Kata orang sepeda diperkenalkan di Indonesia pada abad ke 19 Masehi. Pada zaman Hindia Belanda hanya orang Belanda dan para priyayi saja bisa memiliki sepeda. Setelah Indonesia merdeka sepeda bisa dimiliki kebanyakan orang. Orang sekarang mengatakan sepeda zaman dulu disebut sepeda ontel. Berbagai macam merk sepeda ontel dari berbagai negara yang beredar di pasar Indonesia diantaranya merek Fongers, Gazalle, Simplek, Humber, Raliegh, Phillips, Herkules.
Setelah tahun 1970 mulai polpuler sepeda jengki buatan China dengan merek Phoenik, dan di tahun-tahun selanjutnya mulai beredar sepeda MTB, sepeda BMX, sepeda Fixie, sepeda lipat, dan masih banyak lagi sepeda dengan merek lain sesuai peruntukannya.
Di tahun enam puluhan sampai tujuh puluhan kota Yogyakarta disebut kota sepeda. Ini dikarenakan banyak pelajar yang mencari ilmu di kota Yogya, dan jika sekolah atau kuliah banyak yang berkendaraan sepeda. Selain itu para pegawai, petani, buruh dan lainnya banyak juga yang sudah bisa memiliki sepeda. Setelah tahun 1970 penggunaan sepeda untuk moda tranportasi mulai bergeser dengan adanya sepeda motor.
Sekarang sepeda banyak digunakan untuk rekreasi dan juga olah raga, dengan berbagai merek sepeda. Setiap pagi hari jika kita berada di jalan besar pasti akan ketemu orang yang bersepeda, baik yang sendirian ataupun yang bersama komunitasnya. Pada hari Minggu atau hari libur akan lebih ramai lagi yang berolah raga dan berrekreasi dengan sepeda.
Mari kita tingkatkan kualitas hidup kita dengan bersepeda, karena sangat bermanfaat untuk kesehatan. Dalam satu jam mengayuh sepeda dapat membakar 400 – 1000 kalori.
Di Masa Kecil
Dulu, ketika masih kecil masih di dalam ingatanku masih terbayang ketika diajak Ayah berpergian dengan duduk di bagasi belakang (diboncengkan). Dua kakiku diikat di bagian bawah sadel. Maksud Ayah tentu agar kaki tidak masuk ke dalam ruji roda belakang.
Aku mulai bisa naik sepeda ketika duduk di kelas tiga SR (Sekolah Rakyat), dengan sepeda jengki dan perlu waktu dua hari untuk bisa naik sepeda dengan lancar. Pada saat aku masih kecil, sepeda kecil untuk anak-anak masih jarang yang punya. Bahkan di kampungku sepeda kecil untuk anak-anak tidak ada yang punya. Aku belajar bisa naik sepeda dimulai dari halaman rumah. Untuk selanjutnya aku sudah berani bersepeda di gang-gang kampung, juga sudah bisa dan berani naik sepeda laki-laki dengan cara ngodok kata orang Jawa (ketika mengayuh sepeda, kaki kanan dibawah top tube/plantangan ).
Ketika di kelas lima SR aku sudah berani bersepeda di jalan besar. Bahkan sudah berani bersepeda sampai desa Banteng (utara desa Kentungan) yang jaraknya kurang lebih 8 km dari rumah. Jalan dulu belum sepadat dan seramai sekarang. Dulu kendaraan yang ada becak, andong, gerobag sapi, bis, sedan, motor uduk (sepeda motor dulu dengan merek Norton, Jawa, Ducati). Pada saat itu jarang ada kecelakaan, karena kendaraan yang lewat pun masih jarang- jarang.
Ketika Dewasa
Asyik juga di masa remaja dengan bersepeda. Di remajaku sepeda yang kupunya sepeda ontel merek Herkules. Sepeda ini sebenarnya milik ayahku. Karena Ayah jarang menggunakannya, maka akulah yang sering menggunakan untuk ke sekolah, bermain dengan teman-teman. Kalau sepeda jantan tidak ada bagasi (boncengan) di belakang maka bisa memboncengkan dengan duduk di plantangan. Lebih asyik lagi kalau yang bonceng perempuan muda atau pacarnya.
Ini pengalamanku di tahun 1967 yang masih berkesan. Kami bertiga teman sekelas yang masih duduk di kelas I SMA bersepeda, nama temanku Sugeng dan Ramijo. Tanpa rencana kami bersepeda ke arah timur, mampir ke tempat teman yang rumahnya di Maguwo. Setelah di tempat teman di Maguwo, temanku Ramijo bilang, “Yuk, kita ke Prambanan.“ . Tanpa pikir panjang aku dan Sugeng serentak bilang, “Oke.“.
Kami naik sepada lagi ke arah timur menuju Prambanan. Sampai Prambanan kami masuk ke situs Candi Prambanan. Kita harus bangga bisa memiliki bangunan candi yang semegah itu. Setelah puas melihat candi, lagi-lagi temanku Ramijo bilang, “Rasah tanggung tanggung, yuk dilanjut sampai di Klaten.”.
Kami pun sepakat menuju Klaten. Sampai klaten sebenarnya kami sudah capek. Setelah istirahat sebentar dalam persiapan mau pulang, entah apa yang ada di benakku tiba-tiba aku bilang pada temanku, “Berani nggak kalau kita lanjutkan bersepeda sampi Solo?“. Dalam kondisi capek malah temanku Sugeng menjawab entah sadar apa tidak dia bilang, “Siapa takut.“.
