Kalimat pertama saya, “Mohon untuk didengarkan baik-baik. Dari tadi saya juga sudah jadi pendengar yang baik.”
Siapa pun boleh tidak sepaham. Secara historis, normallah ketika terjadi pendewasaan terhadap hampir semua karya Atas Dhanusubrata. Tercermin dan kian tajam menempatkan dimensi kekaryaan. Dewasa berarti kritis terhadap diri sendiri, termasuk sikap yang menyuburkan penghayatannya pada dunia pilihannya.
Atas Dhanusubrata si peraih Rancage Award ini, di mata saya orangnya kelewat sahaja. Kelewat lugu. Bahkan dia mengaku, setiap kehadirannya di forum kesenian, terabaikan. Sering tidak dianggap mewakili seniman. Karena lugu, dan kalah mendapat perhatian dari orang-orang bergaya yang beratribut gondrong dan nyentrik.
Saya katakan, “Mugakno gondrong, kupinge ditindik. Bila perlu tampil yang aneh-aneh.” Dia nimpali pernyataan saya itu dengan kata-kata yang membuat para tamu, seperti Bupati, Dandim, Kapolres dan pejabat Pemda pun tertawa ngakak.
Sempat Menjadi Pemred
Atas termasuk generasi pertama Persada Studi Klub Malioboro yang diasuh Umbu Landu Paranggi. Ia seangkatan penyair Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, Emha Ainun Najib, Sutirman Eka Ardhana, Budi Sardjono, dan lain-lain.
Selepas dari Yogya, Atas menjadi Pemimpin Redaksi sebuah koran di Semarang. Kemudian ia bergabung bersama para penulis Semarang mendirikan Keluarga Penulis Semarang (KPS).
Saya dan Atas sesama orang yang pernah mereguk ekosistem sastra di Malioboro. Dan, saya dipertemukan dengan Atas Dhanusubrata oleh Bambang Darto dan Mas Iman Budhi Santosa di tahun 1980-an.
Bagi Atas, sastra adalah pilihan hidup. Ia berkesenian tidak memperalat seni untuk berpolitik. Seni baginya sebagai alat untuk memberi penyadaran, memberi terapi jiwa pembaca serta menginspirasi. Juga memberikan pencerdasan yang tidak disentuh ilmu-ilmu lainnya.
Di mata saya, Atas seseorang yang dahsyat. Jika berdua dengan saya, ia seorang yang kocak. Sekaligus perenung yang jitu dan pengingat momen masa lalu yang tajam.
Penulis Sejarah Bagelen
Ia juga jenius untuk hal-hal yang berakar pada tradisi. Dan, Atas adalah penulis Sejarah Bagelenan yang dahsyat. Sampai-sampai ketika Hari Jadi Purworejo akan dirubah, sebelum penetapan Perda, Atas diundang untuk bicara tentang sejarah kelahiran Purworejo di sidang terbuka DPRD Kabupaten Purworejo. Penulis sejumlah buku seperti “Tjakranegara Pendiri Purworejo”, “Babad Banyuurip” dan “Babad Kedung Kebo” ini, saya pandang sebagai alat legitimasi bagi DPRD Purworejo.
Uniknya semua pembicara dalam berbagai seminar, seperti Pieter Carry juga hampir semua yang bergelar doktor, hampir dipastikan tak terhindarkan mengutip pendapat dari buku-buku Atas Dhanusubrata itu.
Di akhir kata saya katakan. “Sudah selayaknya kepada pria berstyle lugu ini, hadirin dan publik menaruh hormat. * (Sumanang Tirtasujana)
* Sumanang Tirtasujana, alumni UST Yogyakarta ini merupakan pelaku dan penggerak kesenian di Purworejo.