Karena tinggal di tepi pantai, dan ayahnya seorang nelayan, maka Bujang Bantan yang sedang berangkat remaja itu selalu menghabiskan waktu luangnya dengan duduk menyendiri di pantai. Tentu saja ini dilakukan bila sudah selesai membantu pekerjaan kedua orangtuanya.
Pagi itu Bujang Bantan sedang duduk di pantai, menunggu ayahnya pulang dari melaut. Tak lama menunggu, ayahnya pun datang.
“Bantan, cepat sini. Bantu Ayah,” teriak ayahnya.
Bujang Bantan bergegas berlari ke arah perahu ayahnya yang merapat ke pantai. Ayahnya tampak gembira, karena ikan hasil tanggkapannya cukup banyak. Beberapa di antaranya ikan-ikan besar. Ia pun membantu ayahnya menurunkan ikan-ikan itu dari perahu.
Tapi dada Bujang Bantan tergetar ketika mengangkat seekor ikan besar berwarna kehitam-hitaman. Ikan itu masih hidup. Matanya seperti menatap sendu dan penuh harap. Bahkan ada lelehan-lelehan air keluar keluar dari mata ikan itu.
Ikan ini menangis, pikir Bujang Bantan. Ini pasti bukan ikan sembarangan, pikirnya lagi.
Lalu Bujang Bantan tergerak hatinya untuk melepaskan lagi ikan besar kehitam-hitaman itu ke laut.
“Ayah, sebaiknya ikan yang satu ini dilepaskan lagi ke laut,” ujar Ujang Bantan.
“Kenapa? Itu kan ikan lumba-lumba, karena dia sering berlomba-lomba sesamanya. Bukankah itu ikan besar, banyak dagingnya?” tentu saja ayahnya heran dan terkejut.
“Pokoknya ikan ini harus dilepas lagi ke laut. Ini bukan ikan sembarangan, Ayah. Percayalah kata saya.”
“Ah, kau jangan mengada-ada Bantan. Ayah sudah menyabung nyawa untuk mendapatkan ikan seperti itu,” kata ayahnya.
“Baiklah, Ayah. Kakau Ayah tak mau melepaskan ikan lumba-lumba ini lagi ke laut, saya tak akan membantu pekerjaan Ayah lagi,” ujar Bujang Bantan setengah mengancam.
Ayahnya khawatir jika Bujang Bantan benar-benar melaksanakan ancaman tidak mau membantu lagi. Kalau itu terjadi maka ia bisa kerepotan bekerja mengangkat ikan-ikan sendiri. Betapa pun tenaga Bujang Bantan sangat membantu dan memperingan pekerjaannya.
Akhirnya permintaan Bujang Bantan itu dikabulkan ayahnya.
“Bila itu yang kau kehendaki, lakukanlah. Lepaskanlah ikan itu lagi ke air,” ucap ayahnya.
Bujang Bantan pun bergegas berlari ke tepi air. Ikan lumba-lumba yang besar itu langsung diletakkan ke air pelan-pelan. Begitu dilepas ke air, Bujang Bantan melihat, betapa di wajah dan mata ikan itu terpancar cahaya kegembiraan.
“Pergilah cepat ke tengah laut. Kembalilah ke kehidupanmu,” ujar Bujang Bantan kepada ikan itu.
Ikan lumba-lumba itu mengibas-ibaskan sirip ekornya. Matanya jelas berbinar-binar seperti mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga. Kemudian pelan-pelan ia berenang ke tengah. Betapa senangnya hati Bujang Bantan menyaksikan ikan itu berenang lagi.
Setelah itu Bujang Bantan kembali membantu ayahnya mengangkat ikan sampai selesai seluruhnya.
Menjelang petang, Bujang Bantan kembali datang ke pantai. Seperti biasa ia duduk di bawah pohon nyiur, memandang lepas ke hamparan luas Selat Melaka yang membiru. Di kejauhan, di seberang lautan, sayup-sayup terlihat puncak Gunung Ledang di Semenanjung Melayu. Bila cuaca dan langit cerah, puncak gunung yang tinggi di
Tanah Semenanjung itu memang terlihat jelas dari Pulau Bengkalis, tempat Bujang Bantan dan kedua orangtuanya tinggal.
Sehabis memandang puncak gunung yang sayup di seberang lautan, Bujang Bantan mengarahkan pandangnya ke riak air laut yang menepi ke pantai. Di batas air laut dengan pantai, samar-samar ia melihat ada sesosok benda kehitam-hitaman. Karena ingin tahu, ia segera berlari ke arah sosok benda kehitam-hitaman itu.
Betapa tercengangnya Bujang Bantan, ketika mengetahui sosok kehitam-hitaman itu ternyata seekor ikan lumba-lumba. Dan lumba-lumba itu tampak gembira ketika Bujang Bantan mendekat. Matanya berkedap-kedip bagai mengatakan sesuatu, serta sirip ekornya bergerak-gerak.
Bujang Bantan ingat betul, ikan lumba-lumba yang di depannya itu adalah ikan lumba-lumba yang semula telah
dilepaskannya ke laut.
“Terima kasih Bujang Bantan, engkau telah menyelamatkan jiwaku,” ada suara yang mengejutkan Bujang Bantan.
Ya, Bujang Bantan terkejut dan terkesiap, ketika tahu kata-kata itu keluar dari mulut ikan lumba-lumba.
“Eh, engkau bisa berbicara ikan lumba-lumba?” tanya Bujang Bantan keheran-heranan.
“Ya, seperti yang kau dengar. Aku adalah peminpin ikan lumba-lumba di Selat Melaka ini. Semalam aku sedang berenang-renang sendiri, dan ketika lengah aku terperosok ke dalam jaring ikan ayahmu. Untunglah ada dirimu. Untunglah engkau bersikeras meminta agar aku dilepaskan lagi ke laut. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya nasibku. Aku pasti mati. Dan kerabat-kerabatku, serta warga ikan lumba-lumba yang aku pimpin pasti akan merasa kehilangan. Sekali lagi, terima kasih Bujang Bantan. Mulai saat ini aku berjanji akan menjadi sahabat setiamu. Bila engkau perlukan bantuanku, sejauh aku bisa melakukannya, aku pasti akan membantu. Dan bila kau ingin bertemu denganku, datanglah ke pantai, lalu bertepuklah sebanyak empat kali. Aku pasti akan datang menemuimu,” kata ikan lumba-lumba itu panjang lebar.
Dan, Bujang Bantan pun hanya terkagum-kagum saja mendengarkannya. * (SUTIRMAN EKA ARDHANA/BERSAMBUNG)