Proses pencurahan diri tersebut berbasis subyektivisme dan pengalaman mental sebagai pelukis realis kontemporer yang cukup ternama di Indonesia. Komulasi stock of knowledge dan life world sebagai pelukis
yang mempersyaratkan adanya ke-egois-an ideologi diri, turut memberikan energi kepercayaan kepada sosok Slamet Henkus
untuk terus tegak berjuang merajut historitas diri sesuai habitus wong Jawa kontemporer yang diyakininya sebagai kayon atau ajaran kebijaksanaan yang adiluhung, yang akan membawanya mampu menggayuh rasa tentrem ing ati.
Slamet Henkus, sebagai salah satu anggota Pokja pendirian Kota Batu, turut bertanggung jawab mengawal upaya pengembalian harkat dan martabat rakyat, sang pemilik kekuasaan tertinggi dalam satuan bangsa yang menganut sistem demokrasi ini. Gagasan, pemikiran, ide, sikap, tindakan, dan perilaku.
Slamet Henkus nawaitu-nya untuk ‘mendudukkan kembali’ rakyat pada singgasananya, Vox Populi Vox Dei. Dalam rangka mewujudkan doxa tersebut, Slamet Henkus dengan tanpa lelah, terus belajar, terus berkarya, terus memelihara modal
sosial, modal budaya, dan modal politik dalam arena praktek kehidupan sosialnya.
Gerak langkah perjuangannya tersebut
berlandaskan pada core values Jawa yang berupa tata kelakuan wah, weh, dan woh, salah satu pedoman praktek kehidupan yang harus ditempuh oleh manusia agar ia dapat memberikan manfaat bagi lingkunganya.
Pedoman hidup yang demikian tidak berbeda dengan ajaran Islam, khoirunnas anfauhum linnas. Sejalan pula dengan ajaran Hindu Bali, Tri Hita Karana.
Tata kelakuan wah, memberikan landasan gerak manusia agar ia senantiasa berjuang untuk menduduki status and role yang memiliki ‘daya guna’ dalam sistem dan struktur sosialnya.
Ajaran Jawa menuntun agar setiap manusia tidak apatis, tidak menyerah ketika terpuruk, tidak loyo, tidak nglokro. Wong urip iku kudu urup (orang hidup itu harus senantiasa bergerak dinamis). Budaya Jawa mengajarkan agar setiap manusia seharusnya memiliki griya (rumah untuk tempat tinggal), garwa (pasangan hidup), pusaka (keyakinan), kukila (tambatan hati yang menghibur), dan turangga (alat transportasi). Sosok Slamet Henkus
sangat patuh pada ajaran Jawa ini, sehingga grafik perjalanan hidupnya terus ‘menanjak naik’, bergerak dari zero to hero, dari anggota masyarakat biasa bergerak menjadi think tank pembangunan berbasis budaya Nusantara.
Pedoman bertindak kedua, yakni weh, sejalan dengan perspektif sosiologi fungsionalisme, di mana disebutkan, bahwa setiap yang ada itu pasti memiliki fungsi atas keberadaannya.
Dalam ajaran Islam diyakini, ma khalaqta hadza bathila, tidaklah yang ada itu sia-sia. Ajaran Jawa pun mendorong agar setiap manusia berguna bagi orang lain, melalui dharma ‘memberi’, beramal sholeh, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Hal demikian merupakan praktek dari tata kelakuan weh. Manusia itu harus mengamalkan ajaran nyah nyoh, loman, tidak kikir, tidak pelit, karena harta milik kita yang sejati itu adalah yang diberikan kepada orang lain, bukan yang disimpan untuk diri sendiri.
Ajaran kehidupan yang mulia ini juga
diimplementasikan oleh Slamet Henkus. Meskipun beliau sadar, bahwa karya lukisannya itu mahal, namun beliau tidak segan-segan untuk menghadiahkannya kepada para sahabatnya.
Tata kelakuan ketiga, woh, lebih merupakan penegasan keyakinan Jawa, bahwa setiap manusia yang mau dan mampu mempraktikkan ajaran wah dan woh, maka dipastikan dia akan memetik buahnya, menikmati hasilnya.
Budaya Jawa mengajarkan, wong urip iku bakal ngunduh wohing pakarti. Setiap orang itu akan memetik buah karyanya. Ajaran woh merupakan fase panen dari amal perbuatan manusia. Tata kelakuan wah weh yang dijalankan secara toto, titi, dan tatag, pasti akan tutug, yakni sukses membuahkan kebahagiaan atau ketentraman.
Meminjam kerangka pikir ajaran Jawa ini, nampaknya Slamet Henkus telah sampai pada tahapan woh. Sang budayawan yang lugu ini, telah mereguk amal perbuatan baiknya.
Kepercayaan publik padanya semakin kuat. Jaringannya semakin luas. Nilai dan norma diri yang diugemi-nya semakin membuat orang lain menjadi penasaran untuk mengkajinya.
Slamet Henkus sebagai aktor bagi kehidupannya, baik sebelum belajar teori-teori sosiologi di Program Doktor Sosiologi di Pascasarjana UMM, maupun sesudah lulus, menyadari sepenuhnya, bahwa ide-ide konstruktif untuk membangun ekosistem humanitas kehidupan itu tidak mungkin terwujud, jika tidak dituangkan dalam kebijakan publik. Atas dasar rasionalitas ini, maka Slamet Henkus juga menjalin relasi dengan struktur kekuasaan di wilayah geraknya. Beliau tidak bermaksud mengambil rente ekonomi, namun ingin agar struktur
kekuasaan itu mengembangkan regulasi dan sumber daya untuk merealisasikan pengembangan ekosistem kehidupan yang
humanis dan berbudaya tadi.
Slamet Henkus mengedepankan sikap yang ramah tamah, namun tetap kritis konstruktif kepada struktur kekuasaan manakala mereka lalai atas amanah rakyat yang diembannya.
Pilihan gaya hidup Slamet Henkus sebagaimana dipaparkan di atas merupakan artikulasi dari ajaran Jawa yang dipegangnya, yakni “Mulat Sarira Hangrasa Wani,Rumangsa
Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi”. Setiap manusia itu harus berani melakukan introspeksi diri atas segala yang dilakukan serta yang terjadi di lingkungannya; harus memiliki self of belonging, tidak boleh apatis atas panggilan di lingkungan kehidupannya; dan wajib mengambil tanggung-jawab atas tugas-tugas kehidupan yang diamanahkan oleh Sang Murbehing Dumadi. Atas dasar semangat budaya dirinya itu lah, maka
Slamet Henkus mencoba belajar seluruh ‘ilmu’ yang dibutuhkannya.
Beliau tidak mau suatu ilmu itu terkotak-kotak,
terkompartemenisasi. Ilmu pengetahuan itu harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Meskipun beliau adalah sosiolog, namun ketika hendak merumuskan ‘jalan praksis dan
emansipatoris’, maka tidak segan-segan pula mengambil ‘ilmu sana sini’. Mempergunakan jurus mabuk Jackie Chan. Sungguh menarik gaya pemikiran dan tindakan sosialnya.
Buku Mulat Sariro Hangrasa Wani merupakan cermin historitas diri Slamet Henkus sebagai orang Jawa Kontemporer yang tidak mau kehilangan ke-Jawa-annya, sekaligus juga tidak mau terputus dari eksistensinya dalam kehidupan modern yang sangat hegemonik ini. Henkus tetap mempertahankan ‘isi’ Jawanya, meski terkadang harus hanyut dalam ‘bentuk’
(baca: baju) modern. Pemikiran, sikap, dan tindakan Slamet Henkus merupakan representasi kegelisahan yang positif dan produktif, karena semua itu merupakan rangkaian aksioma alam yang berupa tesa, antitesa, dan sintesa.
Suatu dialektika dari dualitas agensi dan struktur yang tidak pernah berhenti. Suatu fungsi dari formula makro dan mikro kosmos, jagat alit dan jagat ageng, makro obyektif dan
mikro subyektif. Karya Slamet Henkus merupakan wujud transendensinya pada Ibu Pertiwi yang senantiasa dipujanya di sepanjang gerak kehidupannya. Semoga bunga yang ditanamnya itu senantiasa menebar keharuman bagi seluruh alam semesta, Amin.
Malang, Maret 2023
(Assc. Prof. Dr. Wahyudi Wijanarko, M.Si)
* Assc. Prof. Dr. Wahyudi Wijanarko, M.Si, dosen pascasarjana UMM, peneliti, narasumber di berbagai kegiatan, penulis sejumlah buku tentang sosiologi. Dewan Pakar SATUPENA JAWA TIMUR
(email:wahyudiwinarjo64@umm.ac.id)
Minat Koleksi Buku
MULAT SARIRA OTOKRITIK MANUSIA
hubungi 08123366563
Akaha Taufan Aminudin
SATUPENA JAWA TIMUR
Alhamdulillah semangat Sepanjang Masa Succesful Sedulur SatuPena SatuHati SatuJiwa SatuRasa KOMPAK KEBERSAMAAN sepanjang masa Succesful Sedulurku
#SatuPenaJawaTimur
Sukses yang berkah, Pak Akaha