Sebagai penyair, Marjuddin (69 tahun) sudah menulis puisi sejak tahun 1970-an, dan pada waktu itu ikut Persada Studi Klub yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Puisi2 Marjuddin dipublikasi di sejumlah media cetak, pada masa itu. Marjuddin alumni IKIP Negeri Yogyakarta, sekarang UNY. Semasa mahaisiswa persahabatan dengan para penyair Yogya lainnya mendorong untuk terus menulis.
“Sebagaimana bahasa, puisi merupakan salah satu produk budaya.Puisi merupakan alat komunikasi kreatif, catatan pengalaman empirik, dan sekaligus respon terhadap peristiwa puitik dari seorang penyair”, kata Marjuddin.
Di era media sosial sekarang ini, Marjuddin tambah produktif menulis puisi, dan tidak lagi rajin mempublikasikan puisinya di media cetak seperti surat kabar, melainkan diikutkan antologi puisi bersama penyair Indonesia lainnya. Puisi2nya disimpan di HP dan menulis puisi dengan HP-nya.
:”Saya tidak lincah menulis menggunakan laptop, lebih cepat pakai HP”, kata Marjuddin.
Buku puisinya terbaru, yang memuat 69 puisinya diberi judul ‘Trilogi Teka-Teki Titik Nol, diterbitkan Tonggak Pustaka, satu penerbit di Yogya yang khusus memfasilitasi para penyair untuk menerbitkan buku puisi atau karya sastra lainnya.
“Sejak tahun 2016 sampai sekarang sudah lebih dari 60 buku diterbitkan Tonggak Pustaka dan kebanyakan buku puisi”, ujar Indro Suprobo editor TonggakPustaka.
Marjuddin tidak akan membacakan puisinya sendiri, tetapi akan tampil para pembaca lain, ialah Heru Marwata, dari FIB UGM, Dhanu Priyo Prabowo, peneliti sastra, Fauzi Absal, penyair, Iranda Yudatama, aktivis LSM, dan Dwi Winarno, Deni Saputra, Hisyam Billya, Khoirunnida, Vivin Rachmawati. Selain dibacakan, Yupi akan menggubah 2 puisi Marjuddin menjadi lagu.
“Syam Chabdra, penyair yang setiap membaca puisi selalu melempar uang atau barang lainnya kepada penonton akan ikut tampil membacakan puisi Marjuddin”, ujar Ons Untoro, koordinator Sastra Bulan Purnama.
Fauzi Absal, penyair teman karib Marjuddin melihat puisi2 Marjuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Trilogi Teka-Teki Titik Nol’ menyebutkan, ibarat Abunawas, puisi2 Marjuddin mempunyai pola ucap liar, lugas, bodoh, yang seperti kabut menyelimuti kewarasan intelektualnya.
Sedang Genthong Hariono, seorang aktor dan penulis naskah teater, mengatakan, membaca antologi puisi Trilogi Teka Teki-Titik Nol, kita akan sering dikejutkan oleh pemakaian kata dan gramatika yang kurang lazim.
“Jangan menyerah, selami rahasia ratna mutu manikam yang tersembunyi disebaliknya”, ujar Genthong Hariono. (*)