Tapi hari itu Cik Long dirundung kesal. Betapa tidak. Sejak pagi ia sudah duduk memancing di pinggir selat. Namun sampai matahari sudah condong ke barat, tidak seekor ikan pun yang menyentuh mata pancingnya.
“Ah, celaka betul nasibku hari ini. Tak seekor ikan pun yang dapat kubawa pulang,” keluhnya.
Ketika matahari sudah hampir tenggelam, diputuskannya untuk pulang saja.
“Mungkin memang tak ada rezekiku hari ini,” keluhnya lagi.
Tetapi, begitu sudah berkemas-kemas untuk pulang, tiba-tiba matanya menangkap gerakan-gerakan ikan di tempat ia melepas mata pancing. Ia menahan langkahnya. Bahkan ikan yang lumayan juga besarnya itu tak hanya bergerak-gerak di air. Tapi juga berlompatan, seakan-akan menggodanya.
Cik Long dengan cepat melempar mata pancingnya lagi ke air. Akan tetapi ikan itu tak mau menyentuhnya. Ia hanya berputar-putar dan berlompatan saja di sekitar mata pancing. Sungguh penasaran hato Cik Long dibuatnya.
“Bagaimanapun caranya, ikan ini harus kutangkap. Aku tak boleh pulang tanpa membawa ikan,” Cik Long berkata sendiri.
Akhirnya Cik Long hilang kesabarannya. Ia tak lagi menggunakan pancing, tapi langsung terjun ke air selat. Begitu terjun, anehnya ikan itu pun tak mau menjauh. Justru mendekat ke arah Cik Long. Tentu saja Cik Long dengan mudah menangkapnya.
Betapa girangnya hati Cik Long, karena ikan itu dapat ditangkap. Apalagi ikan yang sisiknya berwarna keputih-putihan itu cukup besar. Ia pun bergegas naik lagi ke darat.
“Akhirnya kudapat juga ikan. Walau cuma seekor, tapi cukup besar,” katanya kegirangan ketika akan memasukkan ikan itu ke dalam tas yang terbuat dari anyaman rotan.
Namun betapa terkejutnya Cik Long, ketika mendengar ikan itu dapat berbicara.
“Pak Tua yang baik hati. Saya ikan Buntal. Kalau ingin membawa saya pulanf, bawalah. Tapi satu permintaan saya, jangan saya dimakan,” ujar ikan itu tiba tiba-tiba.
Karena terkejutnya, Cik Long hampir saja melemparkan tas berisi ikan itu.
“Eh, ikan dapat berbicara?! Engkau ini ikan atau hantu,” tanya Cik Long tergagap.
“Saya ikan, bukan hantu. Tapi saya bermohon, jangan makan saya. Itu sungguh berbahaya. Tetapi bila Bapak ingin memelihara saya, peliharalah. Saya akan sangat berterima kasih sekali bila Bapak mau memelihara saya. Itulah yang sesungguh saya harapkan,” kata ikan yang mengaku bernama ikan buntal itu lagi.
Setelah berpikir sejenak, Cik Long akhirnya memutuskan untuk membawa pulang ikan buntal itu, dan memeliharanya.
“Baiklah buntal, aku akan membawamu pulang dan memiliharanya di rumah” ucap Cik Long.
Setiba di rumah, Cik Long menceritakan perihal ikan buntal yang diperolehnya itu kepada istrinya. Istri Cok Long yang selalu dipanggil Mak Long terkesima mendengar cerita suaminya.
“Lantas di mana kita memelihara ikan buntal ini? Kita tak punya tempat untuk memelihara ikan,” tanya Mak Long sambil memandang penuh keheranan ke ikan buntal.
“Kalau punya baskom, isi baskom itu dengan air, dan masukkan saya ke dalamnya,” ujar ikan buntal yang berada di dalam tas rotan.
Walau sebelumnya sudah diceritakan oleh Cik Long kalau ikan buntal itu bisa bicara, Mak Long sempat terkejut dan tergagap juga mendengarnya.
Mak Long ingat, di rumahnya memang ada sebuah baskom yang sudah usang, tapi tidak bocor. Bergegas diambilnya baskom itu dan diisinya dengan air. Setelah itu Cik Long memasukkan ikan buntal ke dalam baskom yang sudah berisi air itu.
“Terima kasih, terima kasih. Saya sangat senang berada di baskom ini,” seru ikan buntal gembira. (SUTIRMAN EKA ARDHANA/Bersambung)