TURUN HUJAN (1)
kumelihat begitu gembira orang orang berbagi kabar
begitu semangat bahkan tampak bahagia
melebihi takaran bertemu kekasih
hujan turun
hujan turun
hujan turun
namun tak satu pun bermain air hujan melepas kerinduan panjang yang tertunaikan
aku melihat seperti kebohongan besar
pengkhianatan atas nama rindu
hujan ditunggu
hujan dinanti
hujan dirindu
begitu turun hujan
lari mencari tempat berteduh.
Bantul November 2023
TURUN HUJAN (2)
begitu turun hujan, siang siang
kusambut derasnya air bagai mengucur sambil berlari kecil
kuraih ember warna warni
berjejer di ujung talang genting
menimba dari ketinggian langit penuhi bak mandi
luberi hingga lumer tandon tandon tabungan air di dapur
penuhi penampungan beton proyek inpres kenangan masa lalu
turun hujan kuceritakan tentang air dan bio pori
tentang sumur peresapan
tentang memanen air berlimpah yang selama ini terbuang percuma
tentang konservasi air
dan tentang lamanya menunggu hujan itu sendiri
Bantul November 2024
TURUN HUJAN (3)
terlanjur sumpah serapahku tumpah di bebukitan kering
semula kuanggap bisa menjadi mantra turunkan hujan
ternyata cuma kelakar angin dan udara kering menampar
panas
beringas
meranggaskan dedaunan jati
kukira sumpah serapahku mampu mengundang awan berduyun datang menebar mendung
justru angin seperti mendendam tak mau menggendong sedikit pun uap air mendekat
kukira hujatan kesalku di bukit kering meruntuhkan kekosongan langit
ternyata justru udara panas menyengati kulit hingga bertukar warna kelam
kau tak bisa memaksakan alam tunduk pada kata kata mu
semua ada waktunya
ada saatnya
musim pasti berganti, tanpa harus kau membuang kesabaran hatimu
hujan akan turun dengan sendirinya
yakinlah.
Bukit tanah putih Candi Kasongan, November 2023
NARASI KECIL TENTANG HUJAN
nyaris tujuh bulan tanah meringis
tak tersentuh gerimis
hitungan waktu di pananggalan pun tak lagi tepat ditebak
langit seperti menunda
angin pun tak ingin berbagi
tanah lahan mendesah susah gelisah rekah
matahari masih utuh seperti kemarin kemarin
hanya sinarnya lebih tajam menghujam kulit
panas meski tak membakar namun cukup mencederai hari hari penuh peluh
kami rindu turun hujan
pohon pohon berharap meratap
sawah tegalan retak pecah menganga bercelah
pekarangan rumah berselimut debu tebal menggumpal mudah mubal
kami merindu turun hujan, anak anak pun lupa kegembiraan bermain diguyur deras bertirai basah
kami rindu hujan, seperti tahun lalu bermain shampo saset berkejaran saling buru busa di tengah air tercurah
turun hujan adalah keindahan
sorak Sorai gembira menikmatinya
meski terkadang was-was merampas, begitu tak henti meluberkan banjir.
Pinggiran Kali Progo, November 2023
DATA DIRI:
Tepriyono adalah nama pena Teguh Priyono. Pria kelahiran Yogyakarta 58 tahun lalu ini menulis puisi cerita pendek dan naskah drama sejak duduk di bangku SMP. Lapar menulis membuatnya menekuni dunia jurnalistik menimba ilmu di Akademi Komunikasi Yogyakarta. Pernah berhikmat di majalah Suara Aisyisyah, sebelumnya menjadi penulis lepas di sejumlah media, Kedaulatan Rakyat, Mekar Sari, Yogya Post, kemudian di Minggu Pagi dan hingga kini menulis untuk Koran Merapi.
Naskah drama Perempuan Perempuan menjadi nominator pada penulisan naskah drama Napi tahun 1993. Selain itu dia juga menulis naskah sandiwara bahasa Jawa untuk radio Kota Perak (1998-2003) juga menjadi penulis berita info Kotaperak. Pengalaman sebagai editor buku untuk penerbit Gama Media dan sekretaris
eksekutif pada Lembaga Studi Ketuhanan Adikarto Yogyakarta (2007). Saat ini selain masih aktif sebagai reporter di Koran Merapi juga berhikmat sebagai abdi dalem di Kadipaten Pakualaman. Bersama istri Wajilah A.Md, dan dua anaknya, tinggal di Kayuhan Wetan, Triwidadi, Pajangan. Bantul. *