Jumat , 11 Oktober 2024
Menyanyi dan bermusik, dua hal yang membahagiakan. (Ist)

Menyanyi Itu Srawung

SILAKAN berkunjung ke kafe-kafe Yogya yang ada live-musicnya. Tren yang muncul  sepuluh tahun terakhir ini adalah entertainment dengan kibot tunggal tanpa home-singer. Pemain alat musik pencet atau yang lebih popular disebut player itu mengalunkan lagu-lagu minus one, dan kemudian para pengunjung, satu demi satu menyanyi dengan membayar Rp 6000-an per lagu. Kebanyakan para “penyanyi” itu adalah ibu rumahtangga.

Pengertian “kafe” sudah bergeser sekarang ini. Janganlah kita berumit-rumit pikiran membedakan antara kafe dengan pub, dengan coffee shop, dengan diskotek, dengan bar, dengan klab malam, dengan lounge, dengan supper-club  dan sebagainya. Peristilahan itu sudah buyar. Sudah ambyar. Warung bakmi  yang menyediakan sound system 300 watt dan mengundang seorang player yang memainkan Yamaha PSR 750 sudah bisa menyebut diri kafe. Emper rumah yang diberi lincak, gerobag angkring, dengan menu teh, kopi, jeruk atau wedang jahe plus mie instant, kemudian dikunjungi ibu-ibu yang menyanyi lagu nostalgia, atau campursari atau dangdut sambil mereka berjoget, adalah pemandangan jamak di tengah tren “kafe-kafe dadakan” yang belakangan ini mubal.

Menyanyi, adalah media srawung. Akhirnya saya menemukan terminologi ini. Dengan menyanyi  maka orang-orang mendapatkan teman.  Sehingga, sudahlah, jangan juga berumit-rumit pikiran tentang intonasi, vibrasi, artikulasi dan sebagainya. Lupa syair saat menyanyi pun nggak papa. Pokoknya : Nyanyi. Pokoknya : Pergi ke “kafe”. Nyanyi sambil selfie juga boleh. Nyanyi sambil merokok nggak dilarang.

Musik itu komunitas. Saya mulai sadar tentang ini ketika tiga dekade silam penggemar Iwan Fals membangun masyarakat falsmania yang luarbiasa besarnya. Ketika Kaka, Bimbim, Abdee, Ivanka, Ridho, juga berhasil menciptakan Slankers Community yang hebat sekali pengaruhnya sampai ke atribut anak muda. Contoh lain yang tak kalah heboh adalah Koes Plus. Tak terhitung berapa puluh juta jumlah anggota penggemar dan pelestari lagu-lagu Koes Plus, sampai-sampai 9 Januari diusulkan menjadi Hari Koes Plus Nasional. Berapa puluh juta pula pembela Soneta Groupnya Rhoma Irama? Dan di mana saja masyarakat pengenang Didi Kempot beredar di negeri ini? Bisa bikin geleng-geleng kepala jumlah fanatisi itu.

Musik adalah komunitas.Termasuk para pengikut tren “music kafe” di Yogya –yang kita bicarakan di awal tadi–  mereka membentuk kelompok demi kelompok, yang kemudian mewarnai peta permusikan Kota Budaya Yogya yang tak kalah hingar dibanding tren komunitas metal di kalangan anak muda tahun 80-an.

Grup-grup (yang sekali lagi didominasi para ibu rumahtangga) itu, menjadi pangsa pasar potensial bagi para pengusaha kedai musik dan player-player yang kemudian bermunculan . Jumlah player ini membiak seiring dengan meningkatnya tren nyanyi komunitas yang seolah tak terbendung. Sebagian dari para player itu –saya kenal– dulunya bukan pemain keyboard. Tapi karena tuntutan zaman mereka banting stir ke perkakas musik sintetis itu

Maka ,begitu mas Eka Ardhana bilang kepada saya hendak menulis buku ini, “Melody Itu Indah” dengan mengedepankan priyayi-priyayi yang terlibat di dalam permusikan Yogya, saya merasa perlu menyampaikan pandangan tentang kondisi musik Yogya sekarang yang harus saya surutkan periode demi periode ke belakang.

 

 

 

Setengah Abad Musik Yogya

TAHUN 1975 saya mulai tinggal di kota ini. Kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, coba-coba memasuki pelataran kesenian di Yogya dengan nonton Bengkel Teater latihan dari balik pagar rumah kediaman mas Willibrodus Surendra Rendra sampai akhirnya saya beruntung dipercaya menjadi Project Officer pentas Lysistrata karya Sopocles, ketika  Bengkel memanggungkannya di  Sporthall Kridosono tiga hari berturut-turut.

Saya menjadi wartawan Suratkabar Mingguan Minggu Pagi KR Group berangkat dari kesukaan saya pada kesenian itu.  Ndilalah, pijakan kewartawan saya adalah musik. Saya memulai karir jurnalistik saya dari menulis musik. Di samping cerpen dan novel. Untuk itu, sejak memantapkan diri menjadi pengamat  (musik) saya harus mengerti tentang musik. Dari diatonis major-minor sampai pentatonis slendro-pelog.   Dengan pengetahuan itulah, saya dipercaya menjadi juri menyanyi. Juri band. Juri musik akustik . Juri Pop Singer dan  BRTV DIY. Sempat dipercaya  memilih rock band terbaik versi Log Zhelebour bersama Ahmad Albar, Totok Tewel, Areng Widodo. Sempat beberapa kali menjuri bareng Bens Leo dan Mas Anton Issoedibyo, sempat menjuri paduan suara tingkat perguruan tinggi se Indonesia Timur.

Maka, berani saya mengatakan, saya benar-benar mengamati perjalanan musik Yogya sejak lama. Dari pertengahan dasawarsa 70 ketika Bram Makahekum membangun Kelompok Kampungan, dan Totok Tepoz gabung Reco Kodok, sebentar kemudian Angky Laurents, Mas Tjip dkk riuh rendah bersama grup Ambisi yang sangat popular, lalu Lugutz dkk membentuk Rolland, Sementara Momo, Dalin, Sabat dkk berasyik ria lewat Geronimo Band (saya sempat melibatkan mereka ketika menyelenggarakan Pop Singer Kedaulatan Rakyat dan dipuji Pak Eddy Sud yang tergopoh-gopoh terbang dari Jakarta lalu mendekati saya, “Lagu ciptaanmu apik, dik Arie…..”. Berkat Geronimo Band lagu karya saya memang tampil mempesona, hehehe…..).

Saya ikut mendukung Ebiet G Ade di awal karir penyair ‘alumnus’ Persada itu tampil di pentas Puisi Musik Musik Puisi Senisono pojok Malioboro. Saya bikin acara itu bersama Paseduluran Kawula Ragil. Lagu Camelia belum terekam ketika itu.

Simak juga:  Museum Seniman "Giri Sapto" Segera Terwujud

Pada dasawarsa 80-an di Yogya belum ngetren istilah “event organizer”. Tapi  bersama PKR (atau lewat Minggu Pagi KR Group) saya sudah menggelar pentas-pentas (kebanyakan musik) di Kridosono, Purna Budaya, Senisono atau lapangan Mandala Krida. Dari konsernya teman-teman Jackson Reccord (Vina Pandu, Inka Christy, Chrisye, Ikang Fawzy) sampai God Bless dan grup rock alternative Netral  (yang akhirnya berubah nama menjadi NTRL) di bawah bendera Jogja TV.

Tapi periode yang paling mengesankan adalah ketika rutin tiap tahun saya dipercaya menjadi Ketua Juri Festival Akustik Grup dari level Kecamatan Mergangsan sampai FAG se DIY dan Jateng enam tahun berturut-turut. Lewat kancah inilah saya mengenal lebih dekat Djaduk Ferianto, Butet Kertarajasa, Ambar Polah, Tommy Sumirah, Restu Agus Salim, Bimo Wiwohatmo, Indro Kimpling, dkk yang menjadikan pikiran saya mantap betapa Yogya adalah benar-benar kawah candradimuka, tempat penggodogan seniman (musik) yang kreatif. Yogya sejajar atau izinkanlah saya menilai : lebih dahsyat dibanding Bandung, Medan dan Malang dalam hal proses berkesenian para seniman dan artisnya. Deretan nama yang saya sebut di atas (Djaduk dkk) adalah cikal bakal permusikan Yogya yang “akar”nya luar biasa kokoh bahkan sampai ke level nasional.

Saya ikut berterimakasih pada sesama juri Festival Akustik Group yang sebagian kini telah wafat: Sapto Rahardjo, Yuwana Arifin, Mas Priyo Dwiarso, Pak Lestari Aman, Bu Nana Yuanto, Romo  Karl Edmund Prier dan lain-lain. Langsung atau tidak langsung, mereka amat berjasa membangun suasana “musik Yogya” yang menggelinding sangat dinamis selama hampir setengah abad ini. Yogya menurut saya, berbeda dengan kota-kota lain di negeri yang sangat musikal bernama Republik Indonesia.

 

Semangat, Belajar dan Profesionalisme

BERSAMA Didit Van Doning, sempat kami membangun LMI, Lembaga Musik Indonesia, dengan target antara lain menotasi musik-musik daerah dengan mendokumentasi alat-alat musik Nusantara yang ternyata, sistem nada dan pola ritme-nya tidak sekadar berbeda tapi secara hipotesis bergeser rapi dari Timur ke Barat. Misalnya, letak ketukan perkusi dari Aceh dan Sumatra secara keseluruhan, menuju gong Jawa dan  Bali, sampai pada pukulan tifa Papua, sangatlah menarik untukn diteliti. Juga tentang ambitus atau range vocal yang berbeda antara anak-anak Sunda, Jawa Tengah dan JawaTimur.

Kami sibuk dengan gagasan-gagasan yang aneh. Sampai-sampai sempat berkhayal tentang penyeragaman nada gamelan mengikuti pola diatonik A=360hz dengan swarantara yang teratur dari ji, ro, lu, mo, nem, pi supaya saron, demung, gender, bonang dsb bisa melagukan Indonesia Raya tanpa fals.  Mimpi kebablasen itu (untunglah) dipenggak oleh Mas Handung Kussudiarsana (Sapta Mandala) dengan kalimat Beliau yang masih saya ingat benar, “Mas Arie, gamelan itu bukan sekadar alat musik Jawa. Melainkan citarasa Jawa. Maka biarkan gamelan berbeda-beda.” Sebelum itu saya juga sempat nyuwun saran pada Pak Bagong Kussudiardja dan guru saya Pak Koesbini di SOSI.

Saya ceritakan ini, untuk mengenang betapa seriusnya kami, orang-orang masa lalu, mengamati musik dan kesenian pada umumnya waktu itu. Bagaimana Untung Basuki (Sanggar Bambu), Yoyok Aryo (Ki Bongol), Noor WA (Teater Jeprik) dan penyair Bambang Darto, latihan bareng di rumah saya di Kalasan. Bagaimana Nano Asmorodono dan Khocil Birowo saya ajak melatih pemuda-pemuda Kadirojo main ketoprak untuk pentas di TVRI dengan pengarah acara Bambang JP dan Iwung. Bagaimana saya ditemani Bondan Nusantara dan Ninda Kariza bercapek-capek menjadi juri beberapa kota di Jawa Tengah dalam rangka festival band prakarsa sebuah pabrik jelana jeans.  Lalu saya bersama Mas Tri Koesbini jadi juri dangdut di  sebuah tengah lapangan bola di Kota Magelang sambil pakai helm karena penonton hobi melempar barang ke panggung jika penyanyi atau pemainnya dianggap jelek.

Betapa dinamiknya masa lalu. Dan sebagian : unik. Saya pernah terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Artis Yogyakarta pada saat Parfi DIY “guncang”.  Saya pernah baca puisi di Wonosari bersama Mas Eka Ardhana, Arwan Tuti Artha, Linus Suryadi dan Emha Ainun Nadjib padahal saya bukan penyair. Saya pernah dua tahun menjadi produser di sebuah TV swasta, mengampu acara campursari, dangdut live, dan bikin 96 film pendek durasi 30 menit selama dua tahun berturut-turut tiap hari Senin, padahal sebelum itu saya tidak mengenal campursari, bukan pendengar musik dangdut dan belum berpengetahuan sebagai sutradara apalagi sutradara film. Tapi, tiga acara yang saya pegang di TV swasta itu, dalam survey AC Nielsen masuk peringkat 1, 4 dan 8 (dari 72 programa).

Saya menulis ini untuk menggambarkan bahwa semangat  dan belajar serta berlatih adalah modal yang besar,  jika panjenengan hendak terjun ke dunia kesenian. Jangan peduli pada bisa dan tidak bisa, pernah atau belum pernah maka kemudian panjenengan diam di tempat.

 

Antara Proses dan Hasil

DI PWI Jogjakarta saya pernah dua periode “memegang” Seksi Seni Budaya dan Film. Bersama my close friend  Mustofa W Hasyim.  Menurut saya, menjadi wartawan profesional itu harus menguasai teori dan bisa mempraktikkannya dengan mawas pasar. Maka saya ngangsu kawruh Komunikasi di Bulaksumur lewat program P4KJ di UGM yang bekerjasama dengan Departemen Penerangan waktu itu.  Lalu sempat mengajar di sebuah perguruan tinggi jurusan Komunikasi yang menghasilkan wartawan-wartawan tangguh yang menyebar di banyak kota dan sebagian lagi menjadi teman kerja saya di KR Group.

Simak juga:  Manusia Bukan Barang Jadi (9)

Karena pijakan kerja saya adalah wartawan musik, maka teori musik harus saya mengerti.

Alinea ini saya pakai untuk mengimbau teman-teman saya, saudara-saudara saya yang sekarang ini suka menyanyi, untuk : Belajarlah menyanyi  dengan baik (tanpa saya harus mengatakan mengertilah teori menyanyi atau teori musik). Karena setelah memiliki basic yang cukup itu –percayalah– hasil yang kita keluarkan (suara atau menyanyi itu) Insha Allah akan lebih maksimal.

Menjadi penyanyi professional tidak berarti harus berbayar tinggi (dari kegiatan menyanyinya). Saya bahkan tidak pernah mengaitkan kemampuan dengan bayaran. Bahkan antara kapabilitas dan output, acapkali saya tidak peduli. Profesionalisme dalam menyanyi menurut saya adalah beraktivitas menyanyi dengan dasar mengerti mana teknik dan pembawaan yang baik disesuaikan dengan materi yang diberikan Tuhan kepada kita (power, ambitus, timbre) di mana God Gives ini tidak akan pernah bisa ditawar.

Saya suka menulis novel (terakhir adalah Jonggrang dan Barongsai yang menurut penerbitnya : best seller) adalah akibat dari semangat dan kemauan belajar dan melatih diri itu. Videoklip saya Getaran Jiwa terpilih sebagai Pemenang Favorit Nasional  Senior Singing Contest, karena di usia 60 tahunan saya masih mau belajar menyanyi. Sekali lagi : Belajar. Dan saya tidak peduli ketika lebih dari sekali dua saya kalah dalam lomba tarik suara, atau memeroleh penghargaan (hanya ) sebagai pemenang harapan.  Tidak harus dikaitkan : antara semangat, pembelajaran dan latihan, serta teori dan pengalaman, dengan hasil apalagi dalam hasil versi lomba.

 

Menyanyi 10% Tarik Suara, 90% Curhat

SAYA bergabung di Sanggar Melody milik Mas Iman Santosa. Saya ikut Paguyuban Pecinta Lagu-Lagu Lama (P2L3) pimpinan Bu Rapiningsih. Saya menyatu dengan teman-teman Aneka Kreasi Seni Yogyakarta (AKSY). Saya terlibat dalam komunitas Jonggrang-nya Mbak Lily Hartanto. Saya sering latihan di Agita Sekar Musik di rumah Mas Ferry Wedomartani. Saya suka menyanyi bareng teman-teman sebaya di komunitas  Timbang Turu Sore Kotabaru. Saya masih berkomunikasi dalam satu wadah sesama alumnus Lomba Nyanyi Lansia Idola RS Pantirapih, dan juga alumni Lomba Nyanyi Red Corner. Dan saya “bahagia”  dalam srawung manyanyi  di mana-mana itu sejak saya dolan di rumah Pak Yoyok Baciro dan ketemu sahabat lama Mas Tri Koesbini  (putera ketiga komponis Koesbini) yang sudah lama menghilang dari kehidupan saya sejak kami berdua diundang ke Cilacap dan menjadi juri band di sana.

Saya berusaha mengenal tempat-tempat nyanyi di Kota Budaya yang unik ini. Grobuck, Imos, Ale, Langen Budoyo, Soeryogoeritan, Kedai Kopi Siantan, Bakmi Giwangan, Jenang Kafe-nya Mas Iswan, Arana, Sanggar Agit di Karanglo Kalasan, sampai di bawah pohon beringin Pakualaman di mana pak Kuncung bermain.Saya sangat empati dengan tempat-tempat usaha yang sebagian sudah kukut itu karena  saya pernah mengelola Javis Café di Timoho dan Javis Orner Café di Seturan (selama enam tahunan) sehingga cukup mengerti  betapa kontribusi hiburan (musik) dengan system open mic mengundang player kemudian menggeret komunitas nyanyi itu secara signifikan akan meningkatkan jumlah pengunjung yang jika dikelola dengan baik akan menguntungkan usaha kuliner dan  ujungnya menjingkatkan pariwisata Yogya.

Maka saya mendukung aktivitas kafe-kafe model baru dengan entertainment yang sekarang ini lagi ngetren.  Maka saya mau menyanyi ke sana ke mari terlepas dari hasil, apakah suara saya tidak disukai orang atau saya dianggap punya ciri khas sejelek apa pun suara saya.

Saya terus menyanyi, di samping karena saya sepakat pada pendapat panjenengan bahwa : Melodi itu (memang) indah.

Dengan menyanyi, betapa kita bisa melepas capek. Dengan menyanyi, sanggup kita terbang ke masa lalu yang kadang-kadang ngangeni.

Karena saya selalu berpikir bahwa  menyanyi itu (sesungguhnya) hanya 10 persen tarik suara dan 90% selebihnya adalah curhat. Maka menyanyilah jika perasaan panjenengan sedang sumpeg.

Dari pikiran-pikiran inilah saya menikmati tren yang sedang naik papan : Menyanyi adalah srawung, dan kemudian ikut tercebur di dalamnya. Ketika saya menyanyikan Sepanjang Jalan Kenangan ciptaan Mas Kelik A Riyanto sambil membiarkan sebagian angan terbang ke masa silam yang tak mungkin terulang.  Ketika saya membawakan Boullevard-nya Dan Byrd sambil berusaha memunguti kenangan yang tercecer dan sebagian besar lenyap. ***

 

 Yogyakarta, Tahun Baru 2022

   [Arie Sudibyo]

 

* Arie Sudibyo, sempat 30 tahunan lebih menggeluti dunia kewartawanan di sebuah surat kabar mingguan yang terbit di Yogya. Selama itu dia dikenal sebagai wartawan musik, yang berulang kali dipercaya menjadi juri dalam berbagai lomba musik di berbagai kota.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *