Rabu , 11 Desember 2024
Penulis di dekat karya lukisan AI. (Ist)

Kuping Besar Anak-anak

LUKISAN Artificial Intelligence (AI). Inilah yang sekarang sedang menjadi kegemaran baru dari Denny JA. Seniorku, yang juga merupakan Ketua Umum Satupena, ini menemukan minatnya di sini, selain minat-minat lamanya: literasi, puisi dan jadi konsultan politik. Beberapa tahun terakhir ini, aku sering melihat lukisan uniknya yang dibuat dengan bantuan kecanggihan teknologi tadi, yang menurut pengakuannya bisa jadi hanya dalam waktu 15 menit. Mungkin karena sering melihat lukisan-lukisannya berseliweran di grup dan komunitas yang kami tekuni bersama, hampir tidak ada keistimewaan lagi yang kutemukan pada karya-karya Denny JA. Bisa jadi karena inflasi mata.

Tapi pandanganku sedikit berubah saat aku datang ke Mahakam-24 Residence. Aku keluar dari lift disambut deretan lukisan bertemakan anak. Kena aku. Kena!!! Bukan karena lukisan AI-nya, tapi karena tema anak-anak. Di lantai 7, saat keluar dari lift ke arah kanan ada beberapa lukisan anak-anak yang sedang berimajinasi. Dunia anak memang pasti penuh dengan imajinasi akan warna, binatang, peri hingga semesta.

Dan lukisan AI karya Denny jelas menyajikan dunia anak dengan segala imajinasi, keceriaan dan kepolosan mereka. Yang menarik perhatianku di antaranya lukisan anak yang menunggang anjing, bukan kuda. Keceriaan jelas terlihat pada gadis kecil itu. Lalu ada beberapa lukisan bocah perempuan masih dengan binatang idola masing-masing. Tentu saja warna burung kasuari dan merak yang ada dalam benak mereka boleh bebas. Ukuran hewan-hewan itu juga boleh besar sebesar-besarnya. Kemudian ada beberapa lukisan bocah laki-laki dengan dunia istana, peri, awan, semesta. Apa saja yang ada dalam benak mereka.

Terus-terang aku langsung teringat dengan masa kecilku yang kurang lebih sama: asyik dengan imajinasi dan mimpi. Aku pernah membayangkan mengendarai kuda sembrani bertanduk, dengan warna pelangi. Kuda itu bisa berbicara dan terbang membawaku ke angkasa. Aku terbang di antara awan-awan, mengunjungi istana yang dasarnya bukan tanah, tapi awan. Lalu bertemu bidadari dan menyapa peri-peri mungil. Kami berteriak bersama, girang segirang-girangnya.

Simak juga:  Mereka yang Berseberangan dalam Prinsip Politik atau Sastra Tetap Sahabat dalam Kemanusiaan

Namun, saat aku mulai menuruni tangga, di sebelah kanan aku melihat bocah laki-laki berwajah kelabu di balik jeruji. Corak baju yang dipakainya jelas menunjukkan ia adalah anak Palestina. Aku sebut ia berwajah kelabu, karena ekspresinya bukan sedih atau takut. Yang ada adalah ekspresi bingung. Bisa jadi ia bingung mengapa ia terpenjara di rumah, tidak bisa keluar untuk bermain bebas seperti bocah-bocah di tempat lain.

Derita Anak Palestina
Lalu ada beberapa lukisan yang menunjukkan derita anak-anak Palestina lainnya. Ada sekumpulan anak yang tengah menutup kuping. Wajah mereka takut dan panik. Bahkan seorang di antaranya menangis. Di belakang mereka tampak bangunan-bangunan yang terbakar, dibumihanguskan oleh bom-bom yang sengaja dijatuhkan oleh pihak zionis secara kejam tanpa pilah-pilih.

Juga ada lukisan anak laki-laki Palestina yang berdiri membelakangi. Ia menatap puing-puing kehancuran. Rumah yang hancur, bangunan hancur, fasilitas hancur. Semua direnggut dari mereka. Hingga akhirnya aku menoleh ke kanan dan menemukan lukisan bocah laki-laki yang tengah berlutut. Uniknya, anak ini memiliki sepasang sayap putih, yang seharusnya dimiliki malaikat. Ini lukisan sangat metaforik, yang bisa jadi mewakili spirit atau ruh anak-anak Palestina; Mewakili mereka yang tak berdosa, yang harus kehilangan nyawa karena tindakan tidak manusiawi kaum zionis. Aku membaca berita beberapa hari lalu, yang menyatakan bahwa dari total 37 ribu, bahkan 39 ribu korban jiwa akibat serangan membabi-buta dalam beberapa bulan terakhir ini, 70 persen di antara adalah anak-anak dan perempuan.

Aku terdiam dan merasakan sesak di hati. Aku punya anak-anak yang sudah tumbuh besar. Mereka punya masa kanak-kanak dengan segala impian dan imajinasi, persis seperti masa kecilku dulu; Persis seperti masa kecil banyak anak-anak lain. Tapi bagaimana halnya dengan anak-anak di Palestina? Jelas lukisan Denny JA memperlihatkan bahwa masa kecil anak-anak di Palestina adalah masa kecil yang suram, keras, kejam, tak manusiawi. Masa kecil yang tak pantas terjadi pada anak mana pun di dunia.

Simak juga:  Pameran Seni Lukis Batik Karya Totok Hadiyanto Kuswaji di Media Daring Ons TV

Aku mengamati semua anak yang ada di lukisan AI Denny JA. Kuping mereka semua berukuran besar. Di atas rata-rata ukuran normal kuping anak-anak di dunia nyata. Apakah dengan ini Denny ingin menyatakan bahwa manusia yang merasa dewasa hendaknya juga memiliki kuping besar yang mampu menangkap teriakan bahagia setiap anak dan mewujudkannya? Sekaligus mampu mendengar jerit ketakutan, panik, kesakitan dan putus asa dari anak-anak Palestina, juga dari anak-anak lain yang direnggut masa kecilnya? Entahlah…

Yang jelas, aku merasa bahwa kuping besar yang peka itu dimiliki anakku, Rama; Yang mampu memilih menu makanan dan produk-produk lain, yang menurutnya, tidak mendukung zionis. Ia memilih memakan pizza lokal daripada pizza terkenal dengan alasan peduli pada nasib anak-anak Palestina. “Tindakan ini semoga bisa membantu menyelamatkan anak-anak itu, selain doa dari Rama.” Alasan ini membuatku tercenung dan terharu.

Jika Rama menunjukkan kepeduliannya dengan memilih produk, maka Denny JA jelas memilih keberpihakannya pada anak-anak Palestina melalui lukisan-lukisan AI. Untuk yang satu ini, jelas aku harus mengatakan bahwa Denny JA memang punya hati. Ia punya kuping besar seb esar kuping anak-anak di lukisannya tadi.

14 Juni 2024

* (SWARY UTAMI DEWI)

* Swary Utami Dewi, Wakil Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *