Suatu pagi, Putri Duyung berjalan-jalan di pinggir pantai, melihat keindahan laut dan menyaksikan kesibukan nelayan yang baru pulang melaut.
Ketika mendekat ke sebuah perahu nelayan yang penuh dengan ikan, pandangan Putri Duyung tertuju ke ikan besar berwarna keputih-putihan. Ikan itu masih hidup. Sorot matanya menarik perhatian Putri Duyung.
Dan, Putri Duyung melihat jelas, ada air yang menetes dari mata ikan itu. Ia pun iba melihatnya.
“Maaf, Pak Nelayan, itu ikan apa namanya?” tanya Putri Duyung kepada Pak Nelayan sambil menunjuk ke arah ikan yang menangis itu.
“Itu namanya ikan hiu,” jawab Pak Nelayan.
“Bolehkah ikan hiu itu saya beli?”
“Oh, bila Putri menginginkannya, dengan senang hati hamba memberikannya. Tidak usah membayar. Ambillah Putri yang baik hati,” ujar Pak Nelayan terbata-bata.
Pak Nelayan lalu memberikan ikan itu kepada Putri Duyung. Betapa gembiranya hati Putri Duyung.
Baru beberapa langkah Putri Duyung beranjak pergi meninggalkan perahu nelayan itu, ia dikejutkan dengan suara dari ikan hiu yang dibawanya.
“Terima kasih Putri, telah menyelamatkan saya dari tangan nelayan itu,” kata-kata ini keluar dari ikan hiu.
Putri Duyung terkejut.
“Oh, kau bisa berbicara ikan hiu?” tanya Putri Duyung keheranan.
“Ya, tapi sebentar lagi, mungkin saya tidak bisa berbicara. Karena saya akan kehabisan napas. Namun kalau Putri memasukkan saya kembali ke air laut itu, saya pasti bisa bernapas lagi,” jelas ikan hiu.
Putri Duyung bergegas membawa ikan hiu ke tepi laut dan melepaskannya ke air. Ikan hiu itu tampak gembira ketika ketika tubuhnya kembali menyentuh air. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya, seperti menari kegirangan.
“Terima kasih. Sekali lagi terima kasih, Putri. Lagi-lagi Putri telah menyelamatkan saya jiwa saya. Kalau tidak, saya tentu akan mati. Dan kalau saya mati, kasihan anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Tak ada yang akan memelihara dan memberi mereka makan,” ujar ikan hiu terharu.
Putri Duyung pun terharu.
“Kalau begitu kembalilah cepat ke tempatmu. Kasihan anak-anakmu, mereka pasti sedang menunggu kedatanganmu. Dan lain kali, berhati-hatilah, jangan sampai dirimu terjerat jaring nelayan lagi,” kata Putri Duyung.
“Terima kasih, Putri. Terima kasih telah membebaskan saya. Dan sebagai rasa berterimakasih saya, besok pagi saya dan kawan-kawan akan menunggu Putri di sini,” ujar ikan hiu.
“Menungguku? Untuk apa?”
“Saya dan kawan-kawan akan membawa Putri bertamasya ke dasar laut. Di dasar laut pemandangannya sangat indah dan menakjubkan.”
“Baiklah….baiklah, aku memang ingin melihat keindahan di dasar laut,” seru Putri Duyung kegirangan.
Memang benar. Keesokan paginya, ikan hiu dan kawan-kawannya sudah menunggu Putri Duyung di tepi laut. Putri Duyung datang sendiri, tanpa disertai pengawal. Kalau disertai pengawal, pasti ia akan dicegah ikut ikan hiu bertamasya ke dasar laut.
“Pakailah sapu tangan dari rumput laut ini, Putri. Tutupkan di hidung dan mulut. Biar di dalam air, Putri bisa bernapas seperti di daratan,” kata ikan hiu sembari memberikan sapu tangan dari rumput laut itu kepada Putri Duyung.
Putri Duyung mengenakan sapu tangan itu sesuai petunjuk ikan hiu. Lalu ia naik ke punggung ikan hiu. Dalam waktu sekejap, ikan hiu disertai kawan-kawannya sudah membawa Putri Duyung menyelam ke dasar laut.
Ikan hiu membawa Putri Duyung ke setiap celah dan lorong dasar laut. Betapa gembiranya Putri Duyung menyaksikan keindahan dasar laut yang menakjubkan dan tiada tara itu. Betapa menyenangkan berada di tengah-tengah tetumbuhan laut. Serta betapa asyiknya bercanda dengan aneka warna ikan yang mungil, lucu dan mempesona.
“Oh, betapa indahnya dasar laut ini. Keindahan yang tiada bandingannya,” seru Putri Duyung tak henti-hentinya.
Hampir seharian Putri Duyung bertamasya di dasar laut. Sementara di istana, Raja Bahari cemas karena tak kunjung melihat putri kesayangannya. Raja sudah mengerahkan para prajurit kerajaan mencari Putri Duyung.
Begitu Putri Duyung muncul lagi di pantai, betapa gembiranya hati Raja Bahari.
Baginda Raja semakin gembira mendengar Putri Duyung menceritakan pengalamannya bersama ikan hiu bertamasya di dasar laut. * (SUTIRMAN EKA ARDHANA)
* Cernak ini sebelumnya dimuat di majalah anak-anak Putera Kita No.309, 20 Mei – 5 Junib1995, dengan menggunakan nama penulis Ayu Bunga Indriyana