Senin , 9 Desember 2024

Yogyakarta Laboratorium Kebangsaan

Ki Hadjar Dewantara tentang Kebudayaan Nasional (2): Kebudayaan Nasional Tumbuh dari Kebudayaan Daerah

DI DALAM tulisannya Ki Hadjar Dewantara menyatakan tentang pentingnya satu negara, satu bangsa dan satu kebudayaan. Menurutnya, berhubung dengan kesamaan alam dan zaman, kodrat dan masyarakat, suasana dan sejarah, hidup dan penghidupan dan lain-lain keadaan, maka rakyat di suatu negeri, asalkan dapat hidup bebas dan merdeka, selalu merupakan satu negara, satu bangsa dan satu kebudayaan.

Kesatuan kebudayaan, tulis Ki Hadjar, berarti kesamaan sifat dan bentuk-bentuk yang pokok dalam hidup dan penghidupan rakyat di seluruh negeri itu, dan sekali-kali tidak mengharuskan adanya kesamaan dalam segala isi dan cara atau bagian-bagian hidup dan penghidupan segenap rakyat. Karena biasanya di samping kesamaan alam dan zaman yang pokok-pokok masih ada perbedaan-perbedaan keadaan di daerah-daerah, yang sangat mempengaruhi hidup dan penghidupan.

Perbedaan-perbedaan keadaan di daerah-daerah tadi, lanjut Ki Hadjar, makin lama makin akan berkurang, apabila hubungan antara daerah-daerah tersebut, baik yang bersifat lahir seperti adanya kereta api, radio dan lain-lain, maupun batin atau semangat semakin dipermudah. Dengan begitu kemajuan ke arah kesatuan kebudayaan, dalam zaman yang serba modern ini, pasti akan terjadi dengan sendiri dan dapat dipercepat dengan sengaja.

 

Anasir-anasir Kebudayaan

Ki Hadjar mengingatkan, di dalam usaha mempercepat atau mempermudah proses kemajuan itu hendaknya diingat pelajaran hukum evolusi, antara lain bahwa benih-benih hidup yang sehat dan kuatlah yang akan menang (seleksi).

Jangan pula dilupakan, tegasnya, akan adanya ansir-anasir kebudayaan yang bernilai tinggi di daerah-daerah, bahkan di kota-kota. Dan ingatlah selanjutnya, bahwa kebudayaan nasional itu sebenarnya tumbuh atau terbentuk dengan memakai bahan-bahan dari kebudayaan daerah. Sedangkan kebudayaan daerah itu senantiasa dapat isi dari kebudayaan kota-kota.

Hidup manusia di seluruh dunia, begitupun hidup kebudayaan  bangsa-bangsa, urai Ki Hadjar, menunjukkan sifat tumbuh maju ke arah kesatuan sedunia dengan melalui jalan – continue dengan sifat aslinya, convergent dengan aliran-aliran lain dan akhirnya bersatu secara consentris dalam lingkaran universeel, yaitu menjadi anggota yang berpribadi – dari kesatuan peri-kemanusiaan sedunia.

Menurut Ki Hadjar, hidup kebangsaan yang merupakan suatu lingkaran dalam susunan lingkaran-lingkaran yang bertitik-pusat satu di alam dunia ini, tidak lain dari pada sifat khusus dari hidup peri-kemanusiaan dan karenanya tidak boleh bertentangan  dengan dasar-dasar kemanusiaan.

Tanah air kita Indonesia, katanya, mulai dahulu selalu merupakan negeri kesatuan, baik geografis maupun historis dan kultureel. Sekalipun dalam tigasetengah abad yang terakhir ini kekuasaan politik ada di tangan bangsa asing, namun tidak pernah terjadi assosiasi yang mendalam antara bangsa kita dan bangsa asing itu.

Dinyatakan, hubungan yang nampak ada antara bangsa kita dengan bangsa-bangsa asing umumnya, khususnya dengan bangsa penjajah Belanda, hanya di sebagian lapangan hidup pergaulan masyarakat dan di lingkungan alam pikiran (pendidikan dan pengajaran, ilmu pengetahuan, dsb). Pertukaran bahan-bahan kebudayaan tak sampai dapat merupakan assosiasi. Akibat dari pada letaknya bagian-bagian negeri kita sebagai kepulauan, maka penjajahan Belanda dengan politiknya memecah belah, dapat memisah-misahkan rakyat kita, sekalipun hanya pada hidup lahirnya, rasa batin dan keinsyafan rakyat akan adanya kesatuan hidup sebagai bangsa tetap ada.

 

Sari Kebudayaan Bernilai

Karena terpisah-pisahnya hidup rakyat kita tadi, tulis Ki Hadjar lagi, pula disebabkan karena sukarnya hubungan-hubungan langsung antara daerah-daerah kepulauan kita itu, maka proses saling berpengaruhan kebudayaan antara rakyat-rakyat di kepulauan kita, sejak adanya penjajahan Belanda, sangat terlambat dan biasanya terhalang. (Bandingkanlah dengan hubungan-hubungan yang agak erat dalam zaman Majapahit, zaman Sriwijaya dan sebelumnya).

Sesudah pemulihan kesatuan negara dari bangsa kita, berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945, lanjut Ki Hadjar, maka apastilah proses saling mendekati antara rakyat di segenap kepulauan kita itu akan berjalan pula. Proses itu dapat dan harus kita permudah dan kita percepat. Misalnya dengan perbaikan hubungan kapal udara, kapal laut, kereta api, mobil, pos-telepon-telegrap, radio, harian dan majalah, perpustakaan, kesenian, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Dan lain-lain usaha yang dapat mempermudah dan mempercepat perkembangan ke arah kesatuan itu.

Lalu, bagaimana pendapat Ki Hadjar, jika muncul reaksi yang dapat menyulitkan atau menyukarkan upaya pemulihan kesatuan kebudayaan tersebut? Coba simak tulisan atau pendapatnya berikut ini.

 

Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan kebudayaan tadi, hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin dan tidak perlu dipersatukan; cukuplah kita hanya menyatukan pokok-pokoknya saja. Dalam pada itu ingatlah juga syarat-syarat ‘harmoni’ dan ‘waktu yang tepat’, seperti tersebut tadi.

Tetapkanlah sebagai dasar, bahwa: Kebudayaan nasional Indonesia ialah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan baru, yang berjiwa nasional. Dalam pada itu janganlah segan-segan:

a. menghentikan pemeliharaan segala kebudayaan lama, yang merintangi kemajuan hidup peri-kemanusiaan; b. meneruskan pemeliharaan kebudayaan lama yang bernilai dan bermanfaat bagi hidup peri-kemanusiaan, dimana perlu dengan diperubah, diperbaiki, disesuaikan dengan alam dan zaman baru; c. memasukkan segala bahan kebudayaan dari luar ke dalam alam kebudayaan kebangsaan kita, asalkan yang dapat memperkembangkan dan atau memperkaya hidup dan penghidupan bangsa kita. *** (Sutirman Eka Ardhana)

Ki Hadjar Dewantara tentang Kebudayaan Nasional (1): Kebudayaan Itu Sifat Wutuhnya Bangsa

DI TENGAH-TENGAH adanya kecemasan dan kekhawatiran semakin tergerusnya kebudayaan nasional kita oleh bentuk-bentuk kebudayaan asing atau kebudayaan dari luar, saya merasa beruntung telah memiliki buku lama dan langka berjudul “Taman Siswa 30 Tahun — 1922 – 1952“. Saya sebut lama, karena buku ini diterbitkan pertama kali pada Juni 1952. Diterbitkan untuk menandai peringatan 30 Tahun Taman Siswa. Kemudian diterbitkan atau dicetak ulang lagi oleh Majelis Luhur Taman Siswa pada November 1955. Dan, saya sebut langka, karena buku ini tentunya sudah sulit didapatkan, kecuali mungkin di perpustakaan-perpustakaan milik Taman Siswa.

Dari buku ini, saya mendapatkan pemahaman dan gambaran yang semakin jelas tentang pemikiran-pemikiran cemerlang, gagasan-gagasan hebat dan langkah-langkah besar dari pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, serta para tokoh Taman Siswa lainnya dalam membangun dasar-dasar pendidikan nasional dan kebudayaan nasional. Setidaknya, dari buku ini tersirat jelas, suatu bangsa akan menjadi besar dan jaya bila memiliki sistem pendidikan berkualitas dan kebudayaan nasional yang tinggi atau adiluhung.

Berbicara tentang kebudayaan nasional, di dalam buku ini terdapat tulisan Ki Hadjar Dewantara berjudul “Kebudayaan Nasional dan Hubungan dengan Kebudayaan Bangsa-bangsa Lain“. Sungguh, tulisan ini telah memberikan pemahaman dan pengertian yang amat penting tentang arti, hakekat dan makna kebudayaan nasional. Mari, kita simak.

***

 

‘Buah Budi’ Manusia

Apa itu kebudayaan? Menurut Ki Hadjar Dewantara, dari asal perkataannya maka kebudayaan berarti ‘buah budi’ manusia. Dan karenanya, baik yang bersifat lahir maupun batin, selalu mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan atau keindahan, ethis dan aesthetis, yang ada pada hidup manusia umumnya.

Dari timbulnya atau terjadinya, lanjut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia. Yakni, perjuangannya terhadap segala kekuatan ‘alam’ yang mengelilinginya, dan segela pengaruh ‘zaman’ atau ‘masyarakatnya’, yang kedua-duanya, alam dan zaman tersebut, menyebabkan terus menerus berganti-gantinya segela ‘bentuk’ dan ‘isi’ kebudayaan di dalam hidupnya tiap-tiap bangsa.

Sedang di dalam artinya yang umum, yang terpakai sehari-harinya, jelas Ki Hadjar, kebudayaan itu berarti sifat wutuhnya bangsa, teristimewa mengenai tingkatan atau derajat kemanusiaannya, baik lahir maupun batin.

Diuraikan, sebagai hasil perjuangan, pertentangan atau saling berpengaruhan antara hidup manusia yang berbudi itu dengan segala pengaruh alam dan zaman yang sering menyukarkan hidup manusia, maka kebudayaan tidak saja selalu mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, namun pula sifat-sifat kemajuan dan menggampangkan atau menyenangkan hidup dan penghidupan manusia.

Ki Hadjar mengingatkan, selalu ada kekuatan-kekuatan, baik di dalam alam dan zaman, maupun di dalam kodrat hidupnya manusia sendiri (antara lain, instinct untuk mempertahankan diri), yang menghambat  kemajuan hidup manusia. Dan, dengan begitu, menyebabkan kebekuan atau kemunduran (verstarring-decadensi), bahkan kadang-kadang matinya bagian-bagian dari pada kebudayaan.

Kebekuan itu, lanjutnya, kadang-kadang menyebabkan timbulnya kekacauan atau kegaduhan dalam hidup dan penghidupan rakyat, yang sangat merugikan. Dan, apabila ini diinsyafi oleh rakyat, serta di dalam masyarakat ada cukup tenaga-tenaga yang dinamis dan revolusioner, maka timbullah semangat ‘revolte‘, yang akhirnya semakin bergolak hingga berganti wujud, dari revolte kebudayaan menjadi revolusi sosial.

 

Perlunya Hubungan

Kemunduran, kebekuan atau kematian kebudayaan itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, selalu dapat ditilik dan dikenali, apabila diukur dan dibandingkan dengan sifat-sifat kebudayaan, seperti keluhuran, kehalusan atau keindahan menggampangkan serta menyenangkan hidup dan penghidupan manusia, dan memajukan dalam arti adab peri-kemanusiaan.

Dikemukakannya, untuk kemajuan hidup tumbuh kebudayaan diperlukan adanya hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Ambillah segala bahan kebudayaan dari luar yang dapat ‘memperkembangkan’ (yakni memajukan) atau ‘memperkaya’ (yakni menambah) kebudayaan sendiri.

Dalam kaitan hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain itu, Ki Hadjar mengharapkan perlunya usaha untuk ‘mengolah’ atau ‘memasak’ bahan-bahan baru dari kebudayaan luar tersebut. Coba simak apa yang dikemukakan dalam tulisannya di bawah ini.

Hendaknya tiap-tiap hubungan yang bersifat “assosiasi” (berkumpul namun belum bersatu padu) diusahakan menjadi “assimilasi”, dalam arti ‘mengulah’ atau ‘memasak’ bahan-bahan baru dari luar tadi, hingga menjadi ‘makanan baru’, yang lezat rasanya dan bermanfaat bagi kesehatan hidup. (Jangan meniru secara ‘mengcopy’ atau ‘ngeblak pola’ saja).

Jagalah pula akan selalu adanya ‘kesesuaian’ (harmoni) antara bahan-bahan kebudayaan baru dengan kebudayaan sendiri; pula harus adanya ‘waktu yang tepat’, diukur dengan ukuran ‘alam’ dan ‘zaman’ (natuurlijk dan psychologis) hingga dapat memudahkan ‘evolusi’, yang berarti: tetap terus maju dengan bebas, tidak terkekang,n tidak terdesak, tidak terpaksa, tidak menjadi beku dan zonder kekacauan atau kegaduhan.***  (Sutirman Eka Ardhana)

Dokter Wahidin Kobarkan Gagasan Rakyat Harus Cerdas

YOGYAKARTA sangatlah layak disebut sebagai kota atau daerah yang menjadi Laboratorium Kebangsaan. Betapa tidak. Karena jauh sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bahkan sebelum ikatan kebangsaan itu diikrarkan melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Yogyakarta telah menjadi tempat lahirnya sejumlah gagasan tentang pentingnya menumbuhkan serta mengobarkan semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan adalah semangat untuk membangun, membebaskan, dan memerdekakan suatu bangsa dan negara yang bernama Indonesia, dari cengkeraman penjajahan.

Salah seorang tokoh yang telah melahirkan gagasan-gagasan cemerlang mengenai kebangsaan dan mengobarkan semangat kebangsaan itu dari Yogyakarta adalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Ia lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada hari Rabu, 7 Januari 1852. Sekolah tingkat dasarnya di Yogyakarta, yang kemudian dilanjutkan di Europeesche Lagere School, juga di Yogyakarta. Setamat dari Europeesche Lagere School ia beruntung bisa melanjutkan ke Sekolah Dokter Jawa atau School tot Opleiding van Inlandche Artsen (STOVIA) di Batavia (Jakarta).

Semasa masih menjadi siswa Europeesche Lagere School ia sudah merasakan adanya ketidak-adilan dan ketidak-bebasan yang diderita rakyat. Ia selalu sedih menyaksikan derita kehidupan rakyat. Dadanya sudah bergelora melihat berbagai ketimpangan, keterbelakangan dan penderitaan rakyat itu, tetapi ia sadar dirinya belum bisa berbuat apa-apa.

Ketika ia melanjutkan pendidikannya di STOVIA, perhatiannya terhadap ketimpangan, keterbelakangan dan penderitaan rakyat itu semakin menguat. Di tengah-tengah kesibukannya belajar di STOVIA ia pun menyusun sejumlah gagasan atau rencana yang harus dilakukannya untuk membebaskan bangsa ini dari keterbelakangan, ketertinggalan, dan penderitaan akibat penjajahan. Tapi ia sadar, selagi masih dalam pendidikan di STOVIA, ia memiliki keterbatasan untuk melakukan atau mewujudkan gagasan-gagasan kebangsaannya itu secara lebih nyata lagi.

“Kalau bangsa ini ingin merdeka. Ingin bebas dari penjajahan, maka rakyat harus cerdas, harus pandai. Bangsa ini harus cerdas dan pandai. Untuk itu rakyat harus bisa sekolah. Harus bisa mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah,” rangkaian kata-kata ini disampaikan Dokter Wahidin dalam berbagai kesempatan bertemu dengan siapa pun, terutama rakyat, anak-anak muda, setelah ia berhasil meraih gelar dokter. Walau sebenarnya rangkaian kata-kata penuh semangat itu sudah ingin diteriakkan lantang olehnya semasa masih belajar di STOVIA.

Setelah meraih gelar dokter, ia pulang ke Yogya. Di Yogya, selain mempraktekkan ilmunya kepada rakyat yang memerlukan layanan jasa kesehatan, ia pun tak henti-henti menyampaikan gagasan-gagasan tentang perlunya membangun serta menumbuhkan semangat kebangsaan, dan perlunya rakyat bisa memiliki kesempatan untuk sekolah agar bisa cerdas dan pandai. Bahkan, sebagai wujud nyata dari perhatiannya yang besar terhadap derita rakyat, ia sering membebaskan rakyat tak mampu yang berobat atau meminta layanan medisnya sebagai dokter.

 

Melalui Retna Doemilah

Di masa-masa itu Dokter Wahidin sudah sadar betul dengan peran dan fungsi media massa dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan kebangsaan yang dibangunnya. Ia pun kemudian menerbitkan majalah Retna Doemilah. Majalah itu diterbitkan pada tahun 1904. Keberadaan majalah itu diharapkannya, selain bisa menumbuhkan semangat dan budaya membaca bagi masyarakat luas, tetapi juga bisa dijadikan sebagai alat atau media untuk merubah perilaku masyarakat akan arti penting dan manfaat pendidikan. Melalui majalah Retna Doemilah, gagasan-gagasan kebangsaan itu pun semakin tersebar luas.

Sepanjang tahun 1905, 1906 dan 1907 ia beberapa kali bertemu dengan pelajar-pelajar STOVIA. Dalam setiap kali bertemu, ia tak pernah berhenti mengingatkandan membakar semangat para pelajar STOVIA itu tentang arti pentingnya pendidikan atau sekolah bagi rakyat. Ia pun kemudian menganjurkan para pelajar STOVIA untuk mendirikan suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah membangun, mengembangkan dan memajukan pendidikan untuk rakyat. Organisasi itu harus bisa menumbuhkan keyakinan dan kesadaran rakyat tentang manfaat sekolah, di samping tentu juga mendirikan sekolah-sekolah bagi rakyat di berbagai tempat.

Sutomo, seorang aktivis atau tokoh pelajar STOVIA dan teman-temannya, ternyata tergoda dengan anjuran yang digelorakan Dokter Wahidin. Sutomo mendukung sepenuhnya pernyataan Dokter Wahidin yang menyatakan bila bangsa ini ingin merdeka dan bebas dari penjajahan, maka bangsa ini harus cerdas dan pandai. Untuk menjadi pandai dan cerdas, maka rakyat harus sekolah.

Demikianlah, dalam waktu relatif singkat, Sutomo dan teman-temannya kemudian merancang berdirinya suatu organisasi kebangsaan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi kebangsaan yang pertama itu pun didirikan dan diberi nama Budi Utomo (Boedi Oetomo). Sutomo yang kemudian lebih dikenal dengan Dokter Sutomo dijadikan ketuanya yang pertama. Dan, tanggal berdirinya Budi Utomo itu, 20 Mei, dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Dokter Wahidin yang menumbuhkan gagasan-gagasan kebangsaan dan berhasil membakar semangat Sutomo dan teman-temannya di STOVIA mendirikan organisasi kebangsaan yang pertama itu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Keppres No. 88/TK/1973. *** (Sutirman Eka Ardhana)