Kamis , 14 November 2024
Di depan "Mona Lisa baru". (Ist)

“Mona Lisa”-nya Da Vinci dan “Mona Lisa” yang ini

BEBERAPA hari lalu saat datang ke Mahakam Residence 24 untuk agenda menginap, saya sudah bisa melihat papan besar bertengger di lobi. Isinya informasi tentang pameran lukisan karya Denny JA (yang berkolaborasi dengan AI) di sepanjang 7 lantai bangunan hotel ini.

Sejujurnya, saya tidak begitu tertarik melihat-lihat pameran lukisan. Selain karena tidak terlalu mengerti dunia seni rupa, kemampuan visual saya jelek. Saya tidak tahu mana karya lukis yang bisa disebut bagus, biasa saja, atau jelek sama sekali. Saya datang ke hotel itu cuma untuk menghabiskan long weekend bersama ibu saya, beristirahat dari rutinitas pekerjaan. Namun begitu, ibu saya yang seorang penikmat karya seni mentok bersemangat membawa saya keliling setiap lantai di hotel itu, melihat satu per satu lukisan yang ada.

Sejujurnya lagi, saya tidak merasa tergugah atau perasaan magis lainnya saat melihat lukisan-lukisan itu. Kegiatan saya hanya lihat-lihat sekilas, berpaling dari satu lukisan ke lukisan lain dengan mudahnya, sembari sesekali berpikir, “Oh, begini bentuk lukisan yang dibantu AI.” Saya manggut-manggut sesekali, seolah paham dengan apa yang saya lihat. Padahal selera saya terhadap seni jelek sekali. Jangankan mengerti, beropini tentang lukisan pun saya tidak berani, meski cuma di kepala sendiri.

Namun saat sampai di lantai 5, tepatnya di bagian lukisan-lukisan yang secara keseluruhan diberi tajuk “Revisiting Pelukis Dunia”, saya terpaku sebentar. Hal pertama yang terlintas di benak saya adalah di dunia seni rupa sendiri, praktik seperti ini diberi nama apa? Tidak mungkin plagiasi, karena di setiap lukisannya ada tulisan jelas tentang judul-judul lukisan yang menginspirasi karya Denny JA ini. Nah, mungkin kata yang tepat—setidaknya buat orang awam seperti saya, praktik ini namanya “terinspirasi”. Saya manggut-manggut lagi sambil berpikir bahwa di dunia memang tidak ada hal baru lagi. Kita hanya melihat dan memodifikasi apa pun yang sudah ada sebelumnya, sambil menyebut aktivitas tersebut sebagai kreativitas. Dan tentu saja, saya berada di pihak yang tidak masalah akan hal tersebut. Toh, lukisan-lukisan yang sedang saya lihat ini jauh berbeda dengan aslinya.

Lalu hal kedua yang mengusik pikiran saya adalah, betapa saya tersadar kalau diam-diam, saya merasa punya keterikatan kuat dengan banyak lukisan ini. Bukan apa-apa, sekali lagi saya tekankan kalau saya sama sekali tidak paham akan dunia seni rupa. Namun, dengan kebanggaan yang amat tinggi, saya akan bilang bahwa keterikatan kuat itu ada karena sedari kecil saya sudah melihat berbagai macam lukisan-lukisan terkenal menghiasi dinding rumah. Lukisan replika tentunya, yang pemasangannya sama sekali tidak memperhatikan unsur estetika sebuah rumah—semua terpajang secara sembarang, asal menempel saja di dinding seperti cecak.

Simak juga:  Menyanyi di Usia Tua, Membuat Sehat dan Bahagia

Saya akrab dengan lukisannya Dalí, “Persistence of the Time”, yang secara tiba-tiba di pameran kemarin ketambahan wujud satu robot di dalamnya. Itu lukisan favorit ibu saya, yang tidak saya pahami mengapa. Mungkin karena memang bagus? Ya, mungkin saja.

Saya lihat wujud lain dari “The Scream”-nya Edvard Munch yang berubah drastis di kanvas. Saya ingat saya takut betul dengan lukisan aslinya ketika masih kecil. Rasanya seperti melihat seorang hantu yang berteriak ke saya, berkata kalau sebentar lagi zaman apokaliptik akan terjadi. Saya merinding melihatnya. Jadi cepat-cepat saya palingkan wajah ke lukisan lain.

Sayangnya, tidak jauh dari lukisan itu, ada pula lukisan yang saya takuti sejak kecil. Bedanya, sosok dalam lukisan itu kali ini tersenyum usil pada saya. Tidak seperti senyumannya yang sepanjang ingatan saya terasa begitu intimidatif seiring saya tumbuh besar; “Mona Lisa”-nya da Vinci.

Saya selalu penasaran, Mona Lisa ini sebenarnya perempuan apa bukan. Sosok ini terlalu misterius untuk segala kesimpulan yang mengarah padanya. Bagi saya, terlalu gegabah untuk menyebutnya perempuan. Saya ingat, saya ketakutan setengah mati saat kecil, ditatap lukisan replika “Mona Lisa” saat mematikan lampu ruang tengah untuk tidur malam. Saya takut ia merayap keluar dari pigura dan menyeret saya masuk ke dalam dunianya yang kelam.

Ketakutan itu berbuah jadi benci. Saya tidak pernah suka lukisan “Mona Lisa”. Ketika orang-orang bilang ia sosok perempuan cantik, saya tidak melihat hal tersebut. Ia terlalu misterius untuk disebut cantik. Senyumnya terlalu memikat, jatuhnya mengerikan, sampai-sampai saya takut. Bukannya ia yang datang menarik saya ke dalam pigura, justru sayalah yang secara sukarela masuk bersamanya. Dengan congkak saya akan bilang, saya tidak tahu mengapa “Mona Lisa” adalah lukisan da Vinci yang paling terkenal. Saya tahu lukisan-lukisan lain karya da Vinci yang lebih bagus. Pengetahuan itu juga hasil bacaan buku lukisnya da Vinci yang dibelikan orang tua saya waktu saya SD. Isinya jelas bercerita tentang karya-karya da Vinci yang mengambil tema religiusitas Kristiani—membuat nenek saya waktu itu ketar-ketir melihat cucunya membaca buku itu keras-keras. Takut saya pindah keyakinan di usia yang begitu beliau.

Simak juga:  Pesan Kartini, Tak Akan Pernah Pudar Sampai Kapan Pun

Kembali lagi ke “Mona Lisa” versi Denny JA, saya tertarik untuk memperhatikannya sedikit lebih lama dari lukisan yang lain. Mona Lisa yang ini wajahnya masih maskulin, meski jelas dia perempuan, sebab tonjolan dadanya terlihat cukup jelas. Tidak seperti Mona Lisa di ingatan saya dengan senyum misterius penuh pikat, Mona Lisa versi ini terlihat usil. Bukan cuma dari senyumnya, tapi juga matanya. Saya tidak tahu makna di balik “revisiting” lukisan ini, tapi saya hampir yakin kalau Mona Lisa versi baru bisa jadi adalah maskot hasil rekreasi di belakangnya itu— yang masih mengundang orang untuk masuk ke dalam dunianya, sama seperti Mona Lisa versi da Vinci.

Saya ingat-ingat lagi rasa benci kekanakan saya pada “Mona Lisa”-nya da Vinci. Sekitar beberapa menit membuat perbandingan dalam hati—serta penghormatan berkali-kali untuk da Vinci, saya bisa tahu kalau saya lebih suka dengan si “Mona Lisa baru”. Ia terlihat lebih ramah, lebih cantik dan tidak semisterius “Mona Lisa”-nya da Vinci. Saya merasa saya akan lebih cepat berteman dengan Mona Lisa si maskot hasil kreasi ini.

Meski begitu, tetap saja saya jadi teringat perkataan seorang kenalan yang tahun ini baru pulang berkunjung ke Museum Louvre, tempat “Mona Lisa”-nya da Vinci bersemayam. Kenalan saya itu bilang bahwa awalnya juga dia tidak tahu apa istimewanya Mona Lisa hingga dipuja sebegitu rupa. Namun ketika ia sampai ke Museum Louvre, yang ada di depannya bukanlah sebatas lukisan, melainkan… kesempurnaan.

Saya tidak tahu ucapan kenalan saya itu semacam teknik pemasaran Louvre atau bukan. Tentu saja saya masih benci “Mona Lisa”-nya da Vinci dan lebih jauh menyukai “Mona Lisa” ini. Namun jika suatu hari nanti saya punya kesempatan untuk berkunjung ke Louvre, tentu saja saya tidak akan melewatkan rasa magis (yang saya tahu pasti akan membuat saya merinding satu badan) ketika berhadapan langsung dengan kesempurnaan dari “Mona Lisa”-nya da Vinci itu.

Pasar Minggu, 17 Juni 2024

* (MEUTIA SWARNA MAHARANI)

* Meutia Swarna Maharani, seorang cerpenis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *