwa G.30.S/PKI itu untuk tidak melakukan balas dendam. Sebab itu akan berbuntut pada pembalasan lagi. Dan itu akan menyebabkan bangsa Indonesia akan tetap terpuruk serta terpecah-belah selama-lamanya.

“Saya sangat mengharapkan seluruh komponen bangsa, termasuk yang dipersalahkan pada peristiwa G.30.S/PKI itu, agar saling memanfaatkan dan mengubur semua tragedi sedih bangsa ini. Hanya dengan begitu, bangsa Indonesia bisa tegar kembali menghadapi masa depan yang banyak tantangan,” harap Pak Nas seperti tertera di buku itu. *** (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *