Rabu , 1 Mei 2024
https://ffaw.orghttps://monkproject.orgslot luar negeri
Beranda » Humaniora » Sastra Yogya Tak Ada Matinya: Era Umbu dan PSK Hingga Kini
Ketika berbicara bersama penyair Yuliani Kumudaswari dalam talkshow Gelar Sastra Jogja. (Ist)

Sastra Yogya Tak Ada Matinya: Era Umbu dan PSK Hingga Kini

KAMIS (16 November) saya diminta untuk berbicara dalam talkshow acara Gelar Sastra Jogja yang ditaja Selasa Sastra Bantul dan Dinas Kebudayaan DIY, di Gubug Putih, Panggungharjo, Bantul. Pada kesempatan talkshow itu saya tampil bersama penyair Yuliani Kumudaswari.
Saya diminta untuk bicara tentang Sastra Yogya di Era Umbu Landu Paranggi Hingga Kini.
Di bawah ini, cuplikan dari sederetan hal yang sampaikan di forum tersebut.

………………

 

GELIAT sastra di Yogyakarta memang menarik untuk disimak. Tak berlebihan untuk menyebut, pasca kemerdekaan di tahun 1945 pertumbuhan sastra di Yogyakarta terus menggeliat dan berkembang. Kehidupan budaya dan keberadaan Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa, telah memberikan ruang yang besar dan luas bagi kehidupan sastra.
Ya, jagad sastra di Yogyakarta sudah menggeliat sejak pasca kemerdekaan. Itu artinya, geliat kehidupan sastra di Yogyakarta sudah ada sejak era 40-an akhir, era 50-an dan 60-an.

Tapi kali ini, saya diminta untuk berbincang tentang “Sastra Yogyakarta, Era Umbu Landu Paranggi Hingga Kini”. Artinya, memperbincangkan geliat sastra mulai era 60-an akhir (sejak 1968/1969) hingga kini. Mohon maaf, saya bukanlah pengamat atau pemerhati sastra. Kalau dikaitkan dengan geliat sastra di era Umbu Landu Paranggi dan Persada Studi Klub (PSK), saya hanyalah layak disebut sebagai pelaku saja. Dalam pengertian, sebagai seseorang yang pernah ‘terlibat’, ikut berproses, ikut belajar, ikut membangun eksistensi diri, ikut runtang-runtung dan semacamnya yang lain.

Nah, dengan kapasitas sebagai pelaku, dalam perbincangan ini, saya hanya mengutarakan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman, kesan dan pemahaman seputar kehidupan sastra di era Umbu Landu Paranggi dan PSK hingga kini.

 

Persada Studi Klub
Umbu Landu Paranggi, lelaki kelahiran Karanggar, Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943, di tahun 60-an menjadi redaktur budaya pada Mingguan Pelopor Yogya. Di Pelopor Yogya, Umbu Landu menggawangi rubrik atau halaman Persada. Halaman ini disediakan khusus untuk orang-orang muda yang mencintai dunia penulisan, khusus sastra. Sebagai halaman untuk penulis-penulis muda berkarya dan menunjukkan kreatifitasnya dalam karya, halaman ini tak pernah sepi. Halaman ini selalu semarak dengan taburan karya sastra, terutama puisi, juga esai sastra.
Persada tak hanya sebatas sebagai halaman untuk penulis-penulis muda menampilkan karya, tapi kemudian berkembang menjadi komunitas atau paguyuban, tempat para penulis muda penyuka sastra berkumpul membangun eksistensi diri.

Simak juga:  Pulang ke Kampung Sastra

Keberadaan Persada sebagai komunitas atau paguyuban penulis-penulis muda penyuka sastra si Yogyakarta itu dicetuskan pada Rabu, 5 Maret 1969, dalam pertemuan di Jl. Malioboro 175 A (kantor redaksi Pelopor Yogya). Sebagai komunitas namanya menjadi Persada Studi Klub (PSK). Para pencetus atau pendiri PSK terdiri Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Ipan Sugiyanto, dan Mugiyono G. Warsono.

Keberadaan Persada sebagai halaman berkarya, dan Persada Studi Klub sebagai wadah komunitas, telah membuat geliat kehidupan sastra di Yogyakarta masa itu benar-benar semarak.
Umbu Landu Paranggi sebagai penggerak utama dan para pendiri PSK memang tak pernah berhenti membangun serta menyemarakkan kehidupan sastra di Yogyakarta.

Hampir setiap hari Minggu ada forum pertemuan, baik berupa diskusi sastra, membahas karya, baca puisi dan semacamnya. Forum pertemuan itu tidak hanya berlangsung di markasnya PSK Jl. Malioboro 175 A, tapi juga sering diselenggarakan di rumah-rumah anggota PSK, di kampung-kampung, baik di Yogyakarta, maupun di luar Yogyakarta. Bahkan PSK pun sering tampil di sejumlah kampus perguruan tinggi, diundang untuk baca puisi atau pun poetry singing.

Pertemuan-pertemuan sastra di setiap Minggu itu bolehlah disebut sebagai acara formal, meski hanya duduk berdempetan di atas tikar, di ruang sempit, duduk di rerumputan, bebatuan, di alam lepas.
Bila pertemuan formalnya berlangsung seminggu sekali, pertemuannya non-formalnya, boleh dibilang berlangsung setiap malam. Ya, kala itu, setiap malam sehabis toko-toko tutup, Malioboro menjadi tempat para seniman lintas profesi bertemu, berbincang, berbagi pengalaman, mencari inspirasi, dan lainnya lagi.
Demikian pula para anggota PSK kala itu. Hampir setiap malam bertemu di Malioboro. Berbincang tentang kehidupan, berbagi pengalaman, ngobrol tentang proses kreativitas, atau hanya diam, memandang malam, dan merenung.

Pendek kata, ketika itu, kehidupan sastra di Yogyakarta tak ada sepinya, tak ada matinya. Umbu Landu Paranggi dan Persada Studi Klub, kala itu benar-benar telah membuat kehidupan sastra di Yogyakarta menjadi semarak, ramai dan meriah. Nyala sastra di Yogyakarta membara. Cahaya dan gaungnya sampai ke mana-mana.

 

Mengenalkan Kehidupan yang Luas
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa diceritakan tentang bagaimana geliat sastra di Yogyakarta pada era Umbu Landu Paranggi dan PSK. Saya batasi sampai di situ saja dulu (lainnya bisa dikembangkan lewat dialog saja).
Saya akan mengakhiri perbincangan ini, dengan menampilkan kembali sebagian dari tulisan saya yang terhimpun di buku “Metiyem” Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019).

Simak juga:  Diskusi Kebangsaan XII: Jalan Wayang adalah Jalan Kebangsaan

………………

Saya mengawali pengembaraan di Yogya pada tahun 1972. Yogya dengan segala desah dan warna kehidupannya telah membuat ‘mata kehidupan’ saya menjadi terbuka lebih lebar dan luas. Yogya dengan segala senandung, lenggang-lenggok dan liukan kehidupannya telah membuat ‘pengembaraan’ saya menjadi lebih berarti. Saya menemukan sesuatu di sini. Sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan.

Di Yogya, saya menemukan banyak hal yang sebelumnya sulit didapatkan. Di kota ini, seorang ‘anak pulau’ seakan menemukan lagi jung baru yang membawa gelisahnya mengembara, ‘berlayar’ ke ‘pulau-pulau’ yang sebelumnya tak pernah mampu diraih. Saya menemukan berbagai sarana yang mendukung kegelisahan serta semangat menulis menjadi semakin menyala. Di sini, tersedia beragam media yang bisa menampung semua ‘kegelisahan’ itu, dan salah satu di antaranya Mingguan Pelopor Yogya.

Setelah beberapa bulan tinggal di Yogya, saya pun kemudian mulai berkirim karya ke Pelopor Yogya dan terlibat di dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh Umbu Landu Paranggi itu. Umbu dengan PSK-nya, tidak hanya membuat seorang ‘anak pulau’ menemukan ‘dunia baru’ dalam kehidupannya yang sebelumnya ‘sunyi’ dan ‘terpencil’ jauh dari kehiruk-pikukan. Tapi juga lewat ‘perbincangan-perbincangan malam’ di sepanjang Malioboro, telah membuatnya mengenal arti dan makna kehidupan yang lebih luas, membuatnya lebih memahami arti keberagaman dan perbedaan, serta membuatnya mampu menghormati keanekaragaman budaya yang ada.

………………

Demikianlah, uraian dan gambaran sederhana yang bisa saya sampaikan tentang apa dan bagaimana geliat sastra di Yogyakarta era Umbu Landu Paranggi hingga kini.
Satu hal yang pasti, sejak era Umbu Landu Paranggi dan PSK hingga kini geliat sastra di Yogyakarta tak ada matinya. Sastra terus menggeliat. Terus membara. Terus menyala. Terus menunjam dalam.
Tabik. *(SUTIRMAN EKA ARDHANA)

* Sutirman Eka Ardhana, kini dipercaya sebagai Ketua Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena DIY.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *