Senin , 9 Desember 2024
Illustrasi. (Ist)

Nyanyian Muram Burung Hantu (Cernak: 2)

Beberapa waktu kemudian, pertemuan kedua pun berlangsung. Pertemuan kedua ini kelihatan lebih semangat dan semarak lagi. Karena burung-burung bersemangat untuk saling berlomba, mengadu kehebatan serta kemerduan suara.

Sayangnya, masih ada juga warga burung yang belum hadir. Seperti pertemuan pertama, pada pertemuan kedua, burung hantu tetap tidak kelihatan. Ia masih saja bermalas-malasan di tempat tinggalnya.

“Jangan ganggu aku. Aku masih ngantuk. Masih mau tidur lagi,” kata burung hantu ketika diingatkan oleh burung punai tentang adanya pertemuan lagi.

Lomba berkicau antar burung itu berlangsung meriah. Hampir semua warga burung mendaftarkan diri. Hanya yang ditunjuk jadi juri saja yang tidak ikut berlomba. Para juri terdiri burung enggang, bangau, kakaktua, nuri dan elang yang sekaligus menjadi ketuanya. Burung gagak awalnya dipilih jadi juri, tapi dia menolak. Ia bersikeras mau jadi peserta saja.

“Aku mau jadi peserta saja. Suaraku keras dan lantang, jadi aku pantas untuk jadi juara,” ujar gagak.

Dalam lomba, ternyata banyak burung yang kicauannya bagus. Sehingga para juri kebingungan untuk memilih pemenang-pemenangnya.

Setelah berunding cukup lama, akhirnya para juri sepakat memilih lima pemenang bersama. Kelima pemenang bersama itu, ketilang, cucakrawa, murai, kenari dan perkutut.

Simak juga:  Angkringan, Warung Peradaban dan Kebangsaan

Sehabis pengumuman para pemenang lomba, elang sebagai ketua perkumpulan atau paguyuban warga burung maju lagi ke depan forum.

“Kawan-kawan, ada satu hal lagi yang akan kita selesaikan. Dalam pertemuan sebelumnya kita sudah sepakat akan memberikan sanksi kepada yang tidak hadir pada pertemuan kedua ini. Ternyata yang tidak hadir, tetap burung hantu. Sudah dua kali ia tidak hadir. Oleh karenanya, dia harùs dikenakan sanksi,” tegas elang.

“Tapi, sebaiknya kita harus bersikap demokratis. Sebelum sanksi dijatuhkan, si burung hantu harus kita dengar dulu pembelaannya. Kita harus tahu lebih dulu, apa saja sebab-sebabnya sehingga dia tidak pernah hadir dalam pertemuan,” kata burung enggang.

“Ya, benar begitu. Setelah gagak memberikan pembelaannya, baru kita bicarakan soal sanksi yang tepat. Atau bila dia ternyata tidak juga memenuhi undangan kita untuk memberikan pembelaan, atau mengklarifikasi tentang ketidakhadirannya, ya, apa boleh buat, sanksi kita berikan saja,” sambung burung punai.

Apa yang dikemukakan enggang dan punai diterima forum. Burung hantu lalu diberi kesempatan pada pertemuan berikutnya untuk memberikan pembelaan diri.

Simak juga:  Walau 'Jatuh Bangun', Menyanyi Itu Indah

Ternyata burung hantu memang dasarnya malas. Ia lebih mementingkan tidur daripada datang menyampaikan pembelaannya.

Karena tidak juga datang di forum pembelaan, akhirnya burung hantu pun mendapat sanksi hukuman dari paguyuban warga burung. Sanksi yang diberikan itu berupa larangan bersuara di siang hari.

Sejak mendapat sanksi itu, burung hantu tak pernah lagi bersuara di siang hari. Ia hanya bisa melantunkan suaranya di malam hari. Bukan itu saja. Akibat sanksi, burung hantu pun seakan dikucilkan oleh warga burung yang lain.

Burung hantu akhirnya tak lagi punya teman. Ia selalu kesunyian sendiri.

Burung hantu jadi sedih dan pemurung. Bila malam telah larut, ia pun menyenandungkan nyanyian muramnya.
Nyanyian itu menggambarkan suatu kesunyian dan kesendirian yang dalam.

Gara-gara suka bermalas-malasan dan tak mau bergaul dengan sesamanya, akhirnya burung hantu menjadi dikucilkan dan kesepian sendiri di malam hari. * (SUTIRMAN EKA ARDHANA/SELESAI)

* Cernak ini pernah dimuat di majalah anak-anak Putera Kita edisi No. 309 20 Mei – 5 Juni 1995.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *