Politik membelah? Tidak perlu disebut apa yang terjadi sebelumnya. Yang jelas, proses pemilu memang menimbulkan dinamika pada kawan yang berbeda pandangan, pilihan dan tindakan. Ada rasa buncah “kebahagiaan” di satu sisi disertai kritik pedas sepedas-sepedasnya — yang mungkin terus berlanjut sampai beberapa waktu mendatang. Ada pula rasa gemas dan cemas menanti dan melihat perkembangan negeri ini. Masing-masing berpikir, bersikap dan bertindak sesuai pilihan dan kenyamanan. Ya…dinamika itu ada. Tapi rata-rata itu tidak menyiratkan kebencian atau ketidaksukaan pada orang per orang secara personal. Yang ditentang adalah ide dan gagasan.
Karena gagasan pula maka buka puasa itu hadir. Gagasan untuk memberi oase pada semua; Gagasan untuk meninggalkan sejenak gonjang-ganjing politik — yang saya yakin pasti akan berlanjut untuk tujuan menjaga kebaikan negeri. Ide ini disambut baik oleh lebih dari seratus sahabat Satupena, Komunitas Puisi Esai dan jaringannya, yang hadir dalam acara buka bersama tersebut.
Kegiatan ini sendiri dikemas secara spesial dalam bentuk tadarus puisi. Seorang kawan sempat bertanya, mengapa tadarus puisi? Bukan Al-Qur’an? Pertanyaan itu tidak salah. Dalam pengertian umum, tadarus adalah membaca dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an secara bersama-sama dan bergantian. Sementara, ini adalah tadarus puisi. Bisa jadi ini dipandang”anomali”. Tapi secara positif bisa pula dilihat sebagai inovasi.
Dalam tadarus puisi tersebut bergantian beberapa senior dan kawan membacakan puisi. Hadirin menyimak seksama — dan saya yakin, semua bisa menarik makna mendalam dari puisi-puisi yang tersaji di sini.
Secara pribadi, ada beberapa puisi yang menyita perhatian saya. Pertama, Ketua Dewan Penasihat, Bang Nasir Tamara, membacakan puisi berjudul “Demokrasi dalam Huruf I.” Jelas dan tegas ini tentang demokrasi.
Tentang puisi tersebut, saya menanyakan kepada Bang Nasir apa yang ia pikirkan saat menulis puisi itu. Begini penjelasannya: “Pemikiran dan praktik demokrasi merupakan bagian teramat penting dalam peradaban manusia. Hampir semua negara yang memilih jalan ini mendapatkan kemajuan ekonomi secara berkesinambungan. Selain itu, demokrasi juga penting dalam rangka menjaga hak asasi manusia serta melindungi alam dari kerusakan.” Ya…ya… saya setuju ini.
Lalu saat saya teringat bagaimana praktik “berdemokrasi” di sebuah negeri antah-berantah yang sedang berlangsung, jawaban tentang ini juga saya dapatkan dari Bang Nasir. “Jalan demokrasi memang tidak mudah. Terkadang seperti roller coaster. Tetapi ini memang harus ditempuh. Bagaimana pun, hingga kini demokrasi merupakan pilihan terbaik dari semua sistem politik yg ada di dunia.”
Kata-kata Bang Nasir ini sebelumnya kutemui pada beberapa orang. Salah satunya adalah dari almarhum Buya Ahmad Syafii Maarif. Di buku Islam dan Politik Teori Belah Bambu (1996), yang berasal dari tesis S-2 Buya di Universitas Ohio, beliau menulis sebagai berikut:
“Demokrasi dengan segala kelambanan dan kelemahannya sejauh ini masih dipandang sebagai sistem terbaik yang pernah dikenal manusia. Indonesia pascaproklamasi telah mencoba berbagai model demokrasi agar lebih sesuai dengan kepribadian bangsa yang senantiasa menuntut perumusan baru dan segar. Sesudah bebas dari penjajahan politik, nasionalisme Indonesia perlu direorientasikan untuk membebaskan mayoritas rakyat dari kondisi ketertindasan dan ketidakberdayaan ekonomi. Political will pemerintah sangat dinantikan untuk tujuan strategis ini. Praktek korupsi dan kolusi harus dinyatakan sebagai lawan nasionalisme dengan orientasi baru ini.”
Lalu beralih ke Sekretaris Dewan Penasihat Satupena, Wina Armada. Bang Wina juga menyajikan puisi karya sendiri berjudul “Mantra Kiai”. Puisi ini mengingatkan kita kembali akan sifat manusia yang bisa terpeleset menyerupai makhluk-makhluk halus tertentu sehingga diperlukan mantra kiai untuk menjaganya. Bang Wina, yang menulis setiap hari, membacakan puisinya dengan ekspresif dan memancing tepuk tangan hadirin.
Ada juga Helmi Yahya, yang kali ini tergerak untuk membaca puisi, sesudah tiga puluh tahun absen berpuisi. Bang Helmi memilih puisi karya Rendra, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta”. Ia mengatakan dirinya lekat dengan puisi-puisi Rendra. Beberapa kali ia juara baca puisi dan selalu puisi Rendra yang dibaca.
Di acara tersebut, kembali puisi Rendra yang tampil. Puisi yang termuat dalam antologi Blues Untuk Bonnie, ini dipandang banyak pengamat sebagai salah satu puisi Rendra yang paling fenomenal. Jika disimak, puisi tersebut menunjukkan posisi keberpihakan Rendra pada masyarakat kelas bawah, terutama para pekerja seks komersial (PSK). Simaklah beberapa larik berikut:
“…Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban…”
Puncak dari Tadarus Puisi ini adalah penampilan para super maestro alias dedengkot sastra Indonesia. Aspar Paturusi bukan sosok yang asing lagi. Ia adalah aktor, dramawan dan novelis Indonesia. Tokoh budaya dan sastra yang 10 April nanti berusaha 80 tahun berjalan perlahan dengan tongkat ke atas panggung. Ya, bukan belia lagi usianya. Tapi, usia itu hilang begitu rupa dan menjelma kembali muda saat ia membacakan beberapa puisi. Dramatik. Mungkin karena beliau aktor, maka caranya membaca puisi membikin ternganga.
Saya beserta semua yang hadir makin terpesona saat Puang Aspar memanggil istrinya, Lasmy, untuk berduet dalam puisi “Tidurlah,Tidur”. Puisi terakhir ini, menurut Puang Aspar, diilhami lagu Nina Bobo suku Bugis. Ada bagian di mana pasangan ini saling bersahutan, lalu bersama membacakan larik. Lasmy juga berdendang Nina Bobo sesaat dalam bahasa Bugis. Wow, ciamik.
Kini giliran “presiden seumur hidup”, Sutardji Calzoum Bachri. Ayah Tardji, demikian saya biasa memanggilnya, membacakan empat puisinya. Tiga di antaranya berjudul “Cermin”, “Ramadhan” dan “Lebaran”. Ada sebuah puisi yang menyiratkan keinginannya untuk makin dekat dengan Allah. Ini terlihat dari puisi “Ramadhan”. Penggalannya adalah berikut ini:
“…Telah kulaksanakan sholat malam
Telah kuuntai wirid malam dan siang…
……
Dan di malam-malam qadar, aku termenung
Tapi tak bersua Jibril dan malaikat …
…..
Aku bilang, Tarji..
Rindu yang kau rindukan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Ia datang
Namun, si bandel Tardji ini, sekali merindu takkan melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu, insyallah akan ada mustajab cinta
Maka, walau tak jumpa dengan-Nya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku pada-Nya…”
Juga ada sebuah puisi dari Presiden Penyair Indonesia ini yang mengkritik perilaku manusia — yang “menangis saat beribadah”, tapi kemudian berganti perilaku selesai beribadah. Bisa jadi inilah gambaran paradoks atau hipokrit manusia. Simaklah penggalan berikut ini dari puisi ”Cermin”:
“…Dalam salat engkau menangis
Dan banjir tangismu hanya sebatas sajadah
Di luar rakaat engkau ngakak
Engkau terkekeh-kekeh
Engkau melupa
Jahanam
Sudah masanya engkau lepas landas dari dunia ini
Sudah waktu
Kalau tidak
Engkau tetap jadi keledai
…
…
Engkau merindu
Tangan-tangan juga yang engkau genggam
Engkau mendamba hakikat
Tapi remah-remah juga yang kau telan
Engkau mencinta Dia
Namun syahwat yang engkau sibukkan
Engkau takut busuk
Namun dengan daging engkau berkawan
Engkau bilang takut nanah
Tapi engkau asyik dengan darahmu yang tergenang
Engkau tidak mengalir
Mangkrak”
Itulah Sutardji Calzoum Bachri. Menjelang 83 tahun pada 24 Juni 2024 nanti, ia tetaplah seorang legenda hidup di dunia penyair dan sastra Indonesia.
Masih ada lagi tampilan-tampilan menarik lain dari Jose Rizal Manua, Fatin Hamama (Ketua Komunitas Puisi Esai), Jamal D. Rahman dan Jodhi Yudono. Tak ketinggalan hadir dua generasi muda, Monika (membawakan puisi esai karya Bang Denny JA) dan Anggun (membawakan puisi karya Sapardi Djoko Damono). Tentu jangan dilupakan denting piano bernuansa religius dari maestro pianis Indonesia, Marusya Nainggolan.
Tak pelak acara Tadarus Puisi ini memang sarat makna dan memberikan oleh-oleh renungan bagi yang hadir. Semoga tetap ada puisi yang bermakna beserta sastra yang menggugat. Mereka selalu diperlukan, terlebih di saat kehidupan makin dibuat hingar-bingar oleh “politik gaya tertentu”, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
‘Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkan. Jika politik bengkok, sastra yang akan meluruskan.” (John Fitzgerald Kennedy).
24 Maret 2024
* (SWARY UTAMI DEWI)
Swary Utami Dewi, Wakil Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena