Perang lima tahun itu telah menyebabkan Belanda kehabisan akal, menguras tenaga, keuangan pemerintah dan nyaris membuat Belanda jatuh bangkrut.
Hal itu membuat Belanda terpaksa ‘menjual’ tanah yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan – Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang Kabupaten Subang di Jawa Barat.
Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang ‘dijual’ (digadaikan) kepada swasta untuk menutup kekurangan keuangan negara.
Selain dengan menggadaikan tanah untuk menutupi anggaran, Belanda pun berusaha menutupi kebangkrutan anggaran dengan cara sistim tanam paksa, atau yang disebut Cultuurstelsel.
Cultuurstelsel (secara harfiah diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) atau disebut sebagai Sistem Tanam Paksa.
Tanam paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 setelah ditangkapnya Diponegoro dan perang Jawa berakhir.
Peraturan yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, rempah-rempah, dan lain-lain.
Hasil tanaman ini harus diserahkan kepada pemerintah kolonial dan dijual dengan harga yang sudah ditentukan. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun – kebun milik pemerintah kolonial yang menjadi semacam pajak. Pada praktiknya peraturan itu diingkari oleh Belanda, karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Tanah yang dijadikan praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Hingga akibatnya warga tidak sempat menggarap sawahnya sendiri dengan tanaman pokok padi, dan bahaya kelaparan pun melanda di mana-mana.
Era Paling Kejam
Tanam paksa adalah era paling kejam dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC, karena sasaran pemasukan dan penerimaan negara hanya untuk pemerintah kolonial, sementara warga tidak mendapat apa-apa. Akibat sistem tanam paksa, warga tak sempat menggarap sawah, pertanian untuk menanam padi. Pada akhirnya singkong menjadi makanan pokok sehari-hari, dan berkreatifitas dengan aneka makanan yg berbahan pokok singkong (ubi kayu).
Sebenarnya soal makanan pokok singkong itu sudah ada sejak perang Diponegoro, mengingat lokasi gerilya Pangeran Diponegoro di hutan-hutan di pegunungan Serayu Selatan, yang tidak memungkinkan para pejuang dan pengikut setia Pangeran Diponegoro menanam padi, tanaman yg tumbuh dengan mudah di daerah pegunungan hanyalah singkong, selain buah-buahan, kelapa dan sayuran. Singkong menjadi makanan pokok, baik sebagai nasi (tiwul, oyek) maupun di olah menjadi makanan ringan.
Salah satu hasil kreasi makanan dari bahan singkong adalah lanthing.
Lanthing merupakan makanan ringan yang berbentuk angka delapan atau lingkaran kecil seperti cincin. Asal mulanya hanya mempunyai rasa yang gurih dan asin.
Makanan Perjuangan
Dari yang sejenis lanthing tetapi bentuknya lebih besar dan digoreng tidak terlalu kering atau gurih adalah Golak. Golak banyak terdapat di wilayah pegunungan Kebumen Utara, sementara Lanthing banyak terdapat di daerah pesisir dan pegunungan selatan Kebumen.
Tidak ada literasi sejarah yang bisa menjadi referensi pasti tentang sejarah lanthing, umumnya sejarah lanthing diceritakan secara turun temurun, kalaupun hendak dilacak sumber sejarahnya hanyalah cerita dari mulut ke mulut, oleh para sesepuh dan keturunan pengikut perang Diponegoro yang menjadi saksi sejarah perjuangan.
Pada mulanya, golak dan lanthing tidak berbentuk angka delapan, tetapi berbentuk lurus, dan bulat, seiring perkembangannya berubah berbentuk menjadi seperti huruf S (seperti Anting). Lanthing yang sudah digoreng harus dirangkai dengan tali bambu (diklanteni) untuk memudahkan membawa dan memakannya, masyarakat menyebutnya proses ini dengan “nglanting” (anting yang di klanteni) Dari proses ini lahirlah istilah Klanting, seterusnya untuk memudahkan pengucapan menjadi Lanthing. Karena bentuk huruf S mengalami kesulitan dalam merangkai ditali, maka bentuk huruf S (anting) dirapatkan menjadi bentuk angka delapan. Secara filosofis angka delapan bagi orang Jawa adalah simbol, dua bulatan itu adalah rangkaian keseimbangan, persatuan utuh yang tidak gampang jatuh, tercerai dari satu ikatan. Makna simbolis ini tidak hanya berlaku dalam perjuangan tapi dalam kehidupan hendaknya.
“Urip iku kudu kaya angka wolu, seimbang isine dunyo akherat”.
Merah Putih
Awalnya lanthing hanya berwarna putih, ketika menjelang dan sampai terjadinya perang Sidobunder dalam agresi militer Belanda II. Rakyat dan pejuang-pejuang setiap berunding untuk mengatur siasat perjuangan, dari Karanganyar dimulai dari daerah Kemujan Adimulyo sampai Kuwarasan Gombong, sepanjang pegunungan pesisir selatan. Setiap berkumpul mengadakan perundingan , meski secara sembunyi-sembunyi, selalu ditemani Lanthing merah putih sebagai makanan ringan yang menemani keseriusan mengobrol. Rakyat menggunakan warna merah awalnya dari daun tumbuhan di sekitar, seperti daun jati, daun jambu, dan lain-lain. Lanthing merah putih juga merupakan sandi, bahwa mereka para pejuang dan rakyat yang berunding ada di pihak yang pro mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, bukan mata-mata atau antek-antek Kolonial. Semangat merah putih pada Lanthing menjadi semangat perjuangan bersama yang menyatukan. Bukan soal benar atau tidaknya klaim mengklaim, Maka kalau ada klaim pengakuan makanan Lanthing, terutama lanthing merah putih itu berasal dari Kemujan Karanganyar, Buayan hingga Lemahduwur, Kuwarasan, Gombong kita harus setuju. Sejarah perjuangan dan keberadaan lanthing, mesti dari mulut ke mulut banyak diceritakan mantan-mantan pejuang dan saksi sejarah. Meski Lanthing angka delapan dan Golak secara umum berasal dari Kebumen, karena sudah ada sejak zaman perang Diponegoro. Dan secara khusus lanthing menjadi makanan khas dari Karanganyar – Gombong.
Adapun di wilayah Banyumas juga banyak sentra-sentra pembuatan dan penjualan lanthing.
Kembali kepada sejarah bahwa pada masa kolonial Belanda Regentschap (Kabupaten) Karanganyar yang meliputi Gombong dan sekitarnya, masuk dalam wilayah Resident Banjoemas.
Begitulah kira-kira adanya, dan adanya begitu kira-kira.
Historia Magistra Vitae,
Sejarah adalah Guru kehidupan yang terbaik. * (Ken Abimanyu)
Ken Abimanyu, yang bangga menyebut dirinya sebagai Inlander Krakal ini lahir di Krakal, Kebumen. Penyuka dan pengamat sejarah ini kini berkhidmat di Jakarta.