Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan bahwa buku ini buku hebat. Dalam pengertian buku ini telah menghadirkan sesuatu yang hebat, penuh daya tarik atau penuh pesona. Disebut hebat, karena buku ini telah menghadirkan bahasan atau perbincangan tentang Ratu Kidul dalam tafsir baru. Ratu Kidul yang oleh sebagian masyarakat Jawa selama ini dipandang sebagai “sang penguasa Laut Selatan” itu telah dihadirkan oleh Ki Juru Bangunjiwa dalam tafsir kekinian atau tafsir milenial.
Judul buku ini saja menggoda, karena bisa menghadirkan dua tafsir. Tafsir pertama, buku ini memang secara khusus menghadirkan bahasan tentang sosok Ratu Kidul dalam pemahaman di era milenial sekarang. Tafsir kedua, dari judul itu bisa terlihat kalau buku ini mencoba memberikan pemahaman tentang apa dan siapa Ratu Kidul itu kepada kaum milenial. Dengan harapan tentunya, agar kaum muda atau kaum milenial tertarik untuk mengetahui apa dan siapa gerangan Ratu Kidul tersebut.
Telaah Logis Rasional
Untuk memahami isi suatu buku, atau mengetahui apa sesungguhnya yang disampaikan oleh buku tersebut kepada khalayak pembacanya, maka cobalah simak dulu bagaimana pengantar dari penulisnya. Biasanya sang penulis sudah mencoba mempengaruhi atau mempesona pembacanya dengan memberikan gambaran tentang seberapa jauh daya tarik yang ada di buku itu. Bila gambaran isi buku yang diberikan sang penulis itu mampu menarik perhatian atau mempengaruhi calon pembacanya, maka buku itu pun akan dibaca sampai tuntas.
Pada alinea pertama “Sekapur Sirih dari Penulis” atau kata pengantarnya, Ki Juru Bangunjiwa sudah menjelaskan bahwa berbicara mengenai Ratu Pantai Selatan yang dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul atau Nyai Rara Kidul atau pun Rara Kidul ternyata sangat asyik dan menarik. Dasar ilmiah dari masalah yang mengemuka bukanlah sesuatu fakta yang kelihatan nyata. Tetapi yang ada adalah sebuah legenda yang sudah ada semenjak Keraton Mataram mulai ada. Atau bahkan jauh sebelum itu. Ratu Pantai Selatan atau The Queen of South ini bukan monopoli Yogyakarta saja. Di beberapa negara kepulauan juga ada.
Di alinea kedua “sekapur sirih”nya, Ki Juru Bangunjiwa menggoda dengan tanya yang menggelitik. Mari kita simak berikut ini.
“Lalu bagaimana itu dihubungkan dengan situasi sekarang ketika kebijakan. Pemda Yogyakarta menjadikan Laut Selatan sebagai halaman depan Yogyakarta pada abad samudera dan milenial ini. Bagaimana pemahaman masyarakat Jawa terhadap Laut Selatan umumnya dan Kanjeng Ratu Kidul khususnya. Hal ini akan mempengaruhi sepak terjang masyarakat Yogyakarta dalam mengembangkan Yogyakarta dengan semangat “Among Tani Dagang Layar“.
Lalu, di aliena ketiga “sekapur sirih”nya, Ki Juru Bangunjiwa memperjelas gagasan, pesan dan hal yang ingin disampaikannya. Cobalah simak.
“Inilah menariknya. Oleh karena itulah saya mencoba membuat telaah secara logis rasional, meskipun tidak meninggalkan yang irasional lantaran hal ini sangat kental dalam budaya Jawa. Bahkan lebih dari itu, pemahaman akan Ratu Kidul sangat berkaitan dengan paham Jawa tentang agama Jawa, dan sebuah tataran dalam laku Jawa. Oleh karena itulah penulisan tentang Ratu Pantai Selatan ini sangatlah bersinggungan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan filosofi Jawa, agama Jawa dan cara pandang Jawa, bahkan tentang cara berpikir Jawa. Saya mencoba dalam bahasa Jawa ‘Nglari nalar nalurinipun para leluhur‘, melacak cara berpikir leluhur Jawa.”
Ajaran Kehidupan Jawa
Dari membaca buku ini, saya memahaminya bahwa Ki Juru Bangunjiwa tidak hanya sebatas menyajikan pemahaman tentang Ratu Kidul dalam tafsir kekinian, tapi juga menyampaikan tentang ajaran kehidupan Jawa.
Jawa dalam pemahaman saya, tidaklah hanya sebatas nama atau sebutan untuk suatu etnis, yakni suku Jawa. Tetapi, beragam hal tentang Jawa, termasuk di dalamnya keyakinan atau kepercayaan, pemahaman serta penafsiran terhadap eksistensi Ratu Kidul itu juga bisa bisa disebut sebagai suatu ajaran kehidupan.
Ki Juru Bangunjiwa lewat bahasannya tentang Ratu Kidul tersebut juga mencoba menghadirkan banyak hal mengenai ajaran kehidupan Jawa itu. Seperti hal-hal yang berkaitan dengan filsafat, budaya, seni, religi, tingkah laku, norma-norma serta pandangan kehidupan.
Walau tidak secara lengkap dan detail, tapi buku ini mencoba menghadirkan beragam ilmu atau pengetahuan yang semuanya terangkum di dalam “wewarah Jawa”.
Perlu dipahami, bahwa ajaran kehidupan Jawa itu selalu menekankan pada perlunya sikap, tata krama, unggah-ungguh atau sopan santun dalam berinteraksi dengan orang lain.
Demikianlah, buku karya Ki Juru Bangunjiwa ini tidak hanya mengajak kita untuk mencoba memahami eksistensi Ratu Kidul dalam perspektif kekinian atau tafsir milenial semata. Tapi juga telah membawa kita untuk kembali membangunkan kesadaran atau pencerahan baru tentang ajaran kehidupan Jawa, dengan beragam hal dan beragam seluk-beluk di dalamnya.
Di era milenial ini, kita memang harus membangun diri dengan terus menggelorakan semangat untuk menjalani kehidupan sesuai tuntutan kekinian. Kita harus terus mengasah pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan baru.
Mari kita jaga tradisi yang ada di dalam kultur bangsa melalui pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan baru tersebut. Mari. * (Sutirman Eka Ardhana)