Muncullah virus Korona menghentak dunia dengan cepat dan menewaskan ribuan bahkan jutaan orang di dunia. Persis seratus tahun lalu 1918 dunia juga digoncang Flu Spanyol, Jutaan orang juga meninggal. Menurut laporan surat kabar di jaman Hindia Belanda di negeri ini yang tewas sekitar 1500.000 orang. Memang waktu itu yang ada pemerintah Hindia Belanda. Di negeri ini masih dalam pergerakan yang dipelopori pemuda. Flu Spanyol berlangsung hingga 1920.Kelihatannya wabah penyakit ini berlangsung seratus tahunan. Alam kembali menyeimbangkan bumi. Wabah Korona menyadarkan manusia mengerem kerakusan terhadap bumi seisinya. Ketamakan itu juga membuat orang egois, narsis, hedonis, menangnya sendiri. Meniadakan orang lain. Korona menyadarkan kembali bahwa ia adalah mahkluk sosial.
Manusia Jawa lupa kepada kearifan luhurnya, ketika hendak melakukan hajatan besar, membangun rumah, membuat pusaka, menikahkan anak, harus menanam pohon, menebar benih ikan di sungai di telaga, melepas burung ke udara, Bila hendak menebang pohon harus menanam bibitnya.
Perbuatan, tingkah laku yang bersumber pada nalar lahir penilaian benar dan salah. Sedang dari tingkah laku yang bersumber pada karep, lahir penilaian baik dan buruk, dari perbuatan yang bersumber pada kepercayaan lahir sifat-sifat religius dan non religius. Pelestarian penilaian dilakukan masyarakat, dan bangsa tertentu karena nilai merupakan ukuran yang diyakini harus ditegakkan untuk melestarikan irama kehidupan yang sesuai kodrat alam dan cita-cita luhur suatu masyarakat maupun bangsa tertentu.
Adanya penilaian, timbul larangan, aturan, dan pembatasan yang tujuannya untuk mengatur tingkah laku manusia agar sesuai dengan harkat dan martabat yang dicita-citakan masyarakatnya. Adanya penilai menyebabkan timbulnya tatanan di dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam abad yang makin kompleks persoalannya kini apakah hal-hal di atas masih mendapatkan porsi besar dalam pemikiran? Setiap hari kita didera memenuhi kebutuhan hidup. Hidup jadi merobot dan porsi perenungan kian berkurang. Pola ibadah terkurangi. Perenungan juga makin dangkal. Kita jadi sering lupa pada tujuan akhir seluruh kehidupan manusia. Masihkah orang Jawa gemar maneges dan manekung pada Yang Maha Agung?
Masihkah orang konsekuen menghayati budayanya? Sikap isin, andhap asor, tepo sliro, rukun, ngajeni, sabar, nrima, serta menjauhi sikap kasar, drengki, srei, jail, methakil, mumpung, dahwen, open, dumeh, rasanya kurang terperhatikan lagi. Perseteruan, tawuran, korupsi, manipulasi, perjudian, penganiayaan, yang tak selaras dengan budaya Jawa dan mungkin juga budaya lain, makin menggila. Ini menjadi tengara bahwa tatanan moral yang diyakini dan dicita-citakan mendapatkan tantangannya. Banyak orang Jawa yang kini tak tahu bahasanya sendiri, lebih-lebih bahasa krama . Banyak rumah tangga enggan menggunakan bahasa Jawa lagi. Lalu bagaimana mungkin mengerti dan menghayati budaya Jawa kalau bahasa Jawa saja tidak tahu? (Jawa ilang budayane?) Jawa tidak hanya berarti etnis tetapi juga hidup secara arif bijaksana.
Di era yang penuh iming-iming duniawi, manusia didorong meninggalkan hal-hal batiniah, yang seharusnya menjadikan manusia utuh. Manusia pada dasarnya memiliki hakikat yang kompleks, dan dituntut untuk senantiasa bekerja secara harmonis selaras dan seimbang. Di dalam manusia ada bagian yang lebih rendah yakni pancaindera dan yang lebih tinggi yakni akal budi. Kedua hal ini dipertahankan secara harmonis. Kemampuan yang rendah mengabdi kepada yang lebih tinggi. Apabila ini tak terlaksana terjadilah pemberontakan dalam kodrat manusia. Keselarasan ini tidak saja ada diri manusia, tetapi juga di luaran dirinya. Konsepsi Aku-alam-Allah mendasari pemahaman ini.
Dalam setiap pertentangan antara berbagai hubungan, maka hubungan dengan Allahlah yang senantiasa dinomorsatukan, baru kemudian dengan sesama manusia. Oleh karena itulah muncullah pemahaman Surodiro jaya jayaningrat, lebur dening pangastuti.
*) Sugeng WA pemerhati dan pelaku budaya sekaligus Tim Pengembangan dan Pelestarian Keris Propinsi Yogyakarta