Pada awal berdirinya, Kerajaan Mataram Kuno itu berpusat di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ibukotanya bernama Medang. Karena itu Kerajaan Mataram Kuno juga sering disebut sebagai Kerajaan Medang.
Salah seorang raja yang diakui sukses membawa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno adalah Rakai Pikatan. Raja keenam ini memerintah sekitar tahun 840-an sampai 856 Masehi.
Di dalam Prasasti Argapura disebutkan, Rakai Pikatan memiliki nama asli Pu Manuku. Sedang di dalam Prasasti Mantyasih disebutkan, setelah menjadi raja ia bergelar Sri Maharaja Rakai Pikatan Pu Manuku.
Meski memeluk agama Hindu Siwa, Rakai Pikatan memperistri Putri Pramodawardhani dari wangsa Syailendra yang beragama Budha Mahayana.
Semasa memerintah Kerajaan Mataram Kuno, Rakai Pikatan telah membangun bangunan suci yang diberi nama Siwagreha. Siwagreha itu merupakan candi utama di kawasan atau komplek Candi Prambanan sekarang ini.
Ketika usianya mencapai 70-an tahun lebih, Rakai Pikatan kemudian melepaskan tahtanya sebagai raja. Ia pun memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang Brahmana dengan nama Sang Jatiningrat. Tak lama setelah menjadi Brahmana, Rakai Pikatan meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Pastika.
Kedudukannya sebagai raja kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Dyah Lokapala. Rakai Pikatan sebenarnya memiliki beberapa orang putra, tetapi pilihannya jatuh kepada Dyah Lokapala. Setelah menjadi raja, Dyah Lokapala dikenal dengan sebutan Rakai Kayuwangi.
Penculikan Berdarah
Rakai Kayuwangi memerintah Kerajaan Mataram Kuno dari tahun 856 sampai 885. Dalam pemerintahannya selama hampir 30 tahun itu, di istana Mataram Kuno sempat terjadi suatu peristiwa atau tragedi yang menyakitkan dan mengejutkan. Tidak saja menyakitkan bagi Rakai Kayuwangi, tapi juga menyakitkan buat segenap rakyat Mataram Kuno.
Tragedi menyakitkan dan mengejutkan itu adalah terjadinya peristiwa penculikan istri Raja oleh adik Raja itu sendiri. Ya, penculikan istri Rakai Kayuwangi yang bernama Rakryan Manak beserta putranya, Dyah Bhumijaya. Sedang pelaku penculiknya adalah adik Rakai Kayuwangi sendiri, yaitu Rakryan Landhayan.
Kisah penculikan istri Rakai Kayuwangi itu bisa juga disebut sebagai suatu tragedi cinta di Istana Mataram Kuno, yang kemudian berkembang menjadi tragedi berdarah.
Kecantikan Rakryan Manak ternyata telah menggoda pikiran Rakryan Landhayan. Ya, Landhayan jatuh cinta pada istri saudaranya itu. Landhayan sepertinya sudah gelap mata. Cintanya tak dapat dibendung. Ia tak peduli, perempuan yang dicintainya itu adalah istri kakandanya sendiri, yang notabene seorang Raja yang bertahta. Sehingga ia pun kemudian nekat mengambil keputusan menculik kakak iparnya tersebut.
Suatu malam ketika Rakai Kayuwangi sedang mengheningkan diri, Rakryan Landhayan menyelinap ke dalam istana. Dengan kemampuan tenaga batin yang dimilikinya, ia pun berhasil melarikan Rakryan Manak. Ketika itu Rakryan Manak sedang tidur bersama putranya, Dyah Bhumijaya. Sehingga ketika diculik itu, Rakryan Manak masih mendekap putranya.
Ketika sadar dirinya telah diculik oleh Rakryan Landhayan, Rakryan Manak meronta dan berusaha melepaskan diri. Rakryan Manak melawan sekuat tenaga. Tapi perlawanannya sia-sia. Rakryan Landhayan tetap memaksa untuk membawa pergi Rakryan Manak menjauh dari istana.
Dalam upayanya untuk melepaskan diri, tiba-tiba Rakryan Manak berhasil merebut keris yang berada di punggung Rakryan Landhayan. Tentu saja Landhayan terkejut, begitu tahu kerisnya sudah di tangan Rakryan Manak.
Landhayan berusaha merebutnya lagi. Tapi terlambat. Rakryan Manak yang merasa malu, terhina dan putus asa atas peristiwa yang terjadi pada dirinya, lalu mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Keris di tangannya itu pun langsung dihujamkan ke ulu hatinya sendiri.
Istri Rakai Kayuwangi itu pun tewas bersimbah darah. Ia tergeletak di dekat putranya, Dyah Bhumijaya, yang tak berhenti menangis.
Landhayan Dibunuh
Berita tentang diculiknya istri Rakai Kayuwangi itu dengan cepat menyebar ke penduduk atau masyarakat di sekitar ibukota kerajaan. Prajurit-prajurit Kerajaan pun disebar untuk memburu penculiknya. Tak hanya prajurit-prajurit, masyarakat pun diminta bantuannya untuk mencari dan memburu sang penculik.
Penduduk di Desa Wuatan Tija pun mencurigai sekelebatan orang yang lebih dari satu orang menyelinap ke dalam hutan di dekat desanya.
Demikianlah, ketika Rakryan Manak baru saja mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri tersebut, penduduk Desa Wuatan Tija pun mendengar suara tangisan anak-anak di dalam hutan.
Penduduk pun dengan cepat menemukan lokasi tergeletaknya Rakryan Manak. Rakryan Landhayan yang masih berada di lokasi itu berusaha untuk menghadapi penduduk desa yang tak sedikit jumlahnya itu. Tapi penduduk desa sepertinya tak gentar. Mereka segera mengepung posisi Rakryan Landhayan yang semula sebenarnya ingin membawa pergi Dyah Bhumijaya. Sementara beberapa orang di antara penduduk-penduduk desa itu berhasil menyelamatkan si kecil Dyah Bhumijaya.
Dalam waktu bersamaan, prajurit-prajurit Kerajaan pun sampai di lokasi tersebut. Ketika melihat istri Sang Raja tergeletak bersimbah darah, prajurit-prajurit itu tak lagi punya rasa sungkan kepada Rakryan Landhayan yang adik Raja. Mereka langsung merangsek untuk menangkap Landhayan, sebagaimana perintah Rakai Kayuwangi untuk menangkap penculik istrinya, hidup atau mati.
Pertarungan yang tak seimbang pun terjadi. Komandan prajurit-prajurit Kerajaan itu ternyata seseorang yang perkasa dan tangguh. Rakryan Landhayan yang juga terkenal tangguh itu akhirnya tak kuasa juga menghadapi serangan prajurit-prajurit Kerajaan.
Setelah tenaganya terkuras, ia pun akhirnya tewas bersimbah darah juga di hutan itu.
Sungguh, suatu tragedi cinta yang berdarah. Sang istri Raja yang diculik nekad mengakhiri hidup dengan menunjamkan keris ke ulu hatinya. Sedang si penculik yang adik Sang Raja akhirnya juga tewas bersimbah darah setelah bertarung dengan prajurit-prajurit dari Kerajaan yang dipimpin kakandanya sendiri. *
(Sutirman Eka Ardhana)