Sabtu , 14 September 2024
Illustrasi. (Ist)

Si Hitam yang Ramah (Cernak: 3)

Sejak di dalam bis dari Yogya ke Jakarta, disambung pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru, sampai dalam kapal motor di atas Sungai Siak yang membawaku ke kotanya Kakek, aku terus mengkhayalkan wajah makhluk hitam itu. Rasanya aku tak sabar untuk melihatnya.

Tanpa mengutarakannya kepada siapa-siapa, pagi-pagi sekali, di pagi yang pertama di rumah Kakek, aku langsung menuju ke belakang rumah.

Benar apa yang dikatakan Ayah. Baru beberapa menit di belakang rumah, aku sudah melihat makhluk-makhluk hitam itu. Bahkan tangannya sudah menyentuh tanganku.

Di pagi kedua, seperti hari sebelumnya pagi-pagi sekali aku sudah berada kembali di belakang rumah Kakek mencari si hitam. Kali ini sudah siap dengan sebuah pisang.

Ternyata si hitam sudah terlebih dulu menungguku. Begitu tahu aku datang dengan membawa pisang di tangan, si hitam pelan-pelan beringsut mendekat. Lalu dengan sorot mata yang ramah, diulurkan tangannya. Pisang itu pun langsung kuberikan. Si hitam kembali berlompat-lompatan. Ah, betapa gembiranya hatiku melihat si hitam kegirangan, senang dan bahagia.

Simak juga:  Memahami Profesi Kewartawanan

Tapi di pagi yang ketiga, aku kecewa. Ya, kecewa. Sungguh kecewa. Sudah berjam-jam aku menunggu di belakang rumah, si hitam tak juga muncul. Kucoba mencari-cari dengan pandanganku, tetap wajah si hitam tak kunjung kutemukan.

Tak ada suara-suara berisik di pohon-pohon karet. Tak ada makhluk-makhluk hitam yang bergayutan di dahan-dahannya. Semuanya terasa begitu sepi. Hanya ada suara desau angin angin yang lewat di celah-celah dedaunan karet.

“Pagi ini si hitam tampaknya tidak datang. Mungkin dia dan kawan-kawannya sedang berada di kawasan kebun karet yang lain. Mereka memang selalu begitu. Berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Nanti dua atau tiga hari lagi baru kembali kemari. Sekarang kita masuk dulu ke rumah,” aku agak dikejutkan dengan suara Kakek.
Ternyata Kakek selalu memgawasiku. * (SUTIRMAN EKA ARDHANA/SELESAI)


*Cernak ini sebelumnya dimuat di majalah anak-anak Putera Kita No. 308, 5 – 20 Mei 1995, dengan menggunakan nama penulis Ayu Bunga Indriyana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *