Aku sempat merasa takut juga melihat si hitam sudah berada sekitar tiga meter di depanku. Dadaku berdebar agak kencang. Wajahku terasa tegang.
Tanganku sedikit gemetaran ketika mengulurkan pisang itu. Begitu kuulurkan, si hitam seperti beringsut mendekat. Kini si hitam benar-benar berada di depanku. Hanya berjarak sekitar lima jengkal tangan saja. Lalu tangan kecil dilapisi bulu berwarna hitam itu dijulurkannya ke arah tanganku.
Sambil mata setengah terpejam, pisang yang di tangan itu pun kusodorkan lebih ke depan lagi. Lalu, terasa ada jemari-jemari tangan berbulu halus yang menyentuh. Dan kemudian kurasakan pisang itu sudah terlepas dari tanganku.
Benar. Begitu mata kubuka lebar-lebar, pisang yang di tanganku sudah berpindah ke tangannya. Si hitam tampak gembira. Ia melompat-lompat kecil seperti menari kegirangan.
“Benar kan, si hitam itu baik dan ramah?” kata Kakek.
Aku mengangguk dengan perasaan lega dan gembira.
Si hitam menghentikan gerakannya melompat-lompat. Ia lalu memandang ke arahku. Pandangannya serius. Matanya berkedip-kedip. Setelah itu ia melompat ke arah sebatang pohon karet dan kembali naik ke dahan-dahan pepohonan.
“Si hitam itu tadi mengucapkan terima kasih kepadamu. Binatang saja bisa bersopansantun dan mau berterimakasih kepada orang memberikan sesuatu kepadanya. Nah, sebagai manusia, seharusnya kita merasa malu bila tidak bisa bersikap lebih baik dari si hitam itu,” jelas Kakek.
“Aku suka sama si hitam, Kek. Dia lucu dan sopan. Aku ingin bermain dengannya,” kataku gembira.
Aku benar-benar senang melihat si hitam bergayutan dan melompat dari dahan ke dahan pohon-pohon karet.
Sejak pertemuan dengan si hitam di pagi yang pertama di rumah Kakek itu, wajah dan kerdip-kerdip bola mata si hitam terus membayang. Ternyata benar apa yang dikatakan Ayah, gumamku.
Semula cerita Ayah tentang makhluk hitam yang banyak bergayutan pada pohon-pohon karet di belakang dan sekitar rumah Kakek, kuanggap hanya khayalan belaka. Dan, kuanggap juga sebagai bagian cara Ayah membujukku agar mau berlibur di rumah Kakek.
“Pasti kau akan senang berlibur di rumah Kakek. Di sekitar rumah Kakek, ada hamparan kebun karet. Pohon-pohonnya rimbun dan menghijau. Buah-buah karet berwarna coklat berkilat dan besarnya hampir dua kali kelereng.
Menarik untuk dijadikan hiasan serta main-mainan. Dan, yang lebih menarik lagi, di pohon- pohon karet di belakang rumah Kakek dan sekitarnya itu, setiap pagi banyak makhluk-makhluk hitam yang bergayutan di pohon-pohon. Tapi mereka makhluk-makhluk yang menakutkan. Mereka makhluk-makhluk lucu dan menyenangkan,” kata
Ayah saat masih di Yogya, sehari sebelum berangkat berlibur ke rumah Kakek.
Semula aku agak tidak bersemangat untuk berlibur ke tempat Kakek. Apalagi kata Ayah, rumah Kakek dan Nenek, tempat Ayah dulu lahir dan dibesarkan itu cukup jauh dari Yogya. Tepatnya, di sebuah pulau kecil, di sebelah timur
Pulau Sumatera yang jaraknya cukup dekat dengan negara tetangga, Malaysia. Nama pulau itu Bengkalis.
Tetapi begitu mendengar cerita Ayah tentang makhluk hitam lucu dan menarik yang banyak bergayutan di pohon-pohon karet di belakang rumah Kakek, aku jadi bersemangat. Bahkan berharap agar secepatnya sampai di rumah Kakek. (SUTIRMAN EKA ARDHANA/BERSAMBUNG)