Rabu , 11 Desember 2024
Malioboro saat ini. (Ist)

Mencari Syahrini di Malioboro

MALIOBORO sudah berubah. Para pedagang dipindah ke Teras. Tadi pagi saya cari Syahrini, tidak ada lagi. Entah kemana.

Malioboro Gudeg Syahrini, (19-9-2019)

Lama juga saya tak bertandang ke Malioboro. Seruas jalan legendaris di kota Yogya yang kabarnya mengambil nama Duke of Marlborough atau rokok Marlboro, mana yang lebih duluan.

Buat saya, jalan ini terlalu ribut dan padat. I love human but I hate crowd. Frankly, ditengah tengah banyak orang, kadang kadang saya berpikir tentang Thanos dan teorinya untuk melestarikan sumber daya alam.

Di Malioboro, saya tak kuatir pada tukang copet atawa jambret, malahan kagum dengan mereka. Tukang copet bisa bergerak lembut atau sebat seperti pendekar taichi dan pandai memanfaatkan psikologi si korban. Orang yang plonga plongo atau ngah ngoh lebih mudah dicopet.

Saya juga lebih respek pada tukang copet daripada para koruptor. Secara konstitusional mereka lebih punya hak untuk jadi caleg, gubernur bahkan presiden. Entahlah sejak UU KPK ini. Mungkin mereka setara.

Kembali ke Malioboro. Saya sering puyeng melihat facadenya. An architectural riot ! Di jalan itu semua gaya arsitektur bercampur baur : Cina, Europa, Jawa, Arab, post mo, retro, dll. Mungkin ada yang suka karena eklektik, tetapi buat saya semua tanggung, palsu alias fake.

Pagi ini, jalan dari hotel ke Malioboro saya kaget melihat trotoirnya yang makin lebar dan rapi. Ada kesan DIY mau meniru Orchard Road di Singapore.

Tapi tak hanya DIY, banyak kota memperlebar trotoir, seperti DKI. Maklum, pada jaman reformasi ini, sukses pemda antara lain diukur dengan lebar trotoir dan kondisi gorong-gorong.

Sepanjang trotoir Malioboro, bisa diduga, bertaburanlah franchise atau chain resto : KFC, Starbucks, McDonald dll sedangkan resto resto jadul tampaknya makin tergusur.

Dulu ada warung Tionghoa di persimpangan Malioboro dengan sebuah gang, entah Dagen atau Sosrowijayan. Alm Ibuku—dropped out dari UGM tahun 1952—kalau ke Yogya selalu minta diantar kesana. Beliau ingat di dalam resto atau warung itu ada kursi rotan dan burung berkicau. Mie gorengnya enak. Masih adakah ?

Simak juga:  PASAR KEMBANG: Wajah Yogya yang Buram

Yang tampak mulai menghilang juga adalah resto-resto lesehan yang terkadang “ngepruk” alias memberi harga sak enak udelnya lantaran dikira semua turis dari Jakarta berduit. Resto resto lesehan itu sudah “ditertibkan” dan sebagian digusur.

Mungkin juga mereka punya alasan. Orang Jakarta memang pantas dikepruk : kaya, arogan dan lapar properti. Tiap kali blusukan ke pelosok DIY, supir kami—asli Bantul— dengan kesal bilang : “Hotel itu, tanah ini, gedung itu, resto ini …semua milik orang Jakarta!”

Bahkan ketika saya blusukan ke Gunung Kidul, dia bilang :” Pohon pohon jati itu juga milik orang Jakarta!”. Ketika melihati kuburan di Panggang, saya tanya agak sarkastis :”Kuburan itu isinya orang Jakarta atau milik orang Jakarta ?” Dia meringis. He didn’t trully appreciate my sarcastic humor. Baper.

Kemana Syahrini?
Tidak semua penjual makanan tradisional hilang. Kearah Beringharjo, penjual gudeg, pecal, angkringan dan gorengan masih banyak berkumpul.

Oh, bagi yang belum kenal gudeg.
Itu makanan khas Yogya terbuat dari nangka muda, rasanya manis. Lauknya telur direbus sampai keras, cukup keras untuk pengganti bola golf. Tempe tahu bacem, bahkan paha ayam rasanya juga manis, seperti kolak ayam.

Saya cari penjual gudeg langganan : Mbok Ngadinem di arah “ utara atau selatannya” hotel Mutiara. Mbuh, GPS wong Yogya masih tak beranjak jauh dari “ Lor -Kidul- Wetan-Kulon.” Kordinat Si Mbok rupanya sudah bergeser ngidul sithik.

Sekarang lapaknya terjepit diantara tiang dan toko yang sedang di rehab. Debu semen bertaburan disekitarnya. Rupanya dia pindah tempat.

Saya tanya:” Suka dengan trotoar baru, rapi kan?” Jawabnya mengejutkan : ”Mboten (tidak) pak, dulu memang acak acakan, parkir motor, tapi mereka juga cari makan, kebanyakan pegawai dan mahasiswa. Sekarang mereka menyebar ke kampung-kampung. Pendapatan para pedagang kaki lima—penjual makanan jadi turun.” Ah ? Jadi bukan nilai tukar dolar yang bikin income turun, tapi lebar trotoir!

Simak juga:  Yogya, Rindu dan Kenangan

“ Lha kan banyak uang, kabarnya umroh awal tahun ini malah ganti nama Ngadinem jadi Siti Rahmah?“ Si Mbok terkekeh, gigi tengahnya ompong di seperti gawang sepak bola saat jeda. Kedua gigi yang mengapit lubang, mirip tiang gawang juga bergoyang laiknya kena gempa 4.5 skala Richter.

Umrohnya dibiayai patungan oleh anaknya dan uang pensiun Pak Kirman, suaminya yang bekerja di Fakultas Peternakan UGM. Dosen? “Bukan, saya tukang mencari rumput untuk sapi-sapi.” Kata saya ironik :” Ohh, saya yakin sapi-sapi itu pasti kangen bapak”. Jawab Pak Kirman lakonik:”Ya, saya juga kangen mereka.” Bahan novel : Cintaku di Kandang Sapi.

Lanjut Mbok Ngadinem : “ Wah, dede Siti Rahmah mas, malah Syahrini sak niki”( Wah, bukan Siti Rahmah, malah sekarang Syahrini)”. Pedagang Arab kabarnya memanggil emak-emak (ibu-ibu bangsa) militan pemborong perhiasan dari nusantara : Syahrini. Benar kah?

“Lha turis kan makin banyak tho Mbok?” Jawabnya :” Halah turis mung mlaku mlaku tumbas Aqua karo roti, terus lungguh teng bangku, selpi selpi nopo niku (Halah turis cuma jalan jalan beli Aqua sama roti, terus duduk di bangku, selfie selfie apa gitu).” Beberapa orang turis lokal dan manca negara memang berselfie ria; meringis seperti idiot di bangku-bangku.

Obrolan kami terputus ketika dua orang berwajah Tionghoa ikut memesan bubur dan gudeg. Kakak beradik penjual kelontong itu ngobrol tentang keluarga. Mamahnya (88 th) yang sakit tua minta dibelikan bubur. Mereka sudah berkenalan selama 45 tahun. Yogya memang tidak terlalu rentan isu SARA.

Sepiring bubur gudeg, telur ayam, tahu-tempe bacem dan teh panas itu seharga Rp 20.000,- saya lebihkan sedikit untuk tip. “Nuwun mas,” kata Mbok Ngadinem alias Syahrini.

Jam 8 pagi, Malioboro mulai menggeliat, para pedagang membuka lapak, pejalan kaki berdatangan. Saya bergegas pergi. I told you, I love human but I hate crowd. * (Rusdian Lubis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *