Jumat , 11 Oktober 2024

Mereka yang Berseberangan dalam Prinsip Politik atau Sastra Tetap Sahabat dalam Kemanusiaan

– Tribute to Remy Sylado

MENGENANG perselisihan, perdebatan keras, dan perbedaan sikap dalam soal politik, sastra, atau apa saja, saya teringat kutipan Sayyidina Ali.

Ia mengatakan: “Mereka yang bukan sahabatmu seiman, mereka adalah sahabatmu dalam kemanusiaan.”

Sayyidina Ali menyatakan ini ketika ia melihat begitu banyak dalam komunitasnya, mereka yang berbeda prinsip dalam iman juga sangat mengganggu persahabatan mereka sebagai sesama warga komunitas.

Saya mengartikan kata seiman dari kutipan Sayyidina Ali secara sangat luas untuk konteks sekarang. Seiman di sini tidak hanya seiman dalam soal agama tapi juga persamaan prinsip dalam politik, ataupun persamaan prinsip di dunia sastra.

Sehingga, tafsir kutipan itu menjadi lebih luas menjadi “mereka yang tidak sejalan denganmu atau berhadapan denganmu dalam prinsip politik dan juga prinsip sastra, mereka tetaplah temanmu dalam kemanusiaan.”

Kutipan ini sengaja saya ambil untuk memberi perspektif dinamika antara saya dan Remy Sylado dalam 5 tahun terakhir.

Saya membuka kembali dokumen di bulan Mei 2018. Di era itu, saya dan Remy Sylado terlibat dalam perdebatan dan saling kritik yang keras sekali di media sosial.

Ia diwawancara sekali, lalu kemudian menulis dua kali. Sedangkan saya menulis tiga kali. Kami saling mengkritik, saling menyerang, dan saling menjelaskan sikap pendirian kami soal sastra.

Remy Sylado keras sekali menyerang saya soal puisi esai dan pendirian saya soal sastra. Saya pun membalasnya, menjelaskan sikap saya dan menyerangnya kembali mengenai caranya mengambil kesimpulan yang sahih, juga kesalahannya dalam logical fallacy.

Perdebatan ini terjadi dalam waktu 1.5 bulan lebih dan beredar luas sekali. Di kalangan teman-teman sastra dan publik luas, kami berdua dikenal berhadapan secara sangat frontal.

Lalu datanglah era 2 tahun kemudian di mana Remy Sylado sakit keras. Publik melihat hubungan kami yang berbeda.

Saya bersama teman-teman di Satupena dengan hati yang terbuka, kami datang ke Remy Sylado melalui Rahmi Isriana.

Rahmi bercerita betapa Remy sangat senang dengan kudapan roti abon. Kami pun membelikan roti itu dan hadiah kursi roda, yang saat itu dibutuhkan Remy Sylado.

Lalu bersama dengan teman-teman Satupena dan Puisi Esai, kami buatkan video untuk Remy yang kemudian disebarluaskan. Hal ini kami kerjakan untuk membuat teman-teman lainnya ikut mengapresiasi, ikut melihat, dan terkabari mengenai kondisi Remy Sylado mutakhir.

Simak juga:  SERI PANCASILA (1): Catur Sila

Banyak yang bertanya, “Ada apa dengan saya dan Remy?” Mengapa tiba-tiba hubungan kami berdua berubah dan akrab?”

Sebenarnya tidak ada yang berubah dari hubungan kami. Sejak awal kami berdua meyakini bahwa tak apa kita berbeda prinsip dalam sastra. Bahkan tak apa pula kita berbeda prinsip soal iman.

Tapi untuk sisi kemanusiaan, kita tetaplah saudara sesama manusia. Perbedaan sikap dalam sastra jangan menjadi kendala hubungan sesama manusia, untuk tetap saling tolong menolong di kala susah.

-000-

Prinsip ini sebenarnya bukan hal baru di dunia sastra. Ini juga terjadi antara dua tokoh sastra besar: William Faulkner dan Ernest Hemingway di tahun 1947.

Kala itu William Faulkner ditanya oleh wartawan, “Siapakah sastrawan terbesar era itu?” Lalu William Faulkner membuat daftar. Di samping ia mengatakan bahwa dirinya sendiri yang terbesar saat itu, Faulkner juga mengatakan yang terbesar saat itu juga adalah Ernest Hemingway.

Namun Faulkner memberikan kritik yang keras sekali atas Hemingway. Ia mengkritik style penulisan dan pendirian sastra Ernest Hemingway.

Hemingway pun kemudian membalas kritik ini juga dengan keras sekali. Ia menyerang pendirian Faulkner, gaya hidupnya, dan ekspresinya dalam sastra. (1)

Mereka berdebat keras sekali dan juga diketahui publik.

Dua tahun kemudian, di tahun 1949 William Faulkner mendapatkan Nobel Sastra. Dan pada tahun 1954, 5 tahun kemudian, gantian yang mendapatkan Nobel Sastra adalah Hemingway.

Dua tokoh yang sama-sama mendapatkan Nobel Sastra ini tetap saja saling mengkritik tentang pendirian sastra masing-masing; tentang gaya dalam menulis masing-masing.

Namun kita tahu setelah perdebatan itu, di akhir hidupnya mereka berdua mengatakan bahwa walaupun mereka berdua saling mengritik keras sekali, tapi sesungguhnya mereka berdua adalah orang yang saling menghargai pendirian masing-masing.

Perbedaan dalam sastra itu adalah hal biasa. Tapi sebagai sesama insan manusia, mereka tetap saling menghormati.

Hal yang sama terjadi dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka adalah Dwi Tunggal proklamator kita.

Pada tahun ‘59 Bung Karno sebagai presiden menyatakan untuk menerapkan demokrasi terpimpin bagi Indonesia.

Simak juga:  Denny JA : Diplomasi Lewat Sastra Akan Lebih Efektif

Sedangkan Bung Hatta selaku wakil presiden, ia tidak setuju dan ia mundur sebagai wakil presiden. Kepada rakyat Republik Indonesia, Hatta mengatakan bahwa ketika Bung Karno menyatakan demokrasi terpimpin, yang terjadi sebenarnya adalah Indonesia dijauhkan dari demokrasi. (2)

Dua tokoh besar ini diketahui sangat berbeda sekali dalam prinsip politiknya. Hal itu terjadi dan terbuka sampai akhirnya keduanya wafat.

Namun orang tahu bahwa dalam soal persahabatan, mereka tetap berhubungan baik. Bung Karno wafat terlebih dahulu.

Ketika Guntur Soekarno Putra menikah, yang menjadi wali nikah Guntur Soekarno Putra adalah Muhammad Hatta sendiri.

Bung Hatta yang begitu keras berhadapan dengan Bung Karno di politik, namun soal kehidupan keluarga, soal kehidupan pribadi, Bung Hatta tetaplah menjadi seorang teman. Bahkan ia menjadi wali nikah dari anaknya Bung Karno.

Sekali lagi Bung Hatta mengatakan. “Kami memang berbeda sikap soal politik tapi kami tetap berteman, bersahabat sebagai sesama manusia.”

Itulah kerangka besar dari hubungan yang seharusnya. Itu juga terjadi antara saya dan Remmy Sylado.

Kita berbeda sangat keras sekali soal sastra tapi ketika datang satu situasi di mana Remy sakit, kita tetap saling membantu sebagai sesama manusia.

Ini perspektif yang sehat. Bahwa hubungan sama manusia lebih mendasar, lebih fundamental dibandingkan hubungan kita sebagai sastrawan, politisi, ataupun penganut agama.

-000-

 

Kini Remy Sylado sudah wafat. Kita hormati Remy Sylado. Bahkan ketika ia wafat, saya menghormatinya dengan sengaja menonton kembali filmnya.

Sebuah film yang berjudul Ca-Bau-Kan diproduksi berdasarkan novel Remy Sylado.

Ketika Remy wafat, di hari yang sama, sengaja saya menonton film itu kembali di Netflix. Ini cara saya menghormati seorang pencipta.

Remy Sylado sudah wafat. Tapi karya-karyanya terus hidup bersama kita. * (Denny JA)

(Transkripsi pidato lisan yang disampaikan melalui video dalam acara Tribute to Remy Sylado. Acara ini diselenggarakan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dan lainnya, di Bentara Budaya, 11 Maret 2023).

 

CATATAN

1. Perdebatan keras dua tokoh sastra penerima Nobel sastra yang saling serang: William Faulkner dan Ernest Hemingway
https://www.britannica.com/story/was-there-a-feud-between-william-faulkner-and-ernest-hemingway

2. Perbedaan politik Bung Karno dan Bung Hatta
https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/06/18/13414211/soekarno-dan-hatta-dwitunggal-yang-terpisahkan-oleh-politik-tetapi-tetap

* Denny JA, Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia Satupena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *