– Jika penulis dan aktivis Palestina- Israel menulis untuk satu buku bersama derita dan harapan mereka dalam bentuk puisi esai.
– Artificial Intelligence akan mengubah sastra.
“Para individu di dunia akan semakin intens berinteraksi karena dimungkinkan oleh perkembangan teknologi. Mereka perlu diakrabkan dengan semakin banyaknya hubungan diplomasi di level civil society dan budaya.”
“Sekecil apapun, puisi esai sudah ikut menjadi medium para sastrawan di Indonesia dan Malaysia menulis bersama dalam satu buku, mengenai pengalaman dua bangsa, sejak zaman Bung Karno hingga sekarang. “
“Pada waktunya, kita bisa pula mengajak para sastrawan dan peminat puisi di Palestina dan Israel, yang merindukan dua bangsa ini hidup damai dalam dua negara yang berdaulat, untuk sama sama menuliskan kisah mereka dalam puisi esai. Pada saat itu akan semakin terlihat betapa diplomasi sastra bisa dikembangkan memperkaya diplomasi politik.”
Demikian dikatakan Denny JA di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia (28/4/2024).
Denny JA menyatakan itu dalam pertemuannya dengan komunitas puisi esai Malaysia. Pertemuan itu dihadiri menteri Sabah Datuk Mohamad Arifin, presiden puisi esai ASEAN, Datuk Jasni Matlani, akademisi Prof Dr. Ramzah Dambul, para petinggi negara dan budayawan setempat.
Denny JA menyambut dengan sukacita pernyataan Datuk Jasni yang mengatakan puisi esai telah didukung pemerintah Malaysia dan memberikan hati dan pemikiran sehingga puisi esai berevolusi ke tahap seperti sekarang.
Kinabalu, Ibukota Puisi Esai
Denny juga menggarisbawahi Kota Kinabalu resmi menjadi ibukota komunitas puisi esai Internasional karena dari Kinabalu puisi esai Goes to ASEAN.
Selain itu, Denny juga menjelaskan tentang Artificial Intelegent yang sangat mempengaruhi peradaban termasuk dalam dunia sastra dan puisi esai.
Denny mencontohkan kisah Margaret Atwood penulis lulusan Harvard University, yang telah menghasilkan 33 buku dan dua kali menerima penghargaan Booker Prize.
Semua buku Atwood telah dimasukkan dalam program Artificial Intelegence. Sehingga semua orang bisa memerintahkan AI untuk menulis karya seperti karakter tulisan Atwood, dari segi filosofi, gaya kalimat, diksi, dan sebagainya. Sehingga tulisan baru yang dihasilkan AI benar-benar mirip dengan karya Atwood.
“Saya meyakini tidak lama lagi semakin banyak orang menulis memanfaatkan AI,” ujar Denny yang sering menggunakan AI untuk menulis dan melukis.
Denny mengatakan telah menghasilkan 300 lukisan dengan bantuan AI bergaya Picasso, atau Van Gogh, atau lainnya sesuai dengan arahan pelukisnya ke AI.
Penulis pun bisa menulis dengan gaya Margaret Atwood, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Jalaluddin Rumi, dan gaya penulis lain yang sudah disuntikkan ke aplikasi AI.
Pada waktunya, belum sekarang, Denny mencontohkan instruksi ke AI Jika ingin menulis puisi esai dengan bantuan AI, kira-kira seperti ini, “Coba tuliskan kisah dua pemuda yang bersahabat. Pemuda Sabah dan pemuda Indonesia di era Bung Karno. Karena Bung Karno begitu kuat agitasinya, persahabatan mereka rusak. Tapi anak-anak mereka sekarang hidup di era Jokowi dan di era Datuk Anwar Ibrahim, mereka bersahabat kembali.
Buatkan puisi esai ini dengan gaya Denny JA. Agar lebih dalam lagi masukkan kedalaman renungan dan kata-kata Jalaluddin Rumi dalam puisi.”
Setelah instruksi diberikan, AI akan menuliskan satu puisi esai dengan sangat cepat. Puisi itu benar-benar mewakili ideologi Denny soal Hak asasi manusia dan diskriminasi. Puisi itu jauh lebih dalam karena AI memasukkan unsur Rumi ke tubuh puisi esai tersebut.
Setelah AI semakin banyak dipakai, timbul pertanyaan besar: siapakah pengarang itu nanti?
Ketika menulis menggunakan AI, 80% adalah karya AI. Sisanya 20% baru diperdalam oleh manusia. Sama dengan melukis pakai AI. 80% lukisan dibuat oleh AI berdasarkan instruksi yang diberikan. Sisanya 20% adalah bagian pelukisnya untuk memperdalam filosofinya, mengubah komposisi, dan memberi sentuhan akhir agar emosi pelukis lebih kelihatan di lukisan.
Jadi, pertama, dari penggunaan AI, kita memahami siapa yang disebut pengarang. Si penulis atau pelukis tetap adalah seorang creator yang memberikan instruksi dan sentuhan akhir dari sebuah karya.
Kedua, karya yang dibuat dengan AI akan over supply sehingga mempengaruhi nilai ekonominya. Satu novel bergaya Atwood akan selesai 1 hari saja. “Kita akan kaget sekali menghadapi dunia baru. Begitu banyak buku dengan berbagai, aneka informasinya, tapi nilai ekonominya rendah sekali. Karena makin banyak pilihan dan makin banyak orang yang menawarkan satu cara-cara yang murah.
Lalu bagaimana perkembangan puisi esai setelah ada AI? Menurut Denny, berdasarkan Discover Media, mereka yang membaca sastra akan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak membaca karya sastra.
Yang membaca sastra lebih bersedia menjadi sukarelawan, lebih lebih terbuka untuk solidaritas sosial.
Jadi ada efek yang besar dari sastra kepada budi pekerti, kepada moralitas manusia.
Sebagai Ikhtiar Inovasi
Di saat yang sama, puisi makin tidak dibaca. Sebab inovasi dalam puisi sudah sangat jarang terjadi. Karena itu, itu Puisi Esai datang sebagai ikhtiar inovasi, membawa pesan isu-isu yang berhubungan dengan hak asasi manusia, disampaikan dalam bahasa yang mudah.
Kita menginginkan Puisi Esai membawa sastra ke tengah gelanggang. Sekarang ini, sudah ada 150 buku Puisi Esai, sudah banyak sekali, sebagian dari teman-teman Malaysia dan teman-teman Brunei, Singapura.
Denny menambahkan, sebuah tim sedang menyusun empat buku angkatan puisi esai.
Selanjutnya tahun ini puisi esai akan goes to campus dan goes to school. Menurut Denny, di Indonesia saat ini, menjadi perhatian bahwa anak-anak di sekolah semakin jauh dari budi pekerti, semakin jauh dari nilai-nilai moralitas.
Memang ada pelajaran agama di sekolah. Tapi, akan lebih baik diperkaya untuk membangun karakter dan budi pekerti dengan kehadiran karya sastra di sana.
Menurut Denny, budi pekerti, kisah yang menyentuh hati, menyentuh moral, atau cerita yang membuat kita merenung lebih mudah disampaikan melalui karya sastra. Puisi esai mencoba masuk ke sini. “Karena itu, kita merasa berharga membawa puisi esai ke sekolah. “
Denny memandang masyarakat tidak perlu khawatir dengan kehadiran AI dan menggunakan AI dalam membuat tuas itu. Justru AI membantu masyarakat mendapatkan referensi dalam jumlah lebih banyak.
Tentang diplomasi sastra, Denny terinspirasi oleh Prof Ramzah Dambul. Hubungan antar negara, tidak hanya memerlukan diplomasi politik para pejabatnya, diplomasi ilmu para ilmuwan, juga diplomasi sastra para budayawannya.
Memang dunia semakin dekat, warga negara harus semakin akrab. Kita butuhkan tidak hanya pengertian dan kerjasama para pejabat politiknya, namun juga keakraban dari para civil society-nya. Salah satunya melalui puisi esai.
Diplomasi sastra bisa seluas itu. Dan kita mau lebih jauh lagi. Pada waktunya itu kita pun akan membuat Puisi Esai antara penulis dan aktivis dari Israel Dan Palestina.
Mereka menulis soal derita mereka yang sudah terlalu lama, dan perlunya berdiri dua negara Palestina dan Israel yang sama sama merdeka, dan hidup damai berdampingan.
Dalam kunjungan ke Kinabalu, didampingi tim komunitas puisi esai, Denny JA sempat beraudiensi dengan ketua menteri, pemimpin politik tertinggi di wilayah Sabah, Malaysia: Datuk Hajiji Noor.
Denny menyatakan terima kasih atas dukungan pemerintah setempat yang ikut membiayai Festival Puisi Esai ASEAN tahunan, yang sudah berlangsung tiga kali.
Denny JA juga sempat mengunjungi rumah Bahasa yang menjadi base- camp gerakan puisi esai tingkat ASEAN. Ujar Denny, kita hidup di era paling besar dibandingkan zaman sebelumnya. Begitu banyak inovasi sudah dilakukan di dunia bisnis, politik, jurnalisme. Puisi esai adalah ikhtiar inovasi kita di dunia sastra. * (JONMINOFRI)