Kamis , 14 November 2024
Ilustrasi pixabay

Manajemen Radio dari Masa ke Masa

PROSES pengelolaan stasiun pemancar radio atau Stasiun Radio dimulai tahun 1920, ketika Frank Conrad membuat Stasiun Radio bernama KDKA di kota Pittsburg, Amerika Serikat. Jadi inilah Stasiun Radio tertua di dunia.
Kapan negeri kita mulai mengenal Stasiun Radio serta proses pengelolaanya? Jarak waktunya dengan kemunculan dan perkembangan pemancar atau Stasiun Radio di AS tidaklah terlalu lama untuk ukuran kemajuan teknologi di era itu.

Beberapa tahun kemudian teknologi pemancar radio itu pun berkembang di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Diawali dengan kemunculan Radio NIROM yang merupakan saluran siaran Pemerintah Kolonial Belanda.
Tak lama setelah kehadiran NIROM, lahir pula beberapa Stasiun Radio yang didirikan atau dikelola oleh pihak-pihak di luar institusi Pemerintah Kolonial Belanda. Di antaranya, SRV (Solose Radiovereniging) yang berdiri di Solo pada 1 April 1933. Kemudian, MAVRO (Mataramse Vereniging voor Radio Oemroep) berdiri 22 Februari 1934 di Yogyakarta. Disusul VORO (Vereniging Oosterse Radio Oemroep) berdiri 8 April 1934 di Jakarta. Lalu, VORL (Vereniging Oosterse Radio Luisteraars) berdiri 30 April 1934 di Bandung. Dan, CIRVO (Chineese en Inheemse Radioluisteraars Vereniging Oost Java) pada 1935 di Surabaya.

Stasiun-stasiu Radio ini oleh Pemerintah Kolonial Belanda kala itu dikelompokkan dengan nama Radio Ketimuran.
Pada tahun 1937, Pemerintah Kolonial Belanda berniat akan menyatukan pengelolaan Radio-radio Ketimuran itu di bawah kendali manajemen NIROM. Rencana NIROM untuk memenej Stasiun-stasiu Radio Ketimuran dikarenakan khawatir Radio-radio tersebut menggelorakan dan menyebarkan semangat kebangsaan menuju Indonesia merdeka.
Rencana NIROM itu ditentang oleh tokoh-tokoh kebangsaann, terutama mereka yang duduk di Volksraad.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana Pemerintah Hindia Belanda itu, Stasiun-stasiun Radio Ketimuran bersatu dan sepakat membentuk organisasi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Rencana yang dimulai sejak 28 Maret 1937 itu membuahkan hasil, Pemerintah Hindia Belanda tidak jadi menetapkan NIROM mengelola Radio-radio Ketimuran. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyerahkan kebijakan penanganan atau pengelolaan Radio-radio Ketimuran itu kepada PPRK.

 

Masa Awal Kemerdekaan
Di masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), Stasiun-stasiun Radio Ketimuran berhenti mengudara. Pemerintah Pendudukan Jepang menyatukan Radio-radio Ketimuran itu dalam Stasiun Radio yang mereka bentuk, yakni Hosokyoku.

Siaran Hosokyoku lebih banyak mengudarakan informasi yang berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, para tokoh pekerja Hosokyoku yang ada pada sejumlah kota di Jawa mengadakan pertemuan merencanakan langkah-langkah kelanjutan Stasiun Radio.

Simak juga:  Temu Ilmiah WINNER 2020 Libatkan Sektor Swasta

Pertemuan berlangsung pada tanggal 11 September 1945 di Jakarta. Peserta pertemuan yang berasal dari delapan Stasiun Hosokyoku, yakni Hosokyoku Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Surakarta, Malang, Surabaya dan Purwokerto itu sepakat membentuk atau mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI).
Meski dinyatakan terbentuk pada 11 September 1945, tapi secara resmi diakui sebagai bagian dari institusi atau Jawatan Pemerintah pada 1 April 1946.

Sejak kemunculan RRI di awal kemerdekaan itulah, secara nasional mulai ada proses pengelolaan dan penataan tatanan kerja Stasiun Radio secara lebih profesional. Semenjak dinyatakan sebagai bagian dari Institusi atau Jawatan Pemerintah, maka proses dan mekanisme Manajemen Radio diberlakukan secara nasional pada Stasiun-stasiun RRI yang ada.

Ketika Yogyakarta menjadi Ibukota RI, Stasiun RRI Yogyakarta berperan sebagai Stasiun RRI Pusat. Dan, sebagai Stasiun RRI Pusat manajemen siaran ketika itu ditata dengan mengutamakan langkah-langkah: (1). Melakukan siaran-siaran Nasional, ditujukan untuk seluruh Indonesia. (2). Melakukan siaran-siaran lokal, khusus untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya. (3). Melakukan siaran-siaran perjuangan Jawa Barat yang masih hangat oleh pemberontakan. (4). Melakukan siaran-siaran Luar Negeri. (Lihat: RRI Nusantara II Yogyakarta Bergulat dalam Karya, 1985).

Selain RRI, di tahun-tahun awal kemerdekaan, yakni 1945 sampai 1949 di sejumlah kota terutama di Jawa terdapat juga studio Radio-radio Amatir. Siaran Radio-radio Amatir ini lepas dari wewenang dan tanggung jawab Pemerintah.

Karena ada Radio-radio Amatir yang siarannya merongrong kebijakan-kebijakan Pemerintah di awal-awal kemerdekaan itu, maka Pemerintah RI kemudian mengambil kebijakan melarang keberadaan Radio-radio Amatir tersebut. Larangan itu diberlakukan mulai tahun 1950. Larangan itu diperkuat lagi dengan adanya UU No. 5 Tahun 1964 tentang larangan pemancar radio tanpa izin.

Tetapi di tahun 1967, melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1967, Pemerintah mengizinkan adanya Radio Amatir. Kemudian diperkuat lagi dengan PP No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah.
Maka mulai tahun 1967 bermunculanlah Radio-radio Amatir di berbagai kota di Indonesia, terutama di Jawa. Manajemen Radio-radio Amatir itu dikelola oleh pihak-pihak di luar institusi Pemerintah. Radio-radio Amatir itulah yang sekarang ini dikenal dengan sebutan sebagai Radio Siaran Swasta Nasional.

 

Manajemen Siaran si Era Orde Baru
Di era Orde Baru (1967 – 1998), Pemerintah melalui Departemen Penerangan melaksanakan sejumlah kebijakan terhadap Siaran Radio. Pemerintah melakukan kebijakan Manajemen Siaran hanya RRI yang berhak dan memiliki wewenang memproduksi Siaran Berita.

Simak juga:  Herlina Kasim Si Pending Emas: Bersyukur Menjadi Wartawan

Di era Orde Baru, Radio-radio swasta (Radio Siaran Swasta Nasional) dilarang atau tidak diperbolehkan memproduksi siaran berita sendiri. Kebijakan larangan membuat siaran berita sendiri, merupakan upaya Pemerintah Orde Baru dalam mengantisipasi munculnya siaran-siaran berita yang tidak sesuai dengan langkah dan kebijakan Pemerintah.

Meski tidak diperbolehkan memproduksi siaran berita sendiri, namun setiap Radio Siaran Swasta Nasional diharuskan merelay siaran berita dari RRI. Ketika itu ada keharusan merelay atau memancarkan suara berita dari RRI sebanyak enam kali dalam sehari semalam.

Kebijakan larangan membuat siaran berita dan kewajiban merelay siaran berita dari RRI tersebut dilakukan oleh semua Radio Siaran Swasta Nasional tanpa terkecuali. Bila ada Radio yang tidak memenuhi ketentuan itu, sudah dapat dipastikan sanksinya pencabutan izin siaran, atau pemberhentian Radio tersebut.

 

Pasca Orde Baru
Ketika era Orde Baru berakhir di tahun 1998, dan berganti era reformasi, manajemen kebijakan terhadap siaran radio pun berubah.
Jika sebelumnya Radio Siaran Swasta Nasional dilarang memproduksi siaran berita sendiri, dan diharuskan merelay siaran berita dari RRI, larangan dan kewajiban itu kemudian dicabut.

Radio-radio Siaran Swasta Nasional diizinkan untuk memproduksi siaran berita sendiri, dan kebijakan merelay siaran berita dari RRI diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan para pengelola stasiun-stasiun radio swasta nasional itu sendiri.

Dengan adanya ketentuan yang membebaskan Radio Siaran Swasta Nasional untuk memproduksi siaran berita sendiri, maka mulai tahun 1999 terjadilah perubahan-perubahan dalam proses manajemen pengelolaan siaran radio.

Bila sebelumnya di Radio-radio Siaran Swasta Nasional tersebut tidak ada Bagian Pemberitaan atau Devisi Pemberitaan, mulai tahun 1999 secara bertahap di masing-masing radio swasta tersebut membentuk Bagian Pemberitaan.

Dengan adanya Bagian Pemberitaan, maka dalam manajemen kerja pada radio-radio siaran swasta nasional berlangsung pula mekanisme pengelolaan kerja jurnalistik. Dan, mulai saat itu, berlangsung pula manajemen pengelolaan terhadap kerja redaktur dan reporter atau wartawan.

Bila sebelumnya yang punya wartawan itu hanya RRI, di era reformasi sejumlah Radio-radio Siaran Swasta Nasional pun memiliki wartawan. Dan itu berlangsung hingga kini. * (Sutirman Eka Ardhana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *