Di Masa pandemi Covid-19, kondisi yang sepi di angkringan memang saya sukai. Kalau angkringannya penuh pengunjung, saya pasti mengurungkan diri untuk singgah.
Ketika sedang asyik menikmati segarnya teh gula batu dicampuri irisan jeruk, tiba-tiba saya dikejutkan dengan sapaan, “Selamat sore, Prof.”
Saya menoleh ke samping kiri, ke arah datangnya sapaan itu. Seorang lelaki sebaya saya, menganggukkan muka dan tersenyum, kemudian duduk di samping. Dari dialah sapaan itu datang.
“Sudah lama, Prof?” sapanya lagi.
“Barusan saja,” jawab saya, walau sebenarnya tak nyaman dengan sapaan yang diembel-embeli sebutan profesor itu.
Prof? Profesor? Hahaa.
Profesor Angkringan
Lelaki yang duduk di samping itu, setiap kali bertemu di angkringan memang selalu menyapa saya dengan sebutan prof. Bahkan seringkali juga disebutnya secara lengkap, profesor.
Beberapa waktu sebelumnya, dalam perbincangan di angkringan juga, saya pernah menjelaskan perihal sebutan profesor itu.
“Ah, saya bukan apa-apa. Saya hanya sekadar guru di kampus, bukan profesor,” kata saya.
“Ah, Bapak sukanya merendah. Kalau bukan profesor lantas apa? Kemarin Bapak bilang usianya sudah 68 tahun hampir 69 tahun. Nah, cuma profesor yang masih mengajar di kampus dalam usia 68 dan 69 tahun. Betulkan, Pak?” ujarnya.
“Kalau profesor dari universitas angkringan, ya memang bisa dibenarkan….. hahaa,” jawab saya sambil tertawa.
Selintas apa yang dikatakannya memang benar. Dosen biasa bergelar apa pun kecuali profesor akan pensiun dari mengajar di usia 65 tahun. Sedangkan profesor baru pensiun di usia 70 tahun. Barangkali dia beranggapan seperti itu, sehingga mengira saya seorang profesor karena masih mengajar di usia hampir 69 tahun.
Perihal sebutan profesor itu sempat saya ceritakan juga pada seorang teman, yang juga berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di Yogya.
“Kenapa risau dipanggil profesor. Profesor itu pekerjaannya mengajar mahasiswa, memberi kuliah kepada mahasiswa. Pekerjaan yang sama dengan kita. Kita juga kan mengajar mahasiswa. Dan, di luar negeri tak sedikit universitas yang menyebut dosen-dosennya dengan sebutan profesor,” kata teman yang dosen itu.
“Sudah Prof, jangan risau,” tambahnya sambil tertawa. Saya pun tertawa.
Anugerah Luar Biasa
Saya bersyukur, sungguh bersyukur, di usia hampir 69 tahun masih dipercaya mengajar di perguruan tinggi. Ya, menjadi dosen di salah satu universitas negeri terpandang.
Dulu, sewaktu pendidikan saya hancur-hancuran, berpindah dari satu kampus ke kampus lainnya, tak pernah terbayangkan jika kelak akan jadi pengajar di kampus. Ya, dulu saya tak pernah berangan-angan menjadi dosen. Tak pernah bermimpi berdiri di depan kelas, mengajar atau berbagi ilmu kepada mahasiswa. Karena saya sadar, saya ini apalah. Tak ada apa-apanya.
Tapi, perjalanan hidup memang selalu tak terduga. Seringkali terasa lucu, dan penuh kejutan. Sesuatu yang tak diduga, tiba-tiba berada di depan mata. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan, tiba-tiba menjadi kenyataan.
Nah, demikianlah. Singkat cerita, saya dipercaya mengajar di perguruan tinggi. Dipercaya dan diberi tanggung jawab untuk menjadi dosen. Dipercaya untuk berbagi ilmu kepada mahasiswa.
Dengan mengaca pada kemampuan diri, dipercaya menjadi dosen, bagi saya sungguh merupakan suatu anugerah yang tak terhingga. Apalagi ketika masih dipercaya mengajar di usia hampir 69 tahun, sungguh, ya sungguh, buat saya itu adalah anugerah yang sangat luar biasa. Sungguh
Usia Tak Boleh Sore
“Sudah semakin sore, Prof. Sebentar lagi Maghrib dan malam. Saya duluan ya,” suaranya membuyarkan keterdiaman saya.
Saya mengangguk, mempersilakannya.
Ya, hari memang sudah semakin sore, dan sebentar lagi malam. Waktunya untuk pulang, dan istirahat.
Eh, berdasarkan pengalaman mengajar selama ini, dengan sejumlah keterkejutan yang ada, saya pun berpikir hari boleh menjadi sore atau malam, tapi tidak untuk mengajar. Tak ada kata sore dan malam untuk aktivitas mengajar, dan usia tua.
Ya, usia boleh tua, tapi usia tak boleh menjadi sore dan malam. Karena bila sudah sore, kemudian malam, yang terbayang adalah waktu untuk istirahat dan tidur.
“Selamat sore, Prof. Selamat menjelang malam. Tapi jangan buru-buru istirahat dan tidur,” tiba-tiba saya berharap, nanti kalau ketemu lagi dengan lelaki teman di angkringan itu, ia akan berkata begini. *** (Sutirman Eka Ardhana)