Di tahun 1972, setelah beberapa bulan tinggal di Yogya, aku pun mulai tertarik dengan aktivitas Persada Studi Klub tersebut. Dan, aku pun kemudian melibatkan diri di dalamnya. Lalu, berkenalan dan dekat dengan Umbu Landu Paranggi, sang pengasuh Persada Studi Klub. Kemudian kenal, dekat dan bergaul akrab dengan nama-nama seperti Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara (alm), Iman Budhi Santosa (alm), Emha Ainun Nadjib, Atas Danusubroto (alm), Linus Suryadi AG (alm), Suripto Harsah, Korrie Layun Rampan (alm), Abdul Aziz HM (Malaysia), Kusumateja, Rusli S Purma (alm), Slamet Riyadi Sabrawi (alm), Menik Sugiyah Kartamulya, Sri Setya Rahayu, RS Rudhatan (alm), Bambang Darto (alm), Adjie S Mukhsin, dan setumpuk nama lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
Ketika itu, kantor redaksi Pelopor Yogya yang berada di lantai 2 Jl. Malioboro 175 A, seakan menjadi tempat tinggal kedua bagiku. Hampir setiap malam selalu datang di kantor koran itu, jumpa kawan-kawan, di salah satu ruangan yang tersedia, atau duduk-duduk di depan kantor (dekat pintu masuk yang menjorok ke dalam).
Puisi ketika itu telah mempertemukanku dengan orang-orang atau teman-teman yang senasib dan sepenanggungan.
Seringkali pula senasib dan sepenanggungan ketika sama-sama tidak punya uang, sama-sama kelaparan.
Pernah suatu malam, aku, Atas Danusubroto dan Abdul Aziz HM (Malaysia) berada di salah satu ruang kantor Pelopor Yogya. Ternyata malam itu kami sama-sama kelaparan, karena seharian belum makan nasi. Kebetulan saya punya sedikit uang, yang hanya cukup untuk dibelikan tiga jagung rebus. Nah, malam itu kami bertiga mengganjal isi perut, masing-masing satu jagung rebus.
Haruslah diakui, karena terlalu sering berada di kantor redaksi Pelopor Yogya, aku pun mulai tertarik terhadap dunia jurnalistik.
Singkat cerita, ketika pada tahun 1974 di Harian Berita Nasional Yogya ada lowongan untuk pengasuh halaman atau rubrik Remaja Nasional yang disingkat Renas, aku pun bergegas mendaftar. Aku diterima. Dan, aku pun menjadi pengasuh halaman Remaja Nasional (Renas). Jadi, haruslah kuakui, semua bermula dari puisi. Puisilah yang mengantarkanku untuk menyukai dunia jurnalistik. Ya, pada mulanya adalah puisi.
Bermula dari pengasuh atau redaktur halaman remaja (Renas), aku pun kemudian terlibat lebih intens dan jauh lagi di dunia jurnalistik. Aku pun kemudian menyandang predikat sebagai wartawan atau jurnalis. Dari halaman remaja, kemudian menjadi redaktur halaman Kota (berita-berita kota), redaktur halaman Opini, dan seterusnya, sampai kemudian aku meninggalkan Berita Nasional dan beralih je media lain.
Jadi, berkat terlibat di dalam Persada Studi Klub, aku pun kemudian mencintai dan menggeluti dunia jurnalistik.
Dorongan Sahabat
Berbicara tentang Persada Studi Klub dan dunia jurnalistik, aku teringat pada sosok seorang sahabat yang telah menanamkan kesan sangat berarti. Dia adalah Yunus Esbe, atau lengkapnya Yunus Syamsu Budhi (alm).
Aku mengenal Yunus sejak masih sekolah di Kebumen. Yunus yang aslinya dari Yogya (Rejodani, Sleman) ketika itu ikut kakaknya di Kebumen. Yunuslah yang pertama kali mengenalkanku pada mingguan Pelopor Yogya dan majalah Basis.
Setiap kali pulang ke Yogya, ia tidak lupa membelikanku Pelopor Yogya dan Basis. Jadi, sejak masih sekolah di Kebumen aku sudah mengenal Pelopor Yogya dan Persada Studi Klub. Baru setelah tinggal di Yogya, sekitar tahun 1972, aku memberanikan diri terlibat di dalam Persada. Secara tidak langsung, Yunuslah yang telah memprovokasi diriku untuk mencintai dunia kepenulisan.
Ketika pindah ke Yogya, Yunus juga balik lagi ke Yogya. Dan, ternyata kami sama-sama berkiprah di Persada. Haruslah kuakui, Yunus jugalah yang mendorong diriku untuk masuk ke ranah jurnalistik. Dia mendorong diriku untuk mendaftar menjadi pengasuh Remaja Nasional di Harian Berita Nasional.
Awalnya aku agak ragu. Aku merasa belum siap untuk terikat dalam kerja. Tapi Yunus terus mendorong. Ia meyakinkanku bahwa lowongan menjadi pengasuh halaman remaja di koran itu merupakan peluang yang menarik dan tak boleh disia-siakan.
“Ayo, kamu pasti diterima, Ka. Kamu berbakat dan pantas untuk menjadi pengasuh halaman Renas itu. Jangan ragu lagi. Daftarlah saja segera,” kata Yunus membakar semangatku.
Yunus benar. Aku diterima. Dan, dengan menjadi pengasuh halaman Renas, keterlibatanku di dalam dunia puisi terasa menjadi kian lengkap. Aku tak hanya menulis puisi, tapi juga menyeleksi naskah-naskah puisi yang dikirim para orang muda yang sedang mencoba menyukai puisi, membahas, membicarakan, memberikan catatan tentang kelemahan, kekurangan, maupun keunggulan puisi-puisi itu.
Ketika itu, puisi benar-benar telah memenuhi hidupku. ** (Sutirman Eka Ardhana/Bersambung)