Pernyataan menarik ini dikemukakan KPH Kusumoparastho, Penghageng Urusan Pambudidaya Kadipaten Pakualaman, dalam acara dialog budaya, Jumat 17 Mei 2024, di Dalem Kepatihan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta.
Karena itulah, menurut KPH Kusumoparastho, muncullah tradisi pemikiran yang tertulis di sebelah dinding gapura, yaitu sebelah barat “Enggeto Angga Pribadi”. Dan, di sebelah timur “Guna Titi Puruh”. Selanjutnya terangkai di atap gapura “Wiwara Kusuma Winayang Reka”.
KPH Kusumoparastho, yang dulu lebih dikenal dengan nama dr. Sutomoparastho dan mantan pemimpin umum Mingguan “Eksponen” tersebut mengemukakan, hal ini terbetik dari sejarah perjalanan kehidupan dari BPH Natakusumo sampai pengangkatan sebagai KGPA Paku Alam I. “Kehidupan yang tak jauh dari Tuhan, dan menggunakan pemikiran atau akal sehingga beliau terlepas dari fitnah, dari usaha pembunuhan,” jelasnya.
Ia menekankan, berdirinya Kadipaten Pakualaman bukan dari ambisi untuk mendapat kedudukan, tetapi dari kesetiaan, kemampuan akal, didasari kepasrahan kepada Tuhan.
KPH Kusumoparastho lebih jauh menguraikan, sejarah selanjutnya sebagai loro-lorone atunggal, dua kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman mendukung NKRI di tahun 1945. Kemudian muncullah penghargaan NKRI secara de jure dengan adanya penerbitan UU Keistimewaan No. 13 Tahun 2012, Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
Landasan Filosofi
Perjalanan berikutnya menjadi menarik. Seperti dikemukakan KPH Kusumoparastho, muncul landasan filosofi pada Keistimewaan. Dan yang menjadikan persoalan adalah membumikan filosofi Keistimewaan itu agar dapat diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat. “Mengingat misi Adipati KGPAA Paku Alam X adalah pengemban budaya, maka hal ini harus didapatkan pengertian yang jelas untuk dapat dilaksanakan.
Dalam dialog budaya bertema “Merawat Tradisi Pemikiran Dalam Upaya Membumikan Memayu Hayuning Bawono Bagi Kesejahteraan Masyarakat di Kadipaten Pakualaman” itu, KPH Kusumoparastho menguraikan banyak hal yang berkaitan dengan filosofi Memayu Hayuning Bawono tersebut.
Dikemukakannya, dalam usaha membumikan filosofi Memayu Hayuning Bawono itu ternyata mendapatkan kendala. “Karena beberapa kali menghadirkan budayawan maupun cendekiawan, namun tidak mendapatkan keterangan yang jelas. Masing-masing berbicara sesuai pemahaman masing-masing yang sulit untuk dipertemukan, karena tidak ada rujukan yang jelas,” ungkapnya.
Akan tetapi, kata KPH Kusumoparastho, masalahnya adalah bagaimana filosofi bisa dioperasionalkan bila tidak ada pedoman yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan.
Menurutnya, dalam usaha mencari filosofi untuk diterjemahkan atau dioperasionalkan, muncul pemahaman dari Sunan Kalijaga tentang Mataram Islam, yang disampaikan “Jawane gawanen Islamen garapen” (“Budayane gawanen, agamane garapen”). (Sutirman Eka Ardhana)