Tanpa kami sadari bersama sepeda yang semula sudah dihadapkan ke arah Barat menuju pulang, serentak tiba-tiba balik menghadap ke arah Timur menuju Solo. Sampai Solo sekitar pukul satu siang. Rasa dahaga dan lapar kami rasakan, dan ternyata sangu terbatas. Uang sangu temanku Sugeng tadi digunakan untuk bayar tambal ban sepedanya yang bocor ketika tiba Klaten. Dengan uang kami bertiga yang ada hanya bisa untuk beli es dan ubi rebus. Yah, lumayan bisa untuk menghilangkan lapar dan dahaga.
Selanjutnya setelah putar-putar kota Solo, kami pun pulang. Kurang lebih pukul 15.30 kami keluar dari kota Solo menuju Yogya. Sampai delanggu capek dan lapar mengganggu perjalanan. Mau beli makan sudah pada tidak punya uang. Lalu kami istirahat di pinggir jalan. Selang beberapa saat ada penjual bakso lewat. Jualannya dipikul, tidak seperti sekarang menggunakan gerobag. Penjual bakso berhenti di dekat kami beristirahat dan menawarkan bakso. Aku dan teman hanya diam saja. Karena rasa lapar yang amat sangat aku memberanikan diri mendatangi penjual bakso.
Aku bertanya pada penjual bakso, “Pak, putranya ada yang masih sekolah?“
“Ada Mas, dua orang dan masih sekolah di SD dan SMP.“
Selanjutnya kuceritakan pada Bapak penjual bakso tentangkisah perjalanan kami dari Yogya ke Solo dan kembali akan pulang ke Yogya.
Setelah dia memahami apa kuceritakan, kemudian aku bilang padanya, “Begini Pak, kami bertiga sudah tidak punya uang. Apa sampeyan mau saya bayar dengan pulpen untuk tiga manggkok bakso?“
Sebenarnya aku merasa berat melepaskan pulpen pemberian ayahku yang mereknya parker, kerena harga pulpenku lebih mahal dari harga tiga mangkok bakso. Penjual bakso tadinya tidak mau, karena didorong oleh rasa lapar yang amat sangat, pejual bakso itu pun kurayu-rayu agar mau.
Aku bilang padanya, “Ini pulpen mahal harganya, dan bisa digunakan putranya yang masih sekolah. “
Mungkin karena rasa kasihan melihat kami bertiga yang kelaparan, maka ia pun menjawab, “Nggih Mas kok mesakke sampeyan.“
Akhirnya kami bertiga bisa makan bakso. Untuk minumnya kami minta tambahan kuah bakso. Hilang sudah rasa lapar dan dahaga.
Dengan kekuatan satu mangkok bakso yang sudah mengisi perut, perjalanan pulang kami lanjutkan. Allhamdulillah pukul sembilan malam kami sampai Yogya dengan selamat.
Di Hari Tua
Bersepeda menjadi kebutuhan di usia tuaku. Bahkan bisa dikatakan tiada hari tanpa bersepeda. Dulu kalau bersepeda hanya merupakan moda transportasi saja, misal bila ke sekolah, berpergian dan bermain.
Kalau sekarang dengan bersepeda, aku bisa menggalang pertemanan dengan sesama pengguna sepeda, bahkan bila bertemu atau berpapasan dengan pengguna sepeda bisa saling menyapa, bahkan bisa berlanjut sampai ke pertemanan.
Bersama teman-teman yang senang bersepeda kami membentuk komunitas sepeda. Atas usulan dari seorang teman, komunitas sepeda yang dibentuk diberi nama “Paguyuban Sepeda Saghotrah“. Sampai saat ini usia paguyuban sudah 10 tahun, dengan anggota sebanyak 35 orang, lelaki dan perempuan.
Kegiatan Komunitas Saghotrah diantaranya: bersepeda bersama setiap hari Rabu dalam satu putaran ± 20 km, dan setiap hari Minggu dalam satu putaran ± 40 km. Kemudian pertemuan rutin setiap bulan sekali, bakti sosial bila ulang tahun, dan rekreasi ke luar kota setahun sekali
Bersepeda menjadi kebutuhan, sebab dengan bersepeda banyak yang didapat untuk kesehatan, antara lain : meningkatkan stamina kekebalan tubuh, memperkuat otot tulang dan sendi, menyehatkkan jantung serta mencegah penyakit kardiovaskuler. Selain itu menurunkan resiko diabetes, mengurangi insomia, menyehatkan paru paru, menurunkan resiko kangker, meningkatkan kekuatan otak, menjaga metabolisme tetap stabil, dan meningkatkan kesehatan mental
Dengan bersepeda aku bisa punya banyak teman dan bisa melihat pemandangan yang tidak selalu sama biarpun jalan yang dilewati itu sama. Misal kemarin jalan yang kulewati kondisi kering tidak ada genangan air, tapi hari berikutnya di jalan yang sama ada genangan air bahkan di kiri kanan jalan ada banjir.
Sampai hari ini aku selalu bersyukur pada Allah SWT yang telah memberiku kesehatan dan kebugaran berkat bersepeda sampai di hari tuaku. *** (Lukito)
*Lukito, pensiunan PNS yang dulu aktif dalam pemeliharaan candi dan objek-objek kepepurbakalaan lainnya. Tinggal di Tegalpanggung. Dan kini mengisi hari tua dengan giat bersepeda dan menjadi penggerak di komunitas penyuka bersepeda “Saghotrah”, Tegalpanggung, Danurejan, Yogyakarta.