Senin , 9 Desember 2024
Novel Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur. (Ist)

Novel dan Penelitian

SABTU, 13 Juli 2024, saya dan kawan-kawan dari Komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP) telah mendapatkan pelajaran berharga dari Prof. PM Laksono. Kebetulan pula banyak di antara anggota SBP itu tergabung di dalam Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena DIY. Seperti Simon HT, Anna Ratri, Sabatina RW, Fauzi Absal, Nunung Rieta, dan lainnya. Bahkan Ons Untoro yang komandannya SBP itu juga anggotanya Satupena DIY.

Dan, di rumahnya Jl Garuda, Tahunan, Yogya, Prof. Laksono bicara banyak tentang keterkaitan karya sastra dengan penelitian.

Walau fokusnya bicara tentang riset etnografi, tetapi paparan Prof. Laksono juga meluas ke bentuk-bentuk atau tema-tema penelitian lainnya.

Saya jadi ingin bicara tentang novel berjudul Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur, terbitan EDSA Mahkota, Jakarta, 2005. Terus terang, novel ini berhasil saya tulis setelah melalui serangkaian kerja investigasi dan menggunakan teori-teori penelitian partisipatif lebih dari tiga bulan.

Novel ini berkisah tentang perjuangan kehidupan mantan istri seorang gali (sebutan untuk preman kala itu) di Yogya yang jadi korban Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) di tahun 1983.

Simak juga:  Kapan Kita Ucapkan Selamat Tinggal Kepada Covid-19?

Dari seorang teman, saya, memperoleh informasi mantan istri gali itu terpaksa menjalani kehidupannya dengan menjadi penghuni kompleks relokasi WTS di Mangunan, Umbulharjo (dulu lebih dikenal dengan sebutan Sanggrahan).

Sebagai seorang jurnalis dan penulis, saya sangat tertarik dengan informasi itu. Setidaknya ada persoalan sosial yang diakibatkan oleh aksi OPK itu. Tindak kriminal memang berkurang, tapi persoalan sosial lainnya bermunculan.


Pendekatan Partisipatif

Benar. Saya menemukannya di kompleks resos itu. Melalui pendekatan partisipatif yang panjang, saya peroleh berbagai kisah kehidupan yang menyesakkan dada, dan mengharu-biru. Begitu beratnya perjuangan seorang perempuan muda demi membesarkan anak-anaknya.

Dari pendekatan partisipatif itu pulalah, saya tahu berapa ukuran kamar yang ditempatinya, sekaligus kamar yang digunakan saat menerima tamu atau pengunjung. Kenapa ia terjun ke dunia yang oleh banyak orang dipandang sebagai kehidupan kelam, bahkan tak sedikit pula yang memberi cap kotor dan nista.

Lewat pendekatan partisipatif itu juga saya dapat ‘merekam’ bagaimana kisah suaminya dihabisi, bagaimana kemudian ia membawa anak-anaknya pulang ke desa, dan bagaimana kisah ia datang lagi ke Yogya dan ‘terjerembab’ di kompleks yang disebut relokasi sosial atau resos itu. Tentu saja juga bagaimana sukadukanya, pahitgetirnya, dan kisah perjuangannya untuk bangkit.

Simak juga:  Seputar Kepenulisan Saya

Karena ini fiksi, tentu kental juga dengan unsur imajinatif. Karena unsur imajinatif itu sangat berperan untuk menghidupkan cerita di novel ini.

Sungguh benar, apa yang dikemukakan Prof. PM Laksono, untuk menulis karya sastra apa pun bentuknya, sebaiknya diawali dengan proses penelitian terlebih dulu.

Dari novel yang saya tulis ini, saya menanam keyakinan, sepertinya tidak ada seorang perempuan pun yang dalam hidupnya bercita-cita atau berangan-angan menjadi seorang pelacur. Tapi kehidupan seringkali menghadirkan sesuatu yang tak pernah diduga sebelumnya.
Begitulah. * (SUTIRMAN EKA ARDHANA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *