Sabtu , 20 April 2024
ttps://henrygrimes.com https://timeoutbengaluru.net https://vastico.com https://businessnextday.world https://austinlimousineservice.com https://greentruckgrocery.com https://reddstewart.com https://mycashbacksurveys.com https://rebelvps.com https://cms-bg.org https://posekretu.net https://allcastiron.com https://la-carpet-mattress-cleaning.com https://handjobvideo.org https://laveilleuse.org https://cornishduck.com" https://insidestopandshop.us https://hounslow-escorts.com https://slowfoodindy.com https://yourtoonz.com https://pistolsm2020.org https://abcerotik.de https://carmengagliano.com https://arquidiocesiscali.org https://soundtrackmusicfestival.com https://handplanegoodness.com https://tandembar.net https://marineshelpingmarines.org https://humidifiermentor.com https://cabarethotspot.com https://cocos2d-objc.org https://smartbudsthrives.com https://westhollywoodlifestyle.com https://rwshomeservicecontracts.com https://stars-cash.com https://thesacredspirit.net https://worldheritagephl.org https://bestbodybuildingsupps.com https://kourtney-daily.com https://alcc-research.com https://janpac.com https://suprematextilonline.com https://aqualifestyle-france.com https://aubergedechabanettes.com https://www.jpier.org/amp/joker123/ http://154.90.49.213/ https://66.42.60.79/ https://94.176.182.83/ https://31.222.229.226/ https://ihumpedyourhummer.com https://iamhist.org https://ajustbrewcoffee.org https://top-bookmark.info https://abdelkawy.info https://autoinsuranceq.info https://bandieredipace.org https://paramoredigital.com https://camdenstreetarttours.com https://alexwilltravel.com https://mynameisdonald.com https://consiglionazionalegeologi.it https://addadileonardo.it https://SomersetBadminton.org.uk https://ebusinessbrief.com https://vlcshortcuts.com https://SunInvent.net https://nike-roshe-run.net/ slot gacor
Beranda » Humaniora » Catatan Budaya Awal Tahun 2022: Hentakan Asyik Denny JA & Hadiah Nobel

Catatan Budaya Awal Tahun 2022: Hentakan Asyik Denny JA & Hadiah Nobel

Empat Hal Penting

 
SEBELUM membahas hentakan paling asyik di awal tahun 2022, mari kita tanya pada seluruh pengarang Indonesia: apakah hadiah Nobel itu penting?

Di banyak kepala pengarang Indonesia, hadiah Nobel untuk kesusastraan dunia  adalah sebuah kemustahilan. Hil mustahal alias absurd. Ia adalah semacam dewa dari dunia awung-awung yang dipenuhi 73 bidadari: dunia yang mungkin baru bisa dicapai setelah mati.

Ketahuilah Lur, sejak Pramoedya Ananta Toer dahulu kala dikabarkan pernah beberapa kali menjadi kandidat kuat (dan kita tahu bahwa faktanya Pramoedya tidak benar-benar bernasib mujur untuk mendapatkannya); maka sejak itulah “Hadiah Nobel” hilang dari percakapan jagat pengarang Indonesia.

Dia tak lagi jadi omongan penting. Ada ya syukur, nggak ada juga gak apa-apa. Seperti sufi, bersikap pasrah. Semacam penganut aliran qodariyah mutlak, terserah takdir. Orang Jawa bilang: nrimo ing pandum (terima nasib).

Kalaupun ada yang berani-beraninya tanya, kenapa sih Anda tidak mau pro-aktif untuk mengejar hadiah Nobel? Bukankah syaratnya mudah? Tinggal banyak berkarya, banyak menerbitkan buku, terjemahkan seluruh buku-buku terbitkannya ke dalam bahasa Inggris (sebab panitia Nobel hanya akan menilai buku-buku yang bahasanya mereka pahami)?

Lalu anda aktif dalam sebuah pergerakkan yang memperjuangkan satu ideologi, aktif dalam pergaulan internasional, aktif melakukan diplomasi budaya dan membangun banyak jaringan, dan lain-lain dan lain-lain?

Silahkan tebak Lur, kira-kira jawaban mereka apa? Kalau menurut penerawangan ghaib saya sih, kira-kira jawabannya ada dua wilayah.

Satu, wilayah pengarang yang saleh dan rendah hati, maka belio-belio pasti akan menjawab: “Yaaah, kita sih hanya bisa nunggu, siapa tahu ada keajaiban, siapa tahu ada pihak asing yang tertarik dengan karya-karya kita, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, lalu menjadi best-seller di seluruh dunia (dan syukur-syukur menjadi perbincangan hingga akhirat). Kita mah sebagai pengarang yang sabar, hanya bisa nunggu mukjizat…”

Ehm. Sedangkan pada wilayah kedua, yakni bagi para  pengarang yang merasa agak hebat serta sedikit jumawa, maka belio-belio kemungkinan besar akan menjawab: “Heh?!? Apa? Nobel?  Emang gue pikirin…”

Sang Legenda Pramudya sudah terlanjur meninggal dunia, dan para pengarang era setelahnya, tak ada lagi yang berupaya untuk membicarakan, apalagi bekerja keras secara sangat serius, untuk memancarkan dirinya agar karya-karyanya, dan segala macam kiprahnya, “terdengar” oleh panitia Nobel nun jauh di Swedia sana.

Terdengar, tercium, terbaca, lalu terundang dan layak dicatat sebagai kandidat. Beberapa pengarang besar yang dianggap “layak Nobel” oleh para pemirsa kesusastraan Indonesia, memang terlihat pada beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

Tapi  sekali lagi, itu pun tidak berdasarkan upaya pro-aktif yang sungguh-sungguh dengan menerjemahkan seluruh karya-karyanya. Mereka rata-rata juga hanya menunggu. Menunggu ketertarikan orang asing untuk menerjemahkannya. Siapa tahu ada pembaca luar yang tertarik. Siapa tahu ada penerbit luar yang sudi menerbitkannya. Siapa tahu…

Dengan mental semacam ini, maka para pengarang Indonesia sejatinya memang tak pernah menganggap bahwa hadiah Nobel adalah sesuatu yang serius. Ia boleh ada dan boleh tidak ada. Ia bukan menjadi bagian penting dari perbincangan dunia kesusastraan Indonesia: ada nama pengarang Indonesia yang masuk ya syukur, tidak ada pun tak apa-apa.

Hadiah Nobel pelan-pelan telah menjelma sebuah utopia—sesuatu yang sangat jauh jarak jangkauanya.

Maka wajar jika tak ada satu pun pengarang Indonesia yang ngotot berjuang bertungkus-lumus, melakukan berbagai manuver dan upaya gigih dan keras, melengkapi seluruh persyaratan Nobel yang telah diketahuinya secara bersama-sama, untuk berperang di luar sana dan menaklukannya.

*

Di tengah alur santai dan tenang, di mana setiap pengarang Indonesia selalu asyik-asyik saja, tak pernah terusik aliran sungai Nobel Swedia yang tetap rutin mengalir jauh di dunia sana, ee lhadhalah, kok tiba-tiba….  Ada selentingan kabar. Bahwa Denny JA, seorang tokoh yang dianggap telah memorak-porandakan tatanan kesusastraan Indonesia lewat gerakan puisi esainya, masuk sebagai kandidat!

Maka meledaklah seluruh ketenangan para pemirsa yang selama berpuluh tahun tak pernah peduli itu, menjadi satu kepedulian serentak yang tiba-tiba.

Keanehan, kekagetan, keriuhan, dan kemarahan. Ada banyak reaksi ujug-ujug  (reaksi tiba-tiba) yang wilayahnya juga bisa dibagi dua. Pertama, adalah wilayah yang tetap cuek dan menganggap bahwa “jika ada nama orang Indonesia masuk ya syukur, kalaupun tidak ada ya gak apa-apa”.

Simak juga:  DENNY JA: Para Penulis, Dari Aceh Hingga Papua, Berhimpunlah!

Dan kedua, wilayah yang kemudian terpancing emosi “mendadak penting”,  dengan segala bentuk ekses kebencian yang mereka tunjukkan.

Wilayah kedua inilah yang paling menarik untuk dituliskan. Sebab di wilayah ini serentak muncul para hero dengan manuver-manuver kisah yang menegangkan yang ditumpahkan secara awut-awutan di media-media sosial: seram, dan penuh ketegangan.

Ada yang teriak siapa sih Denny JA? gue kok gak kenal ya? (padahal ia sebetulnya tahu dengan persis siapa Denny JA, tapi supaya dianggap hebat maka berlakulah pura-pura tidak tahu).

Ada yang mengatakan dengan lantang sambil menyodorkan data  bahwa itu semua adalah hoax:
 
“Adalah tidak mungkin panitia Nobel sebegitu naifnya menerima begitu saja pendaftaran nama yang tidak layak. Itu pasti hoax. ”

“Hei sodara, kelean semoanyah, emang kelean mau… menjadi kandidat Nobel? Caranya gampang, nih gue kasih linknya, tinggal daftarin aja nama sendiri. Bebas kok, semua orang bisa daftar.“

“Itu Si Denny JA kan cuman daftar. Kelean semoanyah juga bisa daftar. Ngapain sih diributin? Gitu  aja kok repot.”

“Anda-Anda ini mbok yang cerdas dikit gitu loh. Hadiah Nobel itu ada mekanismenya, dan itu tidak sembarangan. Oke, katakanlah bahwa ada nama kuat yang diusulkan oleh sebuah lembaga berpengaruh di kawasan Asia.”

“Bulan Desember data masuk, nama-nama kemudian dicatat, tapi setelah itu ada verifikasi yang cukup ketat untuk menelisik deretan nama itu sebelum ditetapkan sebagai nomine. Pencatatan data terjadi di bulan Desember, verifikasi data di akhir Januari, proses pemilihan nomine di bulan April, penetapan nama-nama nomine di bulan Mei, barulah setelah itu (mereka yang sah dianggap nomine) diperiksa seluruh kelayakannya (termasuk dipelajari kembali seluruh karya serta sepak terjangnya).

Di bulan Juli, dan bulan-bulan setelahnya (Agustus, September, Oktober, November) masih ada proses panjang dan berjenjang sebelum benar-benar nama tersebut diumumkan sebagai kandidat di bulan Desember tahun 2022.

Lah, Anda-Anda itu gimana sih cara mikirnya? Ini baru bulan Desember tahun 2021, dan kalian sudah pada ribut gak ketulungan.”
 
Para pihak yang berpendapat bahwa Denny JA telah menyodorkan fakta hoax, atau fakta bukan hoax tapi prosesnya masih sangat jauh dan berliku, jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan para pihak yang langsung menyerang dan menggempur Denny JA dengan beragam cacian dan makian langsung ke jantung pribadi.

Ada yang bilang Denny JA tukang ngayal, ada yang teriak dasar megalomania, ada yang menjulukinya bahlul-picik-licik, bahkan ada yang bilang Denny JA bajingan.

Nun. Di panggung yang lokasinya agak tinggian dikit, para penyerang pribadi Denny JA kembali ramai-ramai menurunkan salah satu tulisan dari seorang pengarang yang dianggap penting di Indonesia, yang mengatakan bahwa puisi esai yang dicetuskan oleh Denny JA adalah sampah.

Mereka, para penyerang  yang sama-sama setuju dengan pikiran bahwa puisi esai itu adalah sampah, mungkin geram dan semakin geram dengan seluruh gerakkan Denny JA yang dianggapnya makin merajalela dalam memasyarakatkan puisi esai.

Tidak hanya lewat karya-karya Denny JA yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku (puluhan buku puisi, yang semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan dilabeli secara tegas sebagai “puisi esai”); akan tetapi dengan seluruh gerakkan Denny JA dalam kaitannya  dengan genre puisi esai yang dipeloporinya.

Beragam lomba dan kompetisi puisi esai dengan hadiah puluhan juta, pendanaan secara masif pada setiap penerbitan buku puisi esai yang ditulis oleh para penyair, lomba penulisan artikel ilmiah untuk para guru Bahasa dan Sastra Indonesia dengan topik serta kajian puisi esai, pedokumentasian video berbagai pementasan puisi esai, pembuatan film-film pendek dari adaptasi puisi esai, pementasan drama panggung berdasarkan puisi esai, serta serbuan beragam pola turunan puisi esai yang membombardir halaman digital di internet.

Bahkan, gerakkan masif yang merambah hingga ke tingkat Asia Tenggara, dengan dibentuknya komunitas puisi esai di berbagai negara. 

Orang ini, Denny JA, seperti semburan api yang terus membakar, merangsek dan pantang mundur. Ia menolak  padam meskipun digempur beragam caci dan ribuan makian.

Simak juga:  Menyanyi, Terapi untuk Perpanjang Usia

Orang ini, Denny JA, tetap teguh dan terus meyakini bahwa genre puisi esai yang dipeloporinya adalah sesuatu yang besar di masa depan, yang patut  dan layak diperjuangkan dengan apa pun harga pengorbanan.

Orang ini, Denny JA, memang ngeyel.

Nah, Lur, jika Sampeyan sekarang tanya, apakah saya sebagai pengarang setuju jika “Orang Ini” (Denny JA) dicalonkan sebagai kandidat peraih Nobel? Opini pasti beragam. Pasti ada banyak yang menyatakan bahwa masih banyak pengarang Indonesia yang lebih layak dinobatkan sebagai kandidat peraih Nobel.

Akan tetapi jika panitia Nobel kemudian mempertimbangkan (serta membaca dalam bahasa yang mereka pahami), puluhan buku-buku puisi esai Denny JA yang telah diterjemahkan ke dalam  bahasa Inggris, dan mendengar serta menelisik bahwa gerakkan Denny JA dalam memperjuangkan puisi esai di negara asalnya mendapat tantangan yang sedemikian keras, bahkan dimusuhi, dihinakan, dan dianggap sampah; lalu dengan pertimbangan ini kemudian Denny JA dianggap layak dinominekan, apakah saya punya kekuatan untuk menolak?

Apakah kemudian saya akan mengatakan bahwa panitia Nobel itu tersesat, termanipulasi? Tentu saja tidak.

*

Ada empat hal penting, mengapa saya katakan tidak. Empat hal ini yang tidak dilihat sastrawan kebanyakan, tapi justru menjadi kunci daya pikat Denny JA di mata panitia nobel.

Itu sebabnya secara khusus panitia nobel mengundang komunitas puisi esai untuk dunia sastra Indonesia. Ingat, Lur, beritanya: bukan Denny JA tanpa ujug-ujug dicalonkan, tapi komunitas puisi esai yang diundang oleh The Swedish Academy, panitia nobel, untuk mencalonkan.

Ini empat hal penting dari Denny JA.

Pertama, Denny JA berikhtiar menciptakan sesuatu yang baru dalam dunia sastra. Ini genre baru puisi esai.

Terlepas pro dan kontra soal ini, tapi faktanya puisi esai kini masuk sebagai kata baru kamus besar bahasa Indonesia. Puisi esai juga meluas melampaui batas negara sang pencetusnya di Indonesia. Komunitas puisi ASEAN terbentuk dan aktif.

Mereka kini memiliki website yang keren. Lebih dari 150 buku puisi esai sudah terbit. Apakah ada di indonesia komunitas sastra lain di luar puisi esai, dengan genre baru, yang sudah melahirkan lebih dari 150 buku?

Kedua, Denny JA menyuarakan isu hak asasi manusia di negara muslim terbesar dunia: Indonesia. Terlepas corak sastranya, ada yang suka atau yang tidak, tapi tak ada yang bisa membantah pesan sosial yang kental dalam puisi esai Denny JA.

Ia lugas mengkisahkan isu diskriminasi dalam buku Atas Nama Cinta (2012). Tak hanya isu diskriminasi atas agama dan ras, tapi juga isu LGBT.

Isu anti diskriminasi itu tergambar tak hanya dalam banyak karya sastranya. Itu juga tergambar dari esai dan gerakan sosialnya.

Bahkan Denny JA memecahkan rekor dunia Guiness Book of World Record soal pendidikan politik terbesar di dunia. Itu ketika, ia mensosialisasikan kembali Pancasila ke seluruh Indonesia, dalam rangka Indonesia yang beragam, tanpa diskriminasi.

Ketiga, banyak orang bisa memperdebatkan kualitas sastra Denny JA. Tapi orang tak bisa memperdebatkan begitu banyak karya yang sudah ditulis Denny JA.

Lihatlah daftar bibiliografinya yang juga menjadi berita. Mulai dari buku, film, video, Denny JA sudah mempublikasikan sekitar 300 karya. Semua karya itu dapat dicek dan ada linknya di internet.

Dari 300 karya itu, sudah 200 karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Setidaknya, sudah ada substitle bahasa Inggris jika karyanya dalam bentuk film dan video.

Penulis mana yang berkarya sebanyak Denny JA di masa kini? Karyanya pun sudah pula mendapatkan penghargaan nasional dan internasional.

Keempat, yang juga akan menjadi daya tarik panitia Nobel, Denny JA berasal dari kawasan Asia Tenggara. Selama 120 tahun hadiah nobel sastra diberikan, kawasan ini belum pernah memenangkan hadiah nobel.

Ini akan menjadi point penting agar Nobel Sastra tak dianggap tak memperhatikan kekayaan budaya Asia Tenggara.

Mereka yang ribut-ribut dan celetuk sana- sini soal Denny JA, silahkan renungkan empat hal di atas. Saat itulah kita akan memahami mengapa setelah legenda Pramoedya Ananta Toer, kini Denny JA yang menjadi calon hadiah nobel sastra yang seksi dari Indonesia.* (Joni Ariadinata)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *