Seorang kenalan yang tinggal di kompleks perumahan wilayah Sleman sisi utara beberapa tahun lalu telah memperkuat kesan saya itu.
“Dalam konteks hubungan sosial, tinggal di perumahan itu tidak menyenangkan, jauh dari rasa nyaman. Hubungan antara satu keluarga atau penghuni rumah dengan penghuni rumah lainnya seperti ada sekat-sekat. Meskipun mereka berdekatan atau bersebelahan rumah. Sering terjadi, tetangga dalam satu gang atau blok misalnya, tidak saling kenal,” kata kenalan saya itu ketika ketemu di suatu acara.
“Mungkin karena perumahannya masuk kategori elit. Bukan kategori perumahan sederhana, yang penghuninya masyarakat menengah ke bawah,” timpal saya.
“Elit atau tidak elit, mewah atau sederhana, tidak bisa dijadikan ukuran. Masalahnya, karena penghuni perumahan itu datang dari beragam latar belakang budaya, termasuk latar belakang sosial, keyakinan, dan lainnya. Menyatukan sikap dan perilaku dari orang-orang berbeda yang bertemu atau berkumpul di suatu tempat bukanlah hal yang mudah,” kata kenalan saya itu lagi, memperkuat pendapatnya.
Terus terang kala itu saya sempat agak sependapat dengan pendapat dan pandangannya tersebut.
Apalagi saya juga sempat punya pengalaman miliki rumah di salah satu kompleks perumahan yang masuk wilayah Sleman sisi utara. Tapi saya tak sempat menempati rumah itu. Karena sejak awal hanya saya sewakan atau dikontrak orang lain.
Ketika awal-awal memiliki rumah itu, saya sering datang. Bersih-bersih rumah, dan lain-lain. Saat itu saya memang merasakan ada kesan yang berjarak dengan tetangga di kiri dan kanan rumah, maupun yang di depan. Kesan yang individual itu terasa sekali. Barangkali kesan itu agak berlebihan, karena waktu saya yang relatif singkat di situ. Dan, beberapa waktu lalu rumah itu sudah saya jual kepada orang lain.
Guyub dan Rukun
Ternyata pendapat, pandangan atau kesan penghuni kompleks perumahan lebih mengedepankan sikap individual, jauh dari sikap kebersamaan, dan jauh dari sikap guyub rukun itu tak sepenuhnya benar.
Saya tak mengada-ada, tak asal mengarang cerita. Sama sekali tidak. Sekarang saya merasakan dan mengalaminya sendiri.
Sejak bulan-bulan akhir tahun 2023 lalu, saya sudah bisa menyatakan diri sebagai penghuni salah satu kompleks perumahan. Ya, saya jadi penghuni komplek perumahan Pandawa atau lebih dikenal dengan nama Godean Jogja Hills (GJH), yang berlokasi di lereng bukit Pandawa, Sidorejo, Godean, Sleman.
Walaupun belum sepenuhnya ditempati, tapi saya dan keluarga setidaknya sehari sampai tiga hari dalam seminggu datang dan bermalam di situ. Meski hanya datang satu, dua hari, atau paling lama tiga hari dalam seminggu, saya sudah dapat merasakan kesan kebersamaan dan keakraban, kesan guyub dan rukun sesama penghuni. Tidak hanya sesama penghuni dalam satu gang, tapi juga dengan penghuni gang-gang lainnya. Dengan kata lain, kesan kebersamaan dan keakraban, guyug dan rukun sesama penghuni itu terbangun menyeluruh di kompleks perumahan yang berlokasi di lereng bukit Pandawa ini.
Dari pengamatan selintas, saya melihat sikap kebersamaan dan keakraban, guyub dan rukun itu terbangun berkat adanya kegiatan-kegiatan positif yang digerakkan di kompleks perumahan. Pengurus kompleks perumahan dan warga bersatupadu melakukan aktivitas-aktivitas yang tujuan dasarnya untuk lebih memperkuat tali silaturrahim antar sesama warga atau penghuni.
Aktivitas-aktivitas itu di antaranya pertemuan rutin pengurus perumahan dan warga, kerja bakti, ronda malam bersama, senam bersama arisan ibu-ibu yang tidak saja di tingkat perumahan, tapi juga di masing-masing gang, dan lain-lainnya.
Ketika Ramadhan 1445 H kemarin, warga di masing-masing gang melaksanakan buka bersama. Ada yang dilaksanakan di kompleks perumahan, ada juga memilih tempat di luar perumahan. Begitu pula ketika Idul Fitri, kompleks perumahan juga disemarakkan dengan acara syawalan atau halal bil halal. Tak hanya syawalan bersama warga se-GJH, tapi juga syawalan bersama warga di masing-masing gang.
Gang Wisanggeni
Para pecinta wayang, pasti akan merasa asyik bila tinggal di Perumahan GJH ini. Kenapa begitu? Bukit di sisi timur perumahan namanya Bukit Pandawa. Kemudian, nama-nama gang di kompleks GJH menggunakan nama-nama tokoh wayang. Misalnya, rumah saya berada di Gang Wisanggeni.
Entah kebetulan atau tidak, nama gang rumah saya, Wisanggeni. Wisanggeni itu merupakan salah satu tokoh wayang yang saya sukai. Bila diibaratkan dengan kehidupan manusia, Wisanggeni itu pejuang kemanusiaan yang sejati. Pejuang tanpa pamrih. Dia rela mengorbankan dirinya demi menolong orang lain.
Kesan kebersamaan dan keakraban, kesan guyub dan rukun itu benar-benar saya rasakan di Gang Wisanggeni. Tidak saja dalam pertemuan dan pergaulan sehari-hari, tapi suasana guyub dan rukun itu semakin terlihat jelas pada sejumlah kegiatan bersama warga Gang Wisanggeni.
Di antaranya pada kegiatan buka puasa bersama Ramadhan 1445 H lalu di salah satu resto di wilayah Kulonprogo, syawalan bersama yang kebetulan berlokasi di rumah saya, dan awal Juni 2024 bergembira bersama di Pantai Depok Bantul.
Ini yang saya ketahui di Gang Wisanggeni. Saya yakin di gang-gang lainnya suasana guyub dan rukun itu terbangun melalui sejumlah aktivitas atau kegiatan yang menarik lainnya.
Dan, yang pasti, tinggal di kompleks perumahan seperti halnya Godean Jogja Hills, sungguh mengasyikkan. ** (SUTIRMAN EKA ARDHANA)