Waktu masih di SR, saya sudah ikut grup band bocah di sekolah. Bersama grup band bocah di sekolah itu, saya sempat beberapa kali ikut siaran di RRI Yogyakarta. Seingat saya itu terjadi di sekitar tahun 1957, 1958 dan 1959. Bisa bermusik dalam acara anak-anak di RRI, sungguh sesuatu yang membahagiakan.
Betapa bangga dan bahagianya saya ketika itu. Bisa tampil siaran di radio saat itu, sungguh sesuatu yang membanggakan. Waktu itu Studio RRI Yogyakarta masih berlokasi di utara Alun-alun Utara, sebelah timur jalan.
Waktu itu saya sekolah di SR [SD] Keputran II. Kebetulan sekolah saya itu dikenal sebagai SR [SD] yang sangat memperhatikan Seni budaya, baik seni budaya tradisional maupun yang modern. Murid-murid tidak hanya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan seni tradisional seperti tarian-tarian klasik Jawa, tapi juga diberi kesempatan yang luas untuk membangun kesukaan terhadap seni modern, seperti halnya musik.
Pada awalnya saya sempat juga ikut berlatih tarian tradisional Jawa. Akan tetapi kemudian saya merasa belajar tarian Jawa itu merupakan sesuatu yang memberatkan. Rasanya saya tidak terlalu pas untuk ukuran atau standar menjadi seorang penari, apalagi penari tarian-tarian Jawa. Latihan tarian Jawa itu pun saya tinggalkan. Kemudian saya memilih untuk menekuni seni musik. Dan, saya pun menentukan pilihan untuk ikut latihan seni musik di sekolah. Ya, saya lebih tertarik menekuni musik.
Saat duduk di bangku SMP, aktivitas kesukaan dalam bermain musik menjadi meningkat. Jika waktu di SR, aktivitas bermusik lebih banyak di sekolah, ketika di SMP berpindah ke rumah. Saya tidak hanya bermain musik dalam klub saja, melainkan juga sering bermain gitar di rumah.
Ternyata Ibu sering memperhatikan ketika saya bermain gitar di rumah. Suatu hari, saat saya bermain gitar, diam-diam Ibu menyimaknya. Tanpa saya duga sebelumnya, tiba-tiba Ibu yang berada tak jauh nenyanyikan lagu yang musiknya sedang saya mainkan di gitar itu. Ternyata Ibu bisa menyanyikan lagu itu. Alunan suaranya pun sangat pas dengan dentingan gitar yang saya mainkan.
Bernyanyi Bersama Ibu
Sejak saat itu, saya sering latihan atau bermusik bersama Ibu. Saya memainkan gitar, dan Ibu yang menyanyi. Ou, betapa bahagia dan menyenangkannya kala itu, bisa bermain gitar mengiringi Ibu menyanyi. Terus terang, dalam pandangan saya, suara atau vokal Ibu dalam menyanyi cukup merdu. Ibu sepertinya menguasai bagaimana tehnik atau cara menyanyi secara benar dan baik.
Ibu pun kemudian bercerita, tentang masa mudanya yang suka menyanyi. Setiap ada acara seni di kampung, terutama ketika berlangsung perayaan peringatan HUT Kemerdekaan Agustus, Ibu dapat dipastikan tampil di acara tersebut. Ibu sering tampil menyanyi. Setelah meihat sendiri kemampuan Ibu dalam menyanyi, dan mendengar cerita pengalamannya menyanyi di masa muda, saya pun kemudian termotivasi untuk belajar bernyanyi.
“Apa? Ingin belajar menyanyi? Ingin bisa menyanyi?” tanya Ibu ketika keinginan belajar menyanyi itu saya kemukakan.
“Ya, Bu. Kan sangat pas, bisa bermain gitar atau bermain musik, juga bisa menyanyi,” kata saya mencoba meyakinkan Ibu.
“Baiklah, Ibu setuju. Tapi ada satu hal yang harus diingat, kalau kamu ingin belajar bernyanyi, maka sifat pemalumu harus dihilangkan. Ya, bagaimana seseorang bisa menyanyi dengan baik, kalau dia seorang pemalu. Melu disaksikan orang lain,” kata Ibu kemudian.
Demikianlah, saya mencoba melakukan apa yang diinginkan Ibu. Menyingkirkan rasa malu untuk menyanyi. Terasa aneh memang. Waktu itu saya bisa bisa bermain gitar, bisa bermain musik, bisa mengiring orang lain menyanyi, tetapi menyanyi sendiri kok tidak berani. Tetapi hal itu ternyata tidak mudah dilakukan. Tetap saja saya belum bisa menghilangkan rasa malu untuk tampil menyanyi. Sehingga bila ada kesempatan pentas, saya hanya bermain dalam grup musik saja dan tidak menyanyi, walau teman-teman di grup mendorong agar ikut menyanyi.
Ibu yang mengetahui hal itu, kemudian semakin sering mengajak saya menyanyi bersama di rumah. Awalnya dimulai dengan menyanyi duet, yakni menyanyi bersama dengan suara yang berbeda, tetapi serasi, senada dan seirama. Setelah itu mulai menyanyi sendiri. “Semestinya kamu bisa menyanyi, lho. Suaramu juga tidak jelek. Nah, mulai sekarang kamu tidak hanya bermain musik, tapi juga harus bernyanyi,” kata Ibu ketika itu.
Menyanyi bersama Ibu itu sungguh sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang indah. Sesuatu yang membahagiakan. Sungguh, itu kenangan indah yang tak bisa saya lupakan sampai hari ini.
Akhirnya, Saya Bisa Menyanyi
Kata-kata Ibu itu sungguh mujarab. Kata-kata Ibu itu sungguh telah mendorong atau memberikan support kepada saya untuk tidak hanya bermain musik saja, tetapi juga menyanyi. Kata-kata Ibu pun menjadi penyemangat. Dan, keberanian itu pun saya tumbuhkan. Kemudian saya mencoba menyanyi sambil memegang gitar.
Akhirnya, saya merasakan bahwa saya bisa menyanyi sambil bermain gitar. Begitulah yang sering lakukan, kalau ada acara musik, menyanyi sambil bermain gitar. Jadi kala itu, bila tidak memegang atau memainkan gitar, saya seakan tidak bisa menyanyi. Tapi terlepas dari apa pun, kata-kata Ibu itu menjadi pendorong yang dahsyat, sehingga saya bisa menyanyi.
Ketika itu sempat ada kebimbangan, kalau ada acara pentas atau bermain musik, mau menyanyi sambil memainkan gitar atau menyanyi tanpa memainkan gitar. Tapi kebimbangan itu saya coba untuk disingkirkan. Saya berusaha untuk bisa menyanyi dengan baik, sambil bermain gitar yang baik pula. Keduanya harus saya lakukan secara seimbang. Walau semula ada teman di grup musik yang menyatakan menyanyi sambil memainkan alat musik itu bisa membuat tidak fokus. Saya kemudian berusaha membuktikan bahwa pendapat seperti itu tidak sepenuhnya benar. Tergantung pada orangnya juga. Kalau semua dilakukan secara profesional, kenapa tidak bisa. Dan, saya pun berusaha keras untuk membuktikannya. Akhirnya, saya bisa melakukannya. Bermain gitar, gitar bas, sambil menyanyi.
Di masa itu, ya di masa bermain musik bersama teman-teman, saya memang merasakan, bermain musik itu banyak mendapatkan penghargaan sosial dari lingkungan, dibanding dengan menyanyi. Sehingga pada awal-awalnya, secara tidak langsung membawa saya ke arah lebih memilih bermain musik saja dari pada menyanyi. Tapi karena saya dianggap oleh teman-teman di grup musik, bahwa saya bisa menyanyi dengan baik, maka akhirnya saya tetap sering diberi kesempatan menyanyi seraya memainkan gitar.
Nikmati Pensiun dengan Menyanyi
Tapi kemudian, berbekal pengalaman bermusik di atas panggung, di sejumlah pentas musik dan lainnya, saya merasakan menjadi penyanyi itu jauh lebih menyenangkan dibanding pemusik. Ha, kenapa begitu? Penyanyi itu kalau habis menyanyi, apalagi bila lagu yang dinyanyikan lagu yang digemari banyak orang, akan mendapat sambutan tepuk tangan dari yang menyaksikan atau penonton. Hal semacam itu kemudian menginspirasi saya untuk mencoba menyanyi diiringi pemusik lainnya.
Terlebih di usia-usia tua seperti sekarang ini, ketika hobi menyanyi itu masih tetap saya jaga atau terus kembangkan, sepertinya jauh merasa senang dan nyaman bila menyanyi diiringi pemusik lainnya. Ya, saya menikmati masa-masa pensiun, menjalani hari-hari di usia yang tak lagi muda ini dengan tetap menyanyi di berbagai kelompok atau komunitas menyanyi.
Kesukaan menyanyi yang dulu didorong oleh almarhumah Ibu itu, terus saya nikmati sampai kini. Saya sering menyanyi di sejumlah komunitas menyanyi, atau grup penyuka tembang kenangan. Di antaranya, saya sering menyanyi di komunitas atau Sanggar Melody, diiringi player Mas Iman Santosa. Sejak awal kemunculan Sanggar Melody, saya sudah ikut menyanyi. Bahkan tak jarang pula, saya diminta untuk mengiringi anggota sanggar yang ingin menyanyi.
Jujur saya katakan banyak manfaat yang saya dapatkan dengan bergabung di sejumlah grupm atau komunitas menyanyi. Salah satu di antaranya, saya menjadi tidak canggung bergaul dengan teman-teman, baik di dalam lingkungan teman yang suka menyanyi maupun yang tidak atau belum suka menyanyi. Sehingga apa yang dirasakan ini adalah sebuah kenyataan bahwa dengan menyanyi,saya menjadi orang yang tidak canggung di dalam bergaul dengan siapa pun. Manfaat lainnya, menyanyi itu membuat jiwa saya menjadi segar. Menyanyi itu membuat saya senang dan gembira. Membuat bahagia. *** [Djoko Purwanto]
*** Drs. H. Djoko Purwanto, lahir di Yogyakarta pada 13 Juli 1951. Pensiunan Kepala Sekolah salah satu SMK di DIY kini sibuk dengan aktivitasnya sebagai asesor akreditasi SMK, bermain musik dan menyanyi. Bersama istrinya, drg. Restu Indah N, MPH, ia kini tinggal di Modinan, Banyuraden, Gamping, Sleman.