Jumat , 11 Oktober 2024
Ilustrasi. (ist)

Bujang Bantan dan Lumba-lumba (Cernak: 2)

Sejak hari itu ikan lumba-lumba telah menjadi sahabat setia Bujang Bantan. Hampir setiap petang mereka bertemu di pantai. Dalam setiap pertemuan ada saja yang mereka bicarakan.
Suatu petang ketika mereka bertemu, wajah Bujang Bantan tak secerah hari-hari sebelumnya. Ia terlihat murung.

“Kenapa engkau terlihat murung, Bujang Bantan? Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya ikan lumba-lumba.

“Begini. Aku dengar di Tanah Semenanjung sana, di lereng Gunung Ledang, ada seorang pendekar sangat sakti.

Kabarnya ia pendekar pengelana yang datang dari Tanah Jawa. Aku ingin berguru kepadanya. Kau tahu, di sini sekarang banyak pengacau, perampok dan bajak laut pun sering merompak di kawasan ini. Mereka-mereka tak bisa dibiarkan begitu saja. Rakyat di sini menderita dibuatnya. Aku ingin menjadi pendekar, untuk membasmi para penjahat, perampok dan bajak-bajak laut itu,” ujar Bujang Bantan.

“Sungguh mulia keinginan,” kata ikan lumba-lumba.

“Cuma masalahnya bagaimana aku bisa sampai ke sana. Bisa sampai ke seberang atau ke Semenanjung Melayu sana itu? Aku tak berani berperahu sendiri menyeberang Selat Melaka yang luas dan bergelombang besar itu.”

“Jadi itu masalahnya? Kalau hanya itu, serahkan urusannya padaku. Biar aku yang mengatur bagaimana caranya engkau bisa sampai ke seberang. Tinggal engkau tetapkan kapan akan berangkat, dan segera katakan padaku,” suara ikan lumba-lumba penuh keyakinan.

“Kau ingin membantuku untuk sampai ke Semenanjung sana? Bagaimana caranya?” tanya Bujang Bantan serius.

“Tak perlu kujelaskan sekarang bagaimana caranya. Nanti sajalah.”

Sepulang dari pantai, Bujang Bantan mengemukakan keinginannya untuk pergi mencari ilmu kepada kedua orangtuanya. Semula ayah dan emaknya merasa keberatan ia pergi. Selain dipandang masih terlalu muda, berusia sangat remaja, dia merupakan anak satu-satunya. Anak semata wayang. Sehingga ayah dan emaknya sangat berat melepaskan Bujang Bantan pergi jauh. Tapi karena Bujang Bantan tetap bersekeras hendak pergi mencari ilmu, akhirnya kedua orangtuanya mengalah. Bujang Bantan pun diizinkan pergi.

Simak juga:  Maaf, Aku Terpaksa Jadi Pelacur (59)

“Kalau memang kepergianmu untuk mencari ilmu, pergilah Bantan. Mudah-mudahan ilmu yang kau peroleh nanti akan bermanfaat bagi warga dan masyarakat di sini. Disamping juga akan berguna bagi kehidupanmu sendiri nanti,” ucap ayahnya.

“Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Emak,” kata Bujang Bantan gembira dan haru.

Keesokan petang Bujang Bantan datang ke pantai dan bertemu lagi dengan ikan lumba-lumba. Begitu bertemu ia langsung mengemukakan tentang kepastian kepergiannya.

“Baiklah. Bila kau ingin berangkat hari ini, sebaiknya jangan petang-petang seperti ini. Tengah malam nanti, datanglah ke tempat ini lagi. Nanti aku yang akan membawamu ke seberang,” ujar ikan lumba-lumba.

“Engkau yang akan mengantarkan aku?” tanya Bujang Bantan keheranan.

“Ya, aku yang mengantarkan. Aku yang akan membawamu sampai ke seberang sana,” jawab ikan lumba-lumba santai.

“Naik apa? Bagaimana caranya?” tanya Bujang Bantan masih bernada heran dan ragu.

“Sudahlah. Jangan tanya yang macam-macam dulu. Yang penting tengah malam nanti kau sudah harus berada di sini,” tegas ikan lumba-lumba.

Seperti yang dijanjikan, setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya, tengah malam itu Bujang Bantan berjalan menuju ke pantai. Di pantai, ia sudah ditunggu ikan lumba-lumba. Ternyata ikan lumba-lumba itu tak sendiri. Ia mengajak kawan-kawannya. Jumlah mereka banyak.

“Nah, aku dan anak-anak buahku, kawan-kawanku ini, akan membawamu menyeberang ke Tanah Semenanjung. Naiklah engkau ke punggungku. Tak usah takut. Percayalah, engkau akan sampai ke sana,” kata ikan lumba-lumba.
Semula Bujang Bantan tampak ragu. Bagaimana mungkin bisa sampai ke Tanah Semenanjung dengan duduk di atas punggung ikan, pikirnya.

Simak juga:  Persahabatan Semut dan Merpati

Ikan lumba-lumba yang tahu jika Bujang Bantan dilanda keraguan, dengan cepat mendesaknya lagi.

“Ayo, Bujang. Cepatlah naik ke punggungku. Waktu kita tak banyak,” desak ikan lumba-lumba lagi.

Dengan dada berdebar, Bujang Bantan pun naik ke punggung ikan lumba-lumba. Setelah semuanya siap, armada ikan lumba-lumba itu pun melaju menyeberangi Selat Melaka.
Entah mengapa, malam itu Selat Melaka tampak tenang, seakan tanpa gelombang sedikitpun. Angin pun seperti tak berhembus. Bahkan rasa dingin pun tak menyentuh ke tubuh Bujang Bantan.

Menjelang pagi, armada ikan lumba-lumba itu sudah merapat ke pantai Semenanjung Melayu. Bujang Bantan pun segera turun dari punggung ikan lumba-lumba.

“Kau sudah sampai di Semenanjung. Bila nanti ilmu yang kau cari sudah cukup, dan ingin pulang lagi, panggillah aku. Aku pasti datang untuk membawamu pulang. Oh iya, bila kau ingin cepat sampai di lereng Gunung Ledang, bawalah batu kecil ini. Jangan sampai hilang, simpanlah baik-baik, karena batu kecil ini juga bisa membantumu nanti saat kau ingin cepat sampai ke pantai ini lagi,” kata ikan lumba-lumba sambil melemparkan sebuah batu kecil berwarna kemerah-merahan dari mulutnya. Batu itu pun diambil oleh Bujang Bantan.

Demikianlah, Bujang Bantan akhirnya sampai di lereng Gunung Ledang. Tempat pendekar sakti yang dicari berhasil ditemukannya. Ia pun menjadi murid sang pendekar sakti. Siang malam ia berlatih dan menempa diri. (SUTIRMAN EKA ARDHANA/BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *