Senin , 9 Desember 2024

Hamdan Daulay, Sosok Yang Membawa Saya ke Kampus

SELAIN kedua orangtua, Ayah dan Ibu, serta keluarga haruslah diakui tak sedikit orang atau sosok lainnya yang berarti dalam kehidupan saya. Berarti dalam pengertian, telah berperan, berjasa, menggerakkan, mendorong, mempengaruhi serta mewarnai perjalanan kehidupan.

Terus terang, apa yang saya pilih, lakukan dan kerjakan dalam perjalanan kehidupan ini, tak semuanya muncul dari pikiran, gagasan atau keinginan diri sendiri. Haruslah diakui, betapa besar dan banyak peran serta pengaruh orang lain (tentu saja disamping peran kedua orangtua dan keluarga) dalam perjalanan kehidupan saya hingga hari ini.

Dalam perjalanan kehidupan, sejumlah hal telah saya lakukan, kerjakan atau jalani. Terus terang, tidak semua kerjaan yang saya lakukan memang sesuatu yang dicita-citakan, atau diangan-angankan sejak awal. Dari sejumlah hal atau pekerjaan yang saya geluti sepanjang perjalanan kehidupan, ada dua bidang pekerjaan yang benar-benar berkesan. Dua bidang pekerjaan itu adalah sebagai pekerja media pers atau wartawan, dan menjadi dosen di perguruan tinggi.

Padahal kedua bidang itu, menjadi wartawan dan dosen di kampus, bukanlah menjadi cita-cita saya sejak awal. Ya, cita-cita saya sejak awal, sangatlah sederhana. Menjadi polisi atau petani. Ayah saya seorang polisi, wajarlah sejak kecil saya juga bercita-cita ingin jadi polisi juga. Dan karena keluarga besar saya, dari Ayah juga Ibu, berprofesi sebagai petani, saya pun sempat bercita-cita ingin jadi petani.

Tapi ternyata jalan kehidupan saya tidaklah seperti angan-angan atau cita-cita yang ada di masa kecil dulu. Saya justru menggeluti pekerjaan di koran sebagai wartawan, dan kemudian sempat pula menjadi pengajar di kampus perguruan tinggi. Sungguh sesuatu yang semula tidak pernah saya bayangkan.


Berkat Peran Seseorang

Harus jujur saya akui, keterlibatan saya dalam kerja jurnalistik atau kerja di media pers, juga kerja di ranah pendidikan, menjadi dosen di kampus, tak terlepas dari peran dan dorongan orang lain. Peran dan dorongan dari orang-orang yang berarti dalam kehidupan.

Saya akan memperkenalkan atau menjelaskan dulu sosok yang sangat berperan dalam menggiring dan membawa saya masuk ke kampus. Ya, sosok yang membawa saya menjadi pengajar di kampus, bertemu dengan para mahasiswa.

Sosok itu adalah Hamdan Daulay. Lengkapnya DR. Hamdan Daulay, M.Si, M.A. Lelaki kelahiran Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 9 Desember 1966 inilah yang berperan besar membawa saya masuk ke dalam suka dukanya menjadi pengajar di kampus. Tepatnya, menjadi salah seorang dosen di jurusan (Prodi) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Semuanya bermula dari datangnya selembar surat pada sekitar tahun 2004/2005 yang dikirim oleh Jurusan KPI, Fakultas Dakwah (sekarang Fakultas Dakwah dan Komunikasi) UIN Sunan Kalijaga. Surat yang ditandatangani oleh Ketua Jurusan KPI, Hamdan Daulay, itu berisi permohonan atau permintaan agar saya bersedia menjadi salah seorang pengajar atau dosen di Jurusan KPI tersebut. Ada dua mata kuliah yang ditawarkan, yakni Jurnalistik dan Fotografi (yang kemudian berkembang menjadi Fotografi Jurnalistik).

Pada awalnya, saya agak ragu untuk menerima tawaran menjadi pengajar di Jurusan KPI itu. Apakah saya benar-benar berbakat atau punya kemampuan untuk menjadi pengajar mahasiswa? Menjadi dosen di kampus perguruan tinggi? Pertanyaan seperti itu pun sempat muncul. Entah mengapa keraguan sempat muncul, padahal sebelumnya saya juga pernah punya pengalaman mengajar di kampus.

Simak juga:  Cara Ustad Pertahankan Dakwah di Tengah Pandemi Covid-19

Ya, sekitar tahun 1997/1998, sebetulnya saya sudah sempat dipercaya untuk mengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa & Seni (FPBS) IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Tapi hanya mengajar selama dua semester saja untuk mata kuliah yang berkaitan dengan jurnalistik. Pertama mengajar mata kuliah “Wawasan Profesi Kewartawanan”, dan kedua, mata kuliah “Penulisan Berita”.

Sejak 1999 sampai 2003/2004, saya tak punya aktivitas apa pun di kampus.
Setelah sekitar empat tahun berlalu, datanglah surat dari Jurusan KPI, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga itu. Saya gembira, tapi juga sekaligus ragu menerima. Gembira, karena diberi kepercayaan menjadi dosen, sesuatu yang jauh sebelumnya tak pernah terbayangkan. Seusai mengajar di FPBS IKIP Yogyakarta itu pun, saya tak pernah berangan-angan atau membayangkan akan ada perguruan tinggi lainnya lagi yang memberi kepercayaan untuk mengajar.
Dan, rasa ragu muncul, dikarenakan saya menyadari akan kemampuan diri yang terbatas dan apa adanya.

Berkat “Jurnalistik Dakwah”
Singkat cerita, saya pun datang ke kampus Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, menemui Ketua Jurusan KPI, Hamdan Daulay.
Kepadanya saya katakan perihal keraguan terhadap kemampuan diri untuk menerima tawaran menjadi pengajar itu.
“Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya, Pak Hamdan. Tapi terus terang, saya agak ragu dengan kemampuan diri menjadi pengajarnya mahasiswa. Apalagi mengajar di perguruan tinggi Islam. Apalagi latar belakang pendidikan saya kan tidak semulus dan sebagus para dosen di sini,” ini kata saya di awal pertemuan.
Hamdan Daulay tersenyum mendengar kata-kata saya itu.

“Ah, Pak Tirman bisa saja merendah. Kami yakin dengan kemampuan yang dimiliki. Pak Tirman seorang wartawan senior. Seseorang yang profesional di bidang jurnalistik. Seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan memadai untuk bicara tentang media dan ilmu komunikasi. Apalagi Pak Tirman sudah menulis buku tentang Jurnalistik Dakwah. Buku itu jadi referensi di banyak Jurusan KPI perguruan tinggi Islam di tanah air. Karena itu saya yakin Pak Tirman mampu untuk menjadi salah seorang pengajar di KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga ini,” jelas Hamdan Daulay panjang lebar.

“Tapi buku Jurnalistik Dakwah itu hanya buku sederhana, Pak Hamdan. Bahkan terkesan bicara hal-hal yang praktis tentang keterkaitan jurnalistik dan dakwah,” timpal saya.

“Tidak juga, Pak. Buku Pak Tirman itu cukup membantu mahasiswa dalam memahami keterkaitan jurnalistik dengan dakwah. Karena itulah buku itu menjadi referensi, khususnya di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” ujar Hamdan Daulay lagi.

Dalam pertemuan itu, Hamdan Daulay terus mendorong dan memberikan keyakinan bahwa saya punya kemampuan untuk mengajar di kampus.
“Saya tahu sejak dulu, Pak Tirman sering tampil sebagai pembicara atau menjadi narasumber dalam pendidikan jurnalistik. Baik di lembaga-lembaga tertentu maupun di kampus-kampus. Nah, atas dasar itu, saya yakin Pak Tirman juga mampu mengajar di depan mahasiswa,” tambahnya.

Akhirnya, saya pun menerima tawaran mengajar itu. Hamdan Daulay berhasil mendorong, memprovokasi dan membawa saya untuk masuk ke dalam kehidupan kampus. Masuk menjadi salah seorang dosen untuk mata kuliah yang berkaitan dengan kerja jurnalistik.

Simak juga:  Kenangan Pada Ayah: Resiko Polisi


Sekitar 17 Tahun

Demikianlah, mulai tahun akademi 2004/2005, saya pun memulai pengalaman diri menjadi dosen di Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga.
Awalnya masuk dengan rasa percaya diri yang kurang, ternyata saya menjalani aktivitas sebagai dosen selama sekitar 17 tahun lebih. Dari bangunan kampus masih lama (sebelum gempa 2006) sampai bangunan baru. Dari masih bernama Fakultas Dakwah, sampai beralih nama menjadi Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Selama mengajar itu, saya sempat merasakan pengalaman mengajar di bawah kepemimpinan lima orang dekan.
Selama sekitar 17 tahun lebih itu, saya sempat memiliki pengalaman menjadi dosen sembilan mata kuliah. Mata kuliah yang pernah dipercayakan kepada saya itu, meliputi Fotografi (Fotografi Jurnalistik), Sinematografi, Jurnalistik, Bahasa Indonesia, Hukum dan Etika Jurnalistik, Manajemen Redaksi, Manajemen Media Massa, Jurnalistik Cetak, dan Produksi Berita Media Cetak.

Aktivitas mengajar selama 17 tahun di Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (sebelumnya Jurusan KPI) itu berakhir pada Semester Gasal tahun akademi 2021/2022. Dua mata kuliah terakhir, yakni Jurnalistik Cetak dan Produksi Berita Media Cetak berlangsung secara daring atau online, akibat terpaan pandemi Covid-19.
Waktu 17 tahun, bukanlah masa yang singkat untuk aktivitas berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada mahasiswa di kampus. Sehingga ketika setelah Semester Gasal Tahun Akademi 2021/2022 itu tak ada lagi informasi atau pemberitahuan untuk semester genap berikutnya, terasa ada yang hilang dari aktivitas keseharian saya.

Saya bangga, gembira dan bahagia bisa dipercaya menjadi pengajar di Prodi KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga itu. Tapi saya tak bisa pungkiri, kalau sempat terbersit juga rasa kecewa di hati.
Kenapa bisa begitu? Ya, saya dulu masuk atau datang ke dalam kampus itu untuk mengajar, karena adanya surat resmi berisikan permintaan menjadi dosen. Tapi 17 tahun kemudian, saya meninggalkan aktivitas mengajar di kampus itu dengan begitu saja. Tak ada pemberitahuan apa pun. Tak ada secuil informasi apa pun. Tak ada selembar surat apa pun.

Tapi terlepas dari rasa kecewa itu, saya tetap mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang besar kepada Fakultas Dakwah dan Komunimasi UIN Sunan Kalijaga terutama Prodi KPI yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk menjadi salah seorang pengajar selama 17 tahun.
Dan, terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan kepada DR. Hamdan Daulay, M.Si, M.A yang sekarang menjabat sebagai Ketua Program Magister KPI FDK UIN Sunan Kalijaga. Karena dulu telah mendorong, memberi semangat serta membawa saya masuk ke dalam aktivitas kehidupan kampus yang indah dan menyenangkan. Bisa bertemu, berbincang, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bercanda dengan mahasiswa-mahasiswa (tentu juga mahasiswi-mahasiswi) hebat.

Tak hanya itu, doktor yang rendah hati ini, telah pula berulang kali membawa saya menjadi Ustadz tamu di Pesantren Mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII), juga di Pesantren Mahasiswa UII. Saya juga sempat beberapa kali menjadi dosen tamu di Program Magister KPI yang dipimpinnya.
Terima kasih. Sekali lagi terima kasih telah membuat hidup saya menjadi berarti. * (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *