Sedikit mengingat kembali pada masa awal-awal pandemi Covid-19, kebijakan WHO selaku organisasi kesehatan dunia terkait pemutusan rantai penyebaran virus melalui physical dan social distancing menarik untuk dianalisis. Kita tahu bahwa dalam bentuk peribadatan sosial keagamaan keberadaan fisik sangat penting. Semua ritual keagaamaan harus ditiadakan dalam sementara waktu. Walaupun memang berlaku tidak hanya dalam kegiatan keagamaan, transaksi ekonomi, komunikasi sosial, kegiatan politik, kegiatan kesenian, semuanya dalam kebijakan yang sama.Yang membedakan adalah sebab agama menjadi sangat sensitif.
Lalu munculah kebijakan susulan untuk melakukan semua pekerjaan dari rumah atau kediaman masing-masing. “Work from home” istilah yang dikampanyekan Pemerintah agar warganegaranya terputus dari rantai penyebaran Covid-19. Kebijakan yang juga saya rasakan sebagai mahasiswa di tanah rantau.
Solusi yang ditawarkan adalah digitalisasi setiap aspek kehidupan. Pertemuan-pertemuan ditiadakan dan beralih pada dunia virtual. Dalam aspek keagamaan, kajian-kajian yang bisaanya dihadiri ribuan orang kini hanya boleh dilakukan melalui platform media yang kemudian disebarluaskan untuk diakses melalui internet. Inovasi yang banyak dilakukan oleh para mubaligh dalam agama Islam, juga agama lainnya.
Berangkat dari pengalaman pribadi penulis, dalam masa-masa sulit ini kita bisa merasakan sesuatu yang sebelumnya kita abaikan. Kesehatan dan masalah sanitasi menjadi luput hingga kita menyadarinya. Dan mengenai berdiam diri di rumah, rupanya rumah menjadi tempat untuk kembali.
Dalam situasi dimana semua rencana berantakan, target-target melenceng, dan harapan yang menjadi semakin jauh dicapai, mendasari banyak orang untuk melakukan pengorbanan. Nilai-nilai kemanusiaan yang lahir atas dasar penderitaan yang sama membuat manusia sebagai makhluk sosial semakin peduli terhadap lingkungannya. Setidaknya, meski melalui keegoisan yang panjang.
Banyak Pengorbanan
Melihat sesuattu yang dekat dengan kita membuat kita sadar bahwa banyak pengorbanan yang sedang berlangsung. Ibu yang sudah sibuk ditambah dengan urusan sekolah anaknya yang harus belajar dari rumah. Ayah yang otaknya bekerja semakin keras memutar strategi agar tetap berpenghasilan. Adik yang harus berdiam diri dan menahan rasa ingin bermainnya dengan anak-anak lain. Tukang ojek yang harus kehilangan pendapatannya karena sepinya penumpang, tukang angkot yang serupa. Pedagang di pasar yang harus merelakan sebagian omset dagangannya karena orang-orang memilih berdiam di rumah, dan segala pengorbanan yang nampak sulit namun tetap terjadi.
Di balik kesusahan ada kemudahan, mungkin itu pepatah yang cocok digunakan untuk menambah semangat dalam menjalani masa-masa pandemi ini. Begitu pula keyakinan kita selaku umat beragama. Pandemi tentu mengandung hikmah, paling tidak dalam waktu sekitar berbulan-bulan lamanya ini banyak kita habiskan bersama keluarga. Berkumpul selayaknya kebiasaan yang sulit kita temui seperti perayaan hari raya keagamaan yang bisa dihitung jari.
Bagaimana Pandemi Covid-19 telah mengubah kita sebagai manusia? Atau setidaknya, apa pengaruh perlambatan irama hidup, terganggunya laju roda kapitalisme, serta beralihnya urgensi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Masa berdiam di rumah memberikan kita kesempatan untuk mengenal rumah kita, termasuk segala hal yang terkait di dalamnya. Bagaimana mengenal penghuni dari rumah yang kita singgahi dengan cara yang lebih baik.
Kini kita memiliki waktu untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya sempat tertunda atas alasan-alasan yang kita benarkan. Bahkan kita diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Mengenal diri sendiri dan sudah menjadi manusia yang seperti apakah selama ini, misalnya.
Lalu kepadaTuhan, pandemi ini menjadi perjalanan spiritual bagi banyak hamba. Tentang kecongkakan akan dunia yang sudah digenggam, tentang sesuatu yang luput dari penglihatan namun mematikan, tentang ketidakmungkinan yang kemudian menjadi mungkin. Jika tidak berlaku bagi semua insan mungkin cukup berlaku bagi saya, bahwa semuanya bergantung pada kehendak pencipta. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin semakin benar, dan bahwa saya dan segala yang saya miliki tidak ada apa-apanya.
Alam membuka mata yang buta, memekakkan telinga yang tuli, dan seraya berucap bahwa sudah terlalu jauh perjalananmu dalam persimpangan. Kini saatnya kembali, kembali memaknai hidup dan kehidupan. Atas segala ibadahmu dan kesombonganmu yang beriringan tidak akan abadi. Dan hal menyakitkan yang benar adalah tentang hidup dan mati yang hanya berbatas tipis.
Melalui tamparan dari sesuatu yang sempat kita abaikan, memunculkan kesadaran baru bahwa pentingnya hidup sehat dan bersih lahir batin. Diantara derita dan kecemasan, munculah benih-benih penerang. Kesadaran masyarakat meningkat dan gerakan kepedulian sosial umat sejagat kian kuat. Kian kuat setidaknya menurut penulis. *** [Dewi Sinta Nuriyah]
*Dewi Sinta Nuriyah, perempuan yang hobinya mendengarkan suara air ini berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Sekarang ia sedang menuntut ilmu di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.