Kesatuan kebudayaan, tulis Ki Hadjar, berarti kesamaan sifat dan bentuk-bentuk yang pokok dalam hidup dan penghidupan rakyat di seluruh negeri itu, dan sekali-kali tidak mengharuskan adanya kesamaan dalam segala isi dan cara atau bagian-bagian hidup dan penghidupan segenap rakyat. Karena biasanya di samping kesamaan alam dan zaman yang pokok-pokok masih ada perbedaan-perbedaan keadaan di daerah-daerah, yang sangat mempengaruhi hidup dan penghidupan.
Perbedaan-perbedaan keadaan di daerah-daerah tadi, lanjut Ki Hadjar, makin lama makin akan berkurang, apabila hubungan antara daerah-daerah tersebut, baik yang bersifat lahir seperti adanya kereta api, radio dan lain-lain, maupun batin atau semangat semakin dipermudah. Dengan begitu kemajuan ke arah kesatuan kebudayaan, dalam zaman yang serba modern ini, pasti akan terjadi dengan sendiri dan dapat dipercepat dengan sengaja.
Anasir-anasir Kebudayaan
Ki Hadjar mengingatkan, di dalam usaha mempercepat atau mempermudah proses kemajuan itu hendaknya diingat pelajaran hukum evolusi, antara lain bahwa benih-benih hidup yang sehat dan kuatlah yang akan menang (seleksi).
Jangan pula dilupakan, tegasnya, akan adanya ansir-anasir kebudayaan yang bernilai tinggi di daerah-daerah, bahkan di kota-kota. Dan ingatlah selanjutnya, bahwa kebudayaan nasional itu sebenarnya tumbuh atau terbentuk dengan memakai bahan-bahan dari kebudayaan daerah. Sedangkan kebudayaan daerah itu senantiasa dapat isi dari kebudayaan kota-kota.
Hidup manusia di seluruh dunia, begitupun hidup kebudayaan bangsa-bangsa, urai Ki Hadjar, menunjukkan sifat tumbuh maju ke arah kesatuan sedunia dengan melalui jalan – continue dengan sifat aslinya, convergent dengan aliran-aliran lain dan akhirnya bersatu secara consentris dalam lingkaran universeel, yaitu menjadi anggota yang berpribadi – dari kesatuan peri-kemanusiaan sedunia.
Menurut Ki Hadjar, hidup kebangsaan yang merupakan suatu lingkaran dalam susunan lingkaran-lingkaran yang bertitik-pusat satu di alam dunia ini, tidak lain dari pada sifat khusus dari hidup peri-kemanusiaan dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Tanah air kita Indonesia, katanya, mulai dahulu selalu merupakan negeri kesatuan, baik geografis maupun historis dan kultureel. Sekalipun dalam tigasetengah abad yang terakhir ini kekuasaan politik ada di tangan bangsa asing, namun tidak pernah terjadi assosiasi yang mendalam antara bangsa kita dan bangsa asing itu.
Dinyatakan, hubungan yang nampak ada antara bangsa kita dengan bangsa-bangsa asing umumnya, khususnya dengan bangsa penjajah Belanda, hanya di sebagian lapangan hidup pergaulan masyarakat dan di lingkungan alam pikiran (pendidikan dan pengajaran, ilmu pengetahuan, dsb). Pertukaran bahan-bahan kebudayaan tak sampai dapat merupakan assosiasi. Akibat dari pada letaknya bagian-bagian negeri kita sebagai kepulauan, maka penjajahan Belanda dengan politiknya memecah belah, dapat memisah-misahkan rakyat kita, sekalipun hanya pada hidup lahirnya, rasa batin dan keinsyafan rakyat akan adanya kesatuan hidup sebagai bangsa tetap ada.
Sari Kebudayaan Bernilai
Karena terpisah-pisahnya hidup rakyat kita tadi, tulis Ki Hadjar lagi, pula disebabkan karena sukarnya hubungan-hubungan langsung antara daerah-daerah kepulauan kita itu, maka proses saling berpengaruhan kebudayaan antara rakyat-rakyat di kepulauan kita, sejak adanya penjajahan Belanda, sangat terlambat dan biasanya terhalang. (Bandingkanlah dengan hubungan-hubungan yang agak erat dalam zaman Majapahit, zaman Sriwijaya dan sebelumnya).
Sesudah pemulihan kesatuan negara dari bangsa kita, berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945, lanjut Ki Hadjar, maka apastilah proses saling mendekati antara rakyat di segenap kepulauan kita itu akan berjalan pula. Proses itu dapat dan harus kita permudah dan kita percepat. Misalnya dengan perbaikan hubungan kapal udara, kapal laut, kereta api, mobil, pos-telepon-telegrap, radio, harian dan majalah, perpustakaan, kesenian, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Dan lain-lain usaha yang dapat mempermudah dan mempercepat perkembangan ke arah kesatuan itu.
Lalu, bagaimana pendapat Ki Hadjar, jika muncul reaksi yang dapat menyulitkan atau menyukarkan upaya pemulihan kesatuan kebudayaan tersebut? Coba simak tulisan atau pendapatnya berikut ini.
Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan kebudayaan tadi, hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin dan tidak perlu dipersatukan; cukuplah kita hanya menyatukan pokok-pokoknya saja. Dalam pada itu ingatlah juga syarat-syarat ‘harmoni’ dan ‘waktu yang tepat’, seperti tersebut tadi.
Tetapkanlah sebagai dasar, bahwa: Kebudayaan nasional Indonesia ialah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan baru, yang berjiwa nasional. Dalam pada itu janganlah segan-segan:
a. menghentikan pemeliharaan segala kebudayaan lama, yang merintangi kemajuan hidup peri-kemanusiaan; b. meneruskan pemeliharaan kebudayaan lama yang bernilai dan bermanfaat bagi hidup peri-kemanusiaan, dimana perlu dengan diperubah, diperbaiki, disesuaikan dengan alam dan zaman baru; c. memasukkan segala bahan kebudayaan dari luar ke dalam alam kebudayaan kebangsaan kita, asalkan yang dapat memperkembangkan dan atau memperkaya hidup dan penghidupan bangsa kita. *** (Sutirman Eka Ardhana)