Aspek politik yang menjadi pertimbangan dalam menentukan arah atau format pengelolaan (manajemen) media massa itu ditentukan oleh tiga alasan atau pertimbangan.
Ketiga pertimbangan itu meliputi:
(1). Alasan fungsi dan peran politik media massa.
(2). Kepentingan politik yang ingin dicapai.
(3). Alasan peraturan hukum dan politik hukum yang berlaku.
Ada dua fungsi media massa yang berperan dalam aspek politik, yakni fungsi mendidik dan fungsi kontrol sosial.
Fungsi mendidik yang dimiliki media massa memiliki kemampuan memberikan pengetahuan dan pemahaman baru kepada masyarakat. Dengan fungsi mendidik ini media massa bisa melakukan perubahan sosial di masyarakat. Fungsi ini membuat media massa memiliki kemampuan dan kekuatan merubah perilaku masyarakat, termasuk perilaku politik.
Seringkali terjadi, dalam momen-momen politik di suatu negara, misalnya Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah dan lainnya, publik atau masyarakat dalam menentukan pilihan atau sikap politiknya terpengaruh oleh apa yang dikemukakan media massa.
Demikian pula fungsi sebagai kontrol sosial, juga memiliki kemampuan dalam mempengaruhi atau merubah perilaku politik masyarakat. Publik yang percaya kepada apa yang dikemukakan media massa, seringkali menganggap dan percaya apa yang dikemukakan media massa itu sebagai sesuatu yang benar. Jadi, ketika media massa melakukan kontrol sosial atau mengkritik sesuatu kebijakan, publik memandangnya itu sebagai langkah yang benar.
Dengan fungsi mendidik itulah media massa bisa melakukan peran politiknya dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Kepentingan Politik
Selera dan kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik, sangat menentukan isi dan cara penyampaian media massa ke masyarakat.
Sejak awal media massa memang sudah punya kepentingan politik, tapi baru sebatas kepentingan politik pasar atau politik bisnis. Misal, sejak awal kemunculannya media massa, ketika itu koran (surat kabar) hanya ditujukan kepada kalangan tertentu, yakni orang-orang terpandang, terdidik dan kaya (mapan). Karena kalangan yang seperti itu bisa membeli koran.
Pada awal kemunculannya, koran hanya memusatkan perhatiannya kepada kalangan yang memiliki status sosial tinggi di masyarakat. Karena secara politik bisnis, kalangan terpandang, terdidik dan kaya itu yang bisa memberikan kontribusi secara bisnis. Jadi, pada awalnya, koran tidak ditujukan sebagai bacaan massa.
Baru di abad ke-19, media berkembang atau berubah menjadi bacaan massa. Media massa (waktu itu media massa cetak) mengembangkan pasar ke masyarakat umum secara luas, tidak lagi hanya mengkhususkan kepada kalangan yang berstatus sosial tinggi saja.
Mulai saat itu media massa mulai menggunakan masyarakat sebagai ajang kepentingan-kepentingan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik.
Bila sebelumnya politik media hanya berkisar pada kepentingan politik pasar atau politik bisnis dalam meraih kesuksesan secara bisnis, sekarang merambah ke dalam politik kekuasaan.
Dewasa ini terlihat nyata bagaimana media massa ikut memainkan politik medianya untuk ikut terlibat di dalam politik kekuasaan. Media massa mulai memandang bahwa politik kekuasaan juga akan memberikan dampak yang signifikan bagi keberhasilan dalam mencapai tujuan, atau kesuksesan bisnis media.
Karena itu dalam beberapa kali momen politik, terlihat nyata bagaimana media massa bermain dan terlibat di dalam politik kekuasaan itu. Media massa yang punya target-target dalam politik kekuasaan itu tanpa ragu dan sungkan lagi memperlihatkan keberpihakan secara politik kepada pihak-pihak tertentu.
Pengaruh Politik Hukum
Setiap negara punya politik hukum. Politik Hukum suatu negara dengan negara lainnya tidak selalu sama. Politik hukum adalah kebijakan suatu pemerintahan atau negara dalam menegakkan hukum dan perundang-undangan.
Kebebasan media massa dalam meraih atau mencapai kepentingan-kepentingan politiknya, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik, sangat tergantung kepada politik hukum yang diberlakukan.
Misalnya, media massa di Indonesia dalam mencapai kepentingan-kepentingan bisnis dan politik itu sangat tergantung dengan bagaimana wajah dan warna politik hukum yang ada di Indonesia.
Bila negara memberlakukan ‘kebebasan pers yang semu’, membatasi gerak dan kebebasan media massa, maka media massa akan mengalami hambatan dalam meraih target dan tujuan sesuai kepentingan-kepentingan yang ingin dicapainya.
Di masa Orde Baru misalnya, politik hukum kekuasaan ketika itu memberlakukan ketentuan ‘pers bebas dan bertanggung jawab’. Sebutan ‘pers bebas’ tentu melegakan, karena merupakan suatu prinsip yang didambakan media pers atau media massa. Akan tetapi sebutan ‘bebas dan bertanggung jawab’ itu memiliki tekanan arti bahwa pers harus punya tanggung jawab untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan atau yang diinginkan kekuasaan. Sebaliknya media pers atau media massa harus menghindari menyampaikan informasi yang dipandang tidak sesuai dengan kebijakan kekuasaan, mencela kebijakan kekuasaan, dan semacamnya.
Fungsi sebagai alat kontrol sosial tak berjalan sebagaimana mana mestinya. Situasi seperti itu mengalami perubahan setelah era Orde Baru berakhir, dan berganti dengan era reformasi.
Tapi di negara-negara yang memberikan kebebasan kepada pers atau media massa untuk melaksanakan peran dan fungsi idealnya, maka peluang media massa untuk meraih kesuksesan dalam mencapai kepentingan-kepentingan bisnis dan politiknya sangatlah besar.
UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan UU No. 32 Tentang Penyiaran, terlihat jelas memberikan ruang yang luas dan bebas kepada media massa dalam melaksanakan fungsi dan peran idealnya, terutama dalam mencapai keberhasilan kepentingan bisnis dan kepentingan politiknya.
Demikianlah, media massa tidak saja bisa menjadi saluran informasi tentang politik, menjadi ajang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, tetapi juga bisa ‘bermain’ untuk ‘memanfaatkan’ politik. * (Sutirman Eka Ardhana)