Rabu , 11 Desember 2024
Saya, ketika siap-siap latihan menyanyi. (Ist)

Menyanyi, Membuat Hidup Tetap Indah

BETAPA indahnya di masa-masa usia yang sudah disebut Lansia [lanjut usia] ini, kesukaaan atau kegemaran menyanyi itu masih tetap ada. Tak sekadar ada, tapi telah menjadi semacam pengisi kesibukan hari-hari di usia yang tak lagi muda. Ya, kegemaran atau hobi menyanyi itu memang sudah saya miliki sejak muda, bahkan dapat juga disebut sejak kecil.  

Dulu kesukaan menyanyi itu tentu dengan alasan untuk mengembangkan bakat diri, menghibur diri sendiri dan orang lain, mengikuti trend masa remaja atau masa muda yang penuh kegembiraan. Pendek kata, demi mengikuti selera kehidupan di usia remaja. Demi populeritas diri. Apalagi seorang remaja atau orang muda ketika itu akan disebut sebagai remaja yang ketinggalan zaman, bila tak suka lagu, tak suka musik.

Tapi kini, di usia yang sudah Lansia, saat sudah berstatus sebagai nenek dari enam orang cucu, kesukaan menyanyi itu tak lagi karena alasan untuk populeritas diri, atau takut disebut ketinggalan zaman. Melainkan, kesukaan menyanyi itu untuk terapi agar dapat menjalani hari-hari di usia tua dengan penuh semangat, sehat, gembira dan bahagia.    

Kesukaan menyanyi di usia tua itu merupakan terapi untuk kesehatan. Menyanyi itu membuat hati senang, gembira dan bahagia. Hati yang senantiasa senang, gembira dan bahagia, bisa menjadi supleman agar tubuh tetap sehat. Tak sedikit yang bilang, kalau kesukaan menyanyi itu sebagai aktivitas ngrabuk nyawa. Ngrabuk nyawa atau memupuk nyawa itu diperlukan, agar tubuh tetap sehat, daya pikir tetap terjaga, dijauhkan dari kepikunan.

Kesukaan menyanyi di usia-usia tua ini, buat saya merupakan cara agar hidup tetap indah. Ya, di usia tua, hidup akan tetap terasa indah, bila tubuh kita menjalaninya dengan tubuh yang sehat.  

 

Belajar dari Keluarga

Kesukaan menyanyi yang saya miliki hingga kini, tak lepas dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari beragam warna kehidupan di keluarga. Saya bisa mengatakan begini, karena memang saya lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang menyukai dunia seni. Terutama seni tarik suara atau menyanyi dan musik. Dari keluarga yang menyukai seni itulah, saya mendapatkan banyak pelajaran yang berkaitan dengan seni menyanyi atau tarik suara, dan musik.

Seperti yang diceritakan Ibu, almarhum Kakek saya adalah seorang wiraswara atau sindhen kakung [penyanyi laki-laki] dalam musik tradisional Jawa. Kakek seorang pesindhen yang handal dan cukup dikenal di masanya. Vokal hebat dan merdu bila menyanyikan lagu-lagu tradisional Jawa di masanya dulu. Kemerduaan suaranya disukai para pecinta lagu-lagu tradisional Jawa kala itu, termasuk almarhumah Nenek. Konon, almarhumah Nenek dulu jatuh cinta kepada Kakek, karena terpesona dengan kemerduan suara Kakek.

Bila Kakek seorang wiraswara, Ayah saya seorang pemusik. Almarhum Ayah semasa hidupnya  menjadi seorang violis di Orkestra TNI AD. Selain itu juga sebagai pemain orkes keroncong. Pensiun dari TNI AD, tak membuat Ayah berhenti dari aktivitas bermusik. Ayah terus menggembangkan kemampuan bermusiknya, dengan secara khusus memilih musik keroncong sebagai pilihannya. Ayah menjadi pelatih orkes keroncong. Melatih vokal maupun melatih bagaimana cara menyanyikan lagu keroncong secara baik dan benar. Seingat saya, mereka yang belajar tentang musik keroncong kepada Ayah ketika itu lumayan banyak jumlahnya.  

Simak juga:  Menyanyi, Cara Indah Menikmati Hidup

Saya sesungguhnya juga murid dari Ayah. Tapi murid non-formal. Sebab, secara formal saya tidak terdaftar sebagai murid yang ikut belajar musik dan olah vokal. Tetapi hampir setiap waktu latihan, saya selalu menonton atau menyaksikannya. Saya simak dan perhatikan sungguh-sungguh, saat Ayah melatih musik dan vokal itu. Walau itu khusus musik keroncong, tapi pada dasarnya juga itu merupakan pelajaran berharga tentang dunia musik secara umum. Tanpa setahu Ayah, saya ikut berlatih. Apa yang dikatakan Ayah kepada murid-muridnya, sayan praktikkan diam-diam di rumah. Saya praktikkan tanpa setahu Ayah. Andaikan Ayah tahu, ia pun mengira saya sedang menyanyi biasa-biasa saja. Menyanyi di kamar mandi, atau di dalam kamar tidur. Ya, diam-diam saya belajar tentag teknik-teknik vokal atau cara bernyanyi yang baik. Cara menyanyi di nada yang tinggi, dan nada yang rendah, dan beragam hal lainnya yang berkaitan dengan cara menyanyi.

Akan halnya Ibu saya, juga memberikan andil yang besar dalam menumbuhkan kesukaan terhadap dunia menyayi dan musik itu. Ibu juga seorang pemusik, tapi seorang pemusik tradisional Jawa atau pemain gamelan. Saya memiliki kekaguman yang luar biasa kepada Ibu, terutama pada kesukaannya terhadap kesenian tradisional Jawa. Di usianya yang lanjut,  kesukaannya itu tak pernah surut. Meski dengan jalan tertatih, Ibu masih tetap aktif nggamel atau bermain gamelan di Kraton Yogyakarta.

 

Selendang Merah, Lagu Kenangan

Kalau ada yang bertanya, sejak kapan saya suka menyanyi. Jawabnya tentu, kesukaan menyanyi itu sudah muncul sejak kecil. Hanya saja intensitasnya terasa di sekitar tahun 1968, saat berusia 14 tahun. Ketika itu sedang bermunculan sejumlah penyanyi populer, di antaranya Lilis Suryani, Tetty Kadi, Ernie Djohan, Titik Sandhora, Laily Dimyati, Anita Tourisia, Christine, dan lainnya lagi.

Semua penyanyi yang populer kala itu saya sukai. Karena lagu-lagunya menarik dan mempesona. Namun terus terang, dari sekian banyak penyanyi itu, saya paling suka atau kagum  pada penyanyi Lilis Suryani. Ketika itu, saya pengagum berat Lilis Suryani.

Saya suka hampir semua lagu yang dinyanyikan Lilis Suryani. Seperti Tiga Malam, Air Mata, Curahan Hati, Kisah Cinta, Baju Loreng,  Gang Kelinci, Tamasya ke Tawangmangu, Suling Bambu, Hesty, dan lain-lainnya lagi. Sampai kini pun, dalam kesempatan bernyanyi, lagu-lagu dari Lilis Suryani itu masih sering saya nyanyikan. Terutama lagi Tiga Malam. Entah mengapa, lagu itu sepertinya begitu pas untuk saya nyanyikan.

Sesungguhnya, selain Lilis Suryani, dulu saya juga menyukai lagu-lagunya Anita Tourisia. Dulu, ya dulu, ada satu lagu dari Anita Tourisua yang sangat berkesan, judulnya Selendang Merah. Ah, ini lagu kenangan saya. Kenangan yang membekas sampai saat ini. Kenangan yang tak terlupa sampai kapan pun. Dulu, saya sering menyanyikannya. Tapi sekarang tidak. Karena, menyanyikannya lagi hanya membuat hati saya sedih. Oh iya, pernah di suatu kesempatan, saya mencoba menyanyikan lagu itu lagi. Tapi apa yang terjadi? Begitu menyanyi, suara saya tiba-tiba tersendat. Saya terisak. Ya, saya meneteskan air mata. Lagu itu membuat air mata saya kembali menetes.

Simak juga:  Kisah Menyanyi, Mulanya Malu-malu

Tapi, baiklah. Saya coba untuk menampilkan lirik lagu kenangan itu, walau terus terang hati saya terasa perih bila mengenangnya lagi.

 

 

Selendang Merah

 

Selendang warna merah
Kau berikan dulu padaku
Kini akan kupakai
Pada hari pertunanganmu

 

Ingat di saat itu
Selendang merah pengikat hati
Sebagai tanda mata
Sebelum kita berpisah
Kini kita bertemu
Kau bukan milikku lagi

 

Waktu aku melihat
Engkau tersenyum bahagia
Ingin menggantikan
Gadis yang duduk
Di sampingmu

 

Aku pulang dahulu
Sebelum selesai pestamu itu
Selendang merah itu
Pengusap air mataku
Akan kusimpan selalu
Sebagai kenangan hidupku

 …………….

 

Komunitas Melody

Di saat komunitas-komunitas tembang kenangan bermunculan di Yogyakarta, saya seperti menemukan lagi tempat untuk menyalurkan kesukaan menyanyi itu. Kemudian, sejak tahun 2016, saya tertarik untuk ikut komunitas tembang kenangan. Dan komunitas menyanyi yang pertama saya ikuti adalah Komunitas Melody yang bermarkas di Nyutran, Yogyakarta, yang dipimpin Pak Iman Santosa.

Pernah gabung juga di De Nada, tapi cuma sebentar. Sekarang lebih memfokuskan diri di grup tembang kenangan Pelangi, juga di LaNosta. Meskipun sudah fokus di Pelangi, tapi saya masih sering juga menyanyi bersama teman-teman di Melody, LaNosta, Nyidakso dan lainnya.

Grup Pelangi rutin tampil di Radio Swara Kenanga Jogja. Oleh karenanya, saya dan teman-teman sering tampil di radio yang memberikan ruang luas kepada komunitas-komunitas tembang kenangan untuk menyanyi di radio. Selain di Radio Swara Kenanga Jogja, saya juga pernah menyanyi bersama dalam acara BBM di Jogja TV, di Senandung Malam Pro 1 RRI Yogyakarta, dan Radio Arma Sebelas. Semasa menjadi PNS dulu, jauh sebelum terlibat di komunitas tembang kenangan, pada tahun 2002 saya juga pernah tampil menyanyi bersama grup Kolintang Pemda DIY, tampil bersama GKR Hemas.

Dengan tetap menyalurkan kesukaan menyanyi sampai pada usia yang tak lagi muda ini di Sanggar Melody, di komunitas Pelangi dan lainnya, saya merasakan adanya “melody yang indah” dalam kehidupan saya. *** [Rumijati]

 

***Hj. Rumijati, pensiunan PNS dari Kantor Pemda DIY, sekarang aktif di PKK RW dan PKK Kelurahan Surosutan. Nenek enam orang cucu ini bersama keluarga tinggal di Perumda Surosutan, Umbulharjo.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *