“Jangan lari. Kalau kau lari, si hitam itu akan mengejar. Dia mengira diajak main lomba lari-larian, hingga dia akan memacu larinya untuk mendahului larimu,” suara Kakek dari arah belakang.
Aku lega. Ternyata ada Kakek di dekatku. Aku segera berlari mendekat ke Kakek dan bersembunyi di balik punggungnya.
“Hiiihh….seramnya. Saya takut, Kek,” kataku berdegup.
“Kenapa harus takut? Si hitam itu tidak jahat. Dia baik dan ramah….”
“Tapi, wajah dan bentuknya itu lho, Kek. Mirip monyet. Hiiih……menakutkan. Kata teman saya, monyet itu suka menggigit. Apalagi monyet yang besar.”
“Wajahnya memang mirip monyet, juga bentuknya. Bedanya pada warna bulu dan bentuk ekornya. Jika monyet atau kera warma bulunya agak keabu-abuan dan ekornya tidak begitu panjang. Tapi si hitam, warna bulunya ya hitam, sedang ekornya agak lebih panjang,” jelas Kakek.
“Apa si hitam itu masih saudaranya monyet, Kek?” tanyaku sambil tak lepas memandang ke arah si hitam yang duduk di tanah sekitar tujuh meter di depanku.
“Ya, benar. Si hitam itu memang masih saudaranya monyet. Dia lebih suka dipanggil lutung, karena memang itulah namanya. Tapi dia tidak suka menggigit atau mengganggu orang, kecuali mungkin kalau dia lebih dulu diganggu,” jelas Kakek berusaha meyakinkanku.
Si hitam masih saja memandangku. Matanya berkedip-kedip. Aku memang melihat kesan ramah di matanya. Wajahnya juga jauh dari kesan garang.
“Benar Kek, si hitam itu baik? Tidak mau menggigit kita? Tidak mau merebut barang apa pun yang ada di tangan kita?” aku masih saja penasaran.
“Lutung itu binatang baik. Binatang yang ramah. Kalau tidak percaya, cobalah minta pisang kepada Nenek di dapur. Jangan banyak-banyak, satu saja,” kata Kakek kemudian.
“Betul, Kek?”
“Betul. Cepatlah minta pisang ke Nenek.”
Aku segera berlari ke rumah. Kutemui Nenek yang sedang sibuk di dapur.
“Kenapa berlari-lari? Jalan biasa saja. Kalau berlari nanti bisa jatuh,” sapa Nenek langsung begitu melihatku di dekatnya.
“Nek, minta pisangnya satu saja,” kataku agak tergopoh-gopoh.
“Cukup satu? Tidak nambah? Lebih dari satu pun tidak apa-apa,” tanya Nenek seraya mengambil sebutir pisang.
“Cukup, Nek. Satu saja, sudah cukup. Cuma untuk si hitam saja, kok.”
“Si hitam?! Si hitam siapa?” tanya Nenek heran.
“Si hitam yang di belakang rumah, Nek.”
“Yang di belakang rumah?!” lagi Nenek heran. Dahinya tampak berkerenyit.
“Ya. Yang baru saja turun dari atas pohon karet,” jelasku.
Tampaknya Nenek masih belum puas dengan penjelasanku. Nenek lalu melangkah mendekat ke jendela dapur, dan melongok ke pekarangan belakang rumah. Setelah itu terlihat ada senyum di wajahnya.
“Oooo…untuk si lutung itu. Nenek pikir untuk siapa,” kata Nenek.
Tanpa mengomentari kata-kata Nenek, aku segera berlari lagi ke arah Kakek.
“Ini Kek, pisangnya,” seruku.
“Nah, sekarang ulurkan pisang itu kepada si hitam. Jangan dilemparkan. Begitu melihat pisang diulurkan kepadanya, ia pasti akan datang mendekat dan menyambut uluran tanganmu,” ujar Kakek. (SUTIRMAN EKA ARDHANA/BERSAMBUNG